Persiapan Menyambut Hari Guru

Rhamdani Kurniawan 25 Desember 2010
Education Series... Tiga hari sudah aku mengajar di SDN Indomut, dan selama tiga hari itu pula aku sudah menjelajah ke hampir seluruh kelas, mulai dari kelas 1 hingga kelas 5, hanya kelas 6 yang belum aku masuki. Hari ini aku memiliki tugas besar yang harus bisa aku lakukan, yaitu mengajak para siswa untuk merasakan semangat hari guru yang jatuh esok hari. Seperti biasa, jam 07.30 WIT aku sudah tiba di SDN Indomut, sudah kulihat beberapa siswa berbaris ditengah lapangan menanti pengarahan dari guru mereka, yaitu bersih-bersih pagi. Dua orang guru sedang berdiri tepat di depan para siswa, menunjuk sebuah arah di pojok ruangan, yang berarti bahwa ruangan tersebut harus segera dibersihkan. Berdasarkan jadwal, hari ini aku hanya mengajar  kelas IV setelah jam istirahat. Namun melihat jumlah guru yang hadir menjadikanku ragu akan jadwal hari ini. Benar saja, pukul 08.00 aku diminta mengajar kelas dua, karena guru kelas dua sedang tidak hadir. Akupun menyanggupi permintaan itu, aku pandangi setiap wajah yang lugu dan polos itu, wajah yang sama seperti yang aku lihat di SD Pancawati dulu. Kelas aku mulai dengan menyapa mereka, “Assalamualaikum... ”, keheningan tiba-tiba menyeruak di dalam kelas, aku ulangi lagi salamku, kali ini  dengan senyum yang lebih lebar dan tinggi, sehingga menghasilkan luas yang menganga di mulutku. “wa..wa..alaikumsalam...” terdengar salam balik dari mereka, namun salam yang mengandung rasa takut. Tingkah laku mereka membuatku tersadar, bahwa sebelum aku menginjakkan kaki di SD Indomut ini, mungkin belum ada guru yang memiliki tingkah laku seperti yang aku lakukan, bahwa mereka sudah terbiasa menikmati suasana ‘tegang’ akibat pola pengajaran yang berlaku umum disini. “Ada yang mau bermain? Bapak punya permainan menarik lho! ” ku coba untuk mencairkan suasana, karena anak-anak sangat menyukai permainan, sama seperti yang pernah aku lakukan ketika PPM[1] dulu. Namun apa yang kulihat disini sangat berbeda, para siswa saling bertatapan heran, sesekali mereka tersenyum malu sambil meremas-remas tangan mereka sendiri. “Ayo kesini, semuanya maju kedepan, Bapak punya permainan seru!” aku melambaikan tangan, mengajak mereka untuk maju kedepan, dengan langkah perlahan dan malu-malu mereka maju, tak ada tawa lepas yang menyiratkan kegembiraan atau celotehan-celotehan khas anak-anak yang terlontar dari mulut mereka, yang ada hanyalah senyuman kecil disertai gerakan meremas-remas tangan atau ujung baju mereka. Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa anak-anak ini bersikap sangat pemalu, mereka cukup pendiam dan bergerak mendekatiku dengan hati-hati, seolah-olah aku adalah binatang buas yang berhasil dilumpuhkan, kemudian mereka mendekat dengan hati-hati untuk memastikan apakah binatang buas ini sudah benar-benar mati atau belum, seperti itulah gerakan mereka ketika mendekatiku. Suasana didalam kelas sungguh sangat sepi, tak ada canda tawa anak-anak, tak ada celetukan-celetukan nakal dari mulut mereka, mereka bagaikan zombie yang jinak dan siap diperintah, dalam hati aku berkata “Tuhan, lebih baik aku menghadapi kelas yang ramai daripada kelas mumi ini” Sepuluh menit semenjak kelas mumi ini aku masuki, tiba-tiba pintu kelas diketuk dan muncullah seorang guru kelas satu, Ibu Beda namanya, ia memintaku untuk mengajak kelas