Sayonara Baronggeng....!
Rhamdani Kurniawan 21 Juli 2011Sayonara Baronggeng....!
Apabila kalian ditanya, bagaimanakah pernikahan yang Islami itu? Beberapa jawaban yang mungkin muncul adalah; pertama, pengunjung yang datang mengenakan pakaian muslim/ah. Kedua, pengunjung laki-laki dan perempuan dipisahkan, dan yang ketiga, terdapat lagu-lagu Islami dan pembacaan Al Quran. Setidaknya ketiga hal diatas yang aku alami disini ketika melihat pernikahan salah satu anak mama piara ku... Sabtu, 12 maret 2011 Ruangan rumahku disesaki oleh puluhan warga, mereka datang dari desa Tauwabi yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan menggunakan ketinting. Beberapa buah bokor (baskom) kecil yang berisi uang belanja sudah siap untuk diberikan. Ya, malam ini akan dilakukan prosesi antar belanja kepada Ruhani, anak kedua Bapak Mansur, Papa piara ku. Setelah beberapa saat berunding, akhirnya disepakati akad nikah akan dilaksanakan pada ‘bulan ketiga malam’, jangan bertanya apa maksudnya karena saya sendiri tidak paham, yang pasti tanggal tersebut jatuh pada akhir April. Pernikahan yang akan dilangsungkan beberapa bulan lagi menyebabkan saya ‘diusir’ sementara dari rumah. Alasannya cukup sederhana, khawatir acara pernikahan nanti akan ‘mengganggu’ saya, dalam hati saya berpikir, ‘ternyata orang Maluku bisa juga menggunakan sindiran’, karena biasanya mereka langsung to the point tanpa basa-basi. Awalnya saya akan ditempatkan di rumah yang berjarak agak jauh, namun setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya pindah ke rumah sebelah yang hanya berjarak satu meter (satu keputusan yang nantinya saya sesali, kenapa tidak pindah yang jauh saja...) Rabu, 27 April 2011 Tiga hari menjelang hari-H, suasana rumah mulai disesaki oleh warga yang akan membantu ‘ini’ dan ‘itu’. Mulai hari ini pula aku resmi meninggalkan kamarku yang sangat nyaman (bener...), memasuki kamar baru yang terletak satu setengah meter dari rumahku yang lama. Walaupun kondisinya tidak sebaik kamarku yang lama, namun satu hal yang membuatku senang bukan main adalah dari kamar ini sinyal di HP ku dapat melompat-lompat hingga tiga bar, itu artinya saya tidak perlu bergelap-gelap keluar rumah hanya untuk mempertemukan HP dengan sinyalnya (walaupun untuk mendapatkan sinyal itu harus dengan pose yang cukup melelahkan). Kamis, 28 April 2011 Suasana di sekitar rumahku sudah sangat ramai bukan main, banyak orang yang berlalu-lalang menyiapkan aneka masakan dan dekorasi. Pernikahan masih dua hari lagi, namun gegap gempita baronggeng (berjoget memakai musik) sudah terasa hari ini. Sudah menjadi tradisi di Maluku Utara, setiap ada hajat, entah itu pernikahan, khitanan, cukur rambut, bahkan hingga merayakan kelulusan sekolah, biasanya selalu dirayakan dengan baronggeng. Malam harinya, seperti biasa para siswa kelas 6 mendatangi rumahku untuk belajar persiapan UASBN. Kali ini tempat belajar aku pindahkan di ruang depan rumah baruku, setelah kemarin menumpang di rumah Pak Sekdes. Satu hal yang tidak biasa adalah, kami belajar sambil mendengarkan lagu ‘konser’ yang berasal dari sederetan sound sistem setinggi tiga meter dan panjang dua meter yang berjarak sekitar 10 langkah dari rumahku, cukup besar untuk dapat menggetarkan tembok rumah yang terbuat dari bata pasir tanpa rangka besi ini. Hari ini adalah hari terakhir aku memberikan les malam di rumah, benar-benar tidak kondusif. Jum’at, 29 April 2011 Aku bunyikan lonceng sekolah, ketika apel pagi digelar aku sangat terkejut! Betapa tidak, jumlah siswa ku hanya tersisa dua pertiga dari