satu bermain bersama, karena ia harus segera pergi ke Labuha[2] menyelesaikan beberapa urusan. Dengan senang hati aku menerima tambahan siswa kelas satu yang berjumlah 12 orang, karena ruangan berukuran 6x6 meter yang dipenuhi oleh 23 siswa akan menjadi lebih hidup dibandingkan kelas mumi yang aku hadapi sekarang. Ada hal menarik yang terjadi  ketika Ibu Beda membalikkan badannya menuju kelas satu, tiba-tiba 11 siswa kelas dua yang aku anggap ‘mumi’ berubah seketika. Mereka tiba-tiba menjadi buas!, seorang siswa yang sedari tadi hanya senyum malu tiba-tiba berteriak gembira, tangannya diangkat keatas kemudian ditarik kebawah, yang jika diterjemahkan kedalam bahasa verbal berarti ‘YES..!’. Tidak hanya satu siswa yang menjadi buas, para siswi pun meloncat-loncat penuh sukacita sambil berteriak dan bernyanyi-nyanyi, bahkan ada siswa yang berguling-guling dilantai dan ada pula siswa yang langsung mencekik leher temannya menggunakan bahu. Tingkah laku mereka mengingatkanku pada tokoh kartun Looney Tunes yang bernama Tazmanian Devil, ya, seperti itulah tingkah laku mereka sekarang, ternyata Tuhan langsung mengabulkan doaku, dengan mengubah ‘mumi’ menjadi ‘Tazmanian Devil’, bagaikan singa yang terlepas dari genggaman pawangnya. Spontan aku langsung memisahkan siswa yang sedang berkelahi, belum selesai siswa yang berkelahi ini ku pisahkan, tiba-tiba ada siswa yang naik ke atas kursi, aku benar-benar dijadikan bulan-bulanan oleh mereka. Untunglah beberapa saat kemudian pintu kelas terbuka dan satu persatu siswa kelas 1 masuk kedalam ruangan. Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, Ibu Beda pun meninggalkanku bersama 23 orang siswa yang sangat ‘luar biasa’ ini. Tiga puluh menit aku gunakan untuk mengajak mereka bermain tentang kedisiplinan, berharap agar mereka dapat segera ku kontrol, aku putar otak untuk mencari permainan yang sederhana namun dapat menyalurkan energi ‘luar biasa’ yang mereka miliki ini. Satu setengah jam berlalu, cukup banyak energi yang ku curahkan untuk menyalurkan semangat para siswa ini, hingga tanpa ku sadari ternyata banyak sekali siswa yang mengintip dari jendela, wajah mereka menyiratkan keinginan untuk dapat ikut bermain. Mereka merupakan siswa kelas 3 yang bersebelahan dengan kelas 2 dan tidak ada gurunya, tanpa berpikir panjang aku persilakan mereka untuk masuk dan bermain bersama. Dengan penuh semangat mereka masuk kedalam kelas, ternyata diantara mereka ada juga siswa kelas 4, 5 dan 6. Para siswa yang awalnya bermain di lapangan kini sudah berpindah ke dalam sebuah kelas berukuran 6x5 meter. Kegiatan KKG yang sedang berlangsung ternyata mengakibatkan para siswa ini terlantar, ku tatap wajah mereka satu per satu, terlihat bermacam-macam ekspresi yang muncul, keanekaragaman pola pikir dan tingkah laku siswa dari kelas 1 hingga 6 harus bisa aku salurkan, permainan sudah pasti tidak dapat dilakukan dalam ruangan yang sempit ini dan dengan jumlah siswa yang banyak, cuaca yang sangat panas juga tidak memungkinkan untuk dilawan. Akhirnya mereka aku ajak untuk bernyanyi lagu bahasa inggris yang sederhana, dan mereka menyukainya. Setengah jam berlalu, jam digital di HP ku sudah menunjukkan pukul 10.10 WIT, waktunya untuk  istirahat. Namun sebelum mereka aku bubarkan, aku memberitahukan mereka tentang sebuah rahasia, yaitu Hari Guru yang akan diperingati oleh seluruh guru di Indonesia. Para siswa pun bersemangat untuk membantuku membuat sebuah kejutan bagi bapak dan ibu guru mereka. “Siapa yang mau bantu Bapak bikin kejutan?” pintaku kepada mereka dan dijawab dengan semangat “Saya...!!” “Kalo kalian mau bantu bapak, nanti sore kita kumpul di sekolah ya!” “Aya[3]....!” serentak para siswa menjawab perrmintaanku, dan telah disepakati bahwa pukul tiga sore mereka akan kumpul kembali ke sekolah untuk membuat kejutan dihari guru esok. Dengan langkah mantap aku meninggalkan mereka menuju sebuah ruangan yang sedang dipakai untuk KKG. Setelah berbincang sekitar 15 menit dengan para guru, aku pun pamit untuk mengajar bahasa Inggris di kelas 4, sedangkan mereka melanjutkan kegiatan KKG hingga sore nanti. Lonceng berbunyi dua kali, menandakan sekolah telah selesai dan apel siang akan dimulai. Sebelum siswa kelas 4 keluar, aku kembali mengingatkan mereka tentang kejutan yang akan dibuat nanti sore, terus terang, aku sedikit menyangsikan bahwa mereka akan hadir pukul 3 sore nanti, akan tetapi hal ini akan menjadi tanda, apakah aku berhasil menghadirkan semangat hari guru kedalam hati mereka atau tidak. Apel siang telah selesai dilaksanakan, para siswa pun bergegas pulang ke rumah mereka masing-masing, sedangkan aku, melanjutkan kegiatan mengikuti KKG hingga sore nanti. Jam digital di HP ku sudah menunjukkan angka 3, sesekali aku menoleh keluar jendela, berharap akan ada siswa yang datang untuk membuat kejutan di Hari Guru, namun belum terdengar ada suara riang siswa diluar sana. Lima menit kemudian, ada seorang anak yang mengintip dari depan pintu ruangan yang menjadi tempat KKG, dengan segera aku keluar, berharap anak itu adalah siswa SD Indomut. Andika namanya, siswa kelas 4 itu sudah menanti di lorong kelas dengan seorang temannya, senyum pun mengembang dibibirku. Seorang fasilitator KKG kemudian bertanya padaku, dengan segera kujawab bahwa jam 3 aku ada janji dengan siswa. Ruang kelas 2 yang terletak di pojok sekolah menjadi saksi dari semangat para siswa dalam membuat hadiah spesial untuk guru mereka, satu persatu siswa berdatangan ke sekolah hingga jumlahnya hampir sama dengan jumlah siswa yang aku hadapi tadi pagi. Di mata mereka aku melihat pancaran semangat dan kegembiraan, bukan pancaran rasa takut ketika pertama kali aku bertemu mereka. Aku pun mendapat pelajaran dari mereka, ditengah kerasnya pola pendidikan yang dilakukan oleh guru kepada mereka disini, namun mereka masih menyimpan rasa sayang yang tulus kepada guru mereka. Berbekal bahan seadanya, mereka membuat dua buah rumbai-rumbai dari kertas origami dan kertas bekas, menggunakan krayon serta spidol berwarna, satu persatu kertas itu digabungkan dan dilem pada dua utas tali. Awalnya aku ragu mereka dapat menyelesaikan kejutan kecil ini, namun keraguan itu sirna ketika dengan jelas aku membaca dua buah rumbai-rumbai yang bertuliskan: “SELAMAT HARI GURU” “ KAMI SAYANG BAPAK/IBU GURU” Bersambung.... Halmahera Selatan Selasa, 26 November 2010 Pkl 16.35 WIT, ditengah ramainya suara anak-anak Belajar mengaji ______________ [1] Praktek Pengalaman Mengajar, praktek mengajar di SD selama seminggu yang terdapat di sekitar camp pengajar muda [2] Ibukota Kabupaten Halmahera Selatan, hanya dapat ditempuh dengan jalur laut menggunakan Ketinting selama 15 menit dari Indomut. [3] Bahasa daerah yang berarti ‘Ya’ 

Cerita Lainnya

Lihat Semua