hari biasanya. Salah seorang guru berbisik padaku “Anak-anak ni kalo ada orang kawin dorang (mereka) ikut-ikut kawin, tara (tidak) masuk sekolah”. Aku hanya bisa membatin dan berkata dalam hati, bagaimana besok ketika pesta orang kawin benar-benar digelar... Sabtu, 30 April 2011 Aku langkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah, tiba-tiba ada seorang ibu yang menyapaku, “Pak guru mau pi (pergi) kemana?” “Ke sekolah ibu!” jawabku singkat “Di rumah ada orang kawin kong(sama seperti ‘lho..’)” jawab Ibu itu kemudian, dan saya hanya dapat membalasnya dengan senyuman, tak tahu harus berkata apa. Ketika akan melanjutkan langkah menuju sekolah, salah satu adik mempelai wanita yang juga guru di SD Indomut berkata padaku, “Pak Dani nanti pulang tempo (cepat) ya, kong dari Tauwabi jam 10 so (sudah) datang” “Insya Allah...” Sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah aku merasa tidak enak hati, apakah memang sudah tradisi disini ketika ada orang rumah yang menikah maka kita ‘harus’ berada di rumah? Namun bayangan murid-muridku menguatkan keputusan yang aku ambil. Setibanya di sekolah, ternyata hanya satu guru yang hadir dan ketika saya bertanya dimana guru-guru yang lain, beliau berkata, “Mereka lagi bantu-bantu orang kawin Pak Dani” jawaban guru ini sedikit ‘mencubit’ hatiku, kemudian ia berkata lagi, “Saya tidak enak sama Pak dani nih, takut Pak Dani sendirian di sekolah, makanya saya kesini”, hmmmm..... aku jadi semakin bingung, why?? Tak perlu ditanya berapa siswa yang masuk sekolah, kalau kemarin sekitar sepertiga yang tidak masuk sekolah, sekarang hanya sepertiga saja yang masuk sekolah. Aku kembali berpikir, apakah saking eratnya hubungan sosial disini hingga ketika ada salah satu warga yang memiliki hajat, dapat membuat satu desa ‘lumpuh’ seperti ini? Atau mungkin karena aku yang sudah terlalu ‘individualis’ sehingga menganggap semua ini luar biasa? Entahlah, mungkin diantara para pembaca ada yang dapat menjawab kebingunganku diatas, yang jelas, sudah ada korban dari peristiwa ini, yaitu siswa-siswaku. Aku pulang dari sekolah satu jam lebih cepat, karena sudah berjanji akan membantu membuat dokumentasi pernikahan ini. Suasana di rumah amat sangat tidak nyaman! Disana-sini banyak orang lalu-lalang, musik yang berdentum sangat keras memekakkan telinga, ditambah lagi udara panas pantai benar-benar dapat membuat kepala ‘mendidih’. Beberapa jam kemudian akad nikah berlangsung, sayang sekali saya melewati momen ini karena terlalu nyaman berlindung di masjid karena menghindari keramaian yang cukup ‘panas’ di rumah. Ada tiga hal yang cukup menarik dari adat pernikahan di Maluku Utara; Pertama, setelah akad nikah berlangsung selalu dilanjutkan dengan babaca (membaca doa menggunakan pot pembakaran) oleh Bapak-bapak, Ibu-ibu hanya melihat dari jauh saja. Kedua, selesai babaca dilanjutkan dengan pembacaan doa khatam al Qur’an dan prosesi mencukur rambut anak kerabat mempelai yang masih balita. Ketiga, setelah Ashar (sekitar jam empat) dilanjutkan dengan sarok (lempar beras) yang dilakukan oleh Ibu-ibu, sedangkan Bapak-bapaknya hanya melihat dari jauh. Sarok merupakan prosesi memberikan doa kepada kedua mempelai dengan cara setiap Ibu-ibu yang hadir secara bergantian menggerakkan tampah berisi makanan dengan gerakan melingkar di depan wajah mempelai (seperti orang India) sambil memberikan amplop kepada mempelai. Kemudian ia akan mengambil segenggam beras yang telah diberi warna untuk dilemparkan kepada setiap orang yang hadir sambil meneriakkan “SAROKK..SAROKK...!!” Malam pun tiba, dan pesta perkawinan yang sesungguhnya baru akan dimulai... Tidak berbeda seperti resepsi pernikahan di Jawa, masyarakat Maluku Utara juga menggelar acara resepsi pernikahan. Ada Pagar Ayu dan Pagar Bagus yang siap menyambut di pintu masuk, bedanya, resepsi pernikahan mereka biasanya dilakukan pada malam hari karena siang dan sore dipakai untuk akad nikah dan berdoa. Orang-orang yang diundang pada resepsi ini pun bukan orang sembarangan, mereka telah dipilih oleh yang punya hajat, seorang warga yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter pun belum tentu diundang. Selidik punya selidik, ternyata faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan untuk mengundang seseorang dalam resepsi pernikahan. Tepat di sudut pelaminan telah tersedia keranjang hias yang diperuntukan untuk ’menampung’ amplop yang dibawa oleh para tamu undangan. Satu hal lagi yang berbeda dari resepsi pernikahan yang pernah saya hadiri, tidak ada aksi cipika-cipiki, foto-foto atau ber-alay ria dari para tamu undangan yang hadir dengan pengantin, sesi foto-foto pun hanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat dekat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.30 WIT. Waktu baronggeng pun tiba, musik pun mulai berdentum, lagu instrumen Katreji membuka acara baronggeng malam ini. Mendengar irama musik Katreji dan gerakan tariannya, dapat dengan mudah diketahui bahwa ini adalah peninggalan bangsa Portugis yang ratusan tahun lalu menjajah Negeri penuh rempah ini. Apakah tradisi baronggeng yang masyhur di Maluku ini berasal dari kebiasaan Bangsa Portugis yang pernah bercokol sekian lama disini? Dulu ketika pertama kali tiba di Maluku Utara, pertama kali mendengar kata baronggeng yang terbayang adalah kumpulan orang berjoget layaknya joget organ tunggal di Jawa, bergerombol dan sangat tak beraturan. Tapi disini, baronggeng memiliki ciri tersendiri. Dua orang berpasangan dan berbaris hingga tercipta dua shaf yang saling berhadapan, barisan disusun sedemikian rupa sehingga meminimalkan terjadinya ‘benturan’ antar peronggeng yang dapat menyebabkan perkelahian. Memang sudah menjadi sebuah ‘tradisi’ disini bahwa dimana ada baronggeng disitu ada ‘cap tikus’, miras yang sangat terkenal disini. Namun seiring dengan kesadaran masyarakat, tradisi itu semakin tidak disukai. Untuk menghormati Mama piaraku yang sedang memiliki hajat, aku terpaksa terjebak di acara baronggeng, God...., this is my first and also my last experience on baronggeng. Acara baronggeng biasanya berlangsung sampai pagi, dan benar saja, jam 4.30 pagi baronggeng pun baru selesai. Kalian tahu bagaimana rasanya tidur dihadapan sound sistem setinggi 3 meter dengan lebar 2 meter dan hanya berjarak beberapa langkah dari kamar, dimana tembok rumah dan kasur pun bergetar dibuatnya? Aku sudah merasakannya tadi malam, dan paginya kepalaku benar-benar pusing karena tidur ditemani musik ‘konser’. Minggu, 1 Mei 2011 Aku sapa setiap orang yang ku temui pagi ini, berbasa-basi menanyakan kabar baronggeng semalam. Sialnya, ada seorang Ibu-ibu yang berkata, “Nanti malam kitong masih ada baronggeng lagi, Pak Dani ikut ya!” Whhaaattt..., again...!!!?? baronggeng part 2 already exist. Fortunately, hari ini aku punya alasan untuk pergi ke kota mengambil kiriman buku dari Surabaya, dan sepertinya aku akan menginap semalam di kota untuk menghindari baronggeng part 2 ini kemudian kembali lagi ke desa pagi-pagi buta keesokan harinya sebelum masuk sekolah. So, sayonara baronggeng...!Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda