Kota Tanpa Pengemis?
Rhamdani Kurniawan 6 Maret 2011Kota Tanpa Pengemis?
Dahulu, setiap kali aku diajak pergi untuk berziarah ke Masjid Agung Banten, yang tergambar dalam benakku adalah barisan pengemis yang berjejer di pinggir jalan atau gerombolan anak-anak kecil yang menarik-narik baju para peziarah untuk mengais keping-keping rupiah. Ketika aku berada di Surabaya dan mengunjungi tempat sejenis, yaitu Masjid Sunan Ampel atau makam Sunan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, pemandangan yang sama kembali ku temui.
Terlebih ketika berada di tempat-tempat umum kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pengalamanku selama empat tahun hilir mudik Jakarta-Surabaya menggunakan kereta api ekonomi memberikan gambaran lebih dari cukup betapa negeri ini sudah dipenuhi oleh kemiskinan yang sedemikian akut, nyaris tidak ada tempat di negeri ini yang terbebas dari kemiskinan.
Namun pengalamanku selama hampir empat bulan di Halmahera Selatan sedikit menggoyahkan keyakinanku akan kemiskinan yang melanda negeri ini.
Halmahera Selatan adalah sebuah kabupaten yang terletak di Maluku Utara dengan jumlah penduduk paling banyak dibandingkan kabupaten yang lain. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan petani, selain itu ada satu jenis pekerjaan yang cukup banyak diperebutkan orang, PNS.
Ibukota Halmahera Selatan adalah Labuha, sebuah kota kecil yang terletak di pinggir pantai pulau Bacan. Satu hal yang aku kagumi dari kota ini adalah tidak ada satupun pengemis yang aku temui di setiap sudut kota, mungkin akan muncul pertanyaan ‘karena kota kecil, pasti biaya hidupnya rendah sehingga wajar saja tidak ada penggemis’.
Terus terang, biaya hidup di kota ini tergolong tinggi, hampir tiga kali lipat dibanding biaya hidup yang pernah aku alami di Surabaya. Untuk dapat menikmati satu porsi nasi beserta lauknya minimal harus mengeluarkan uang 10 ribu rupiah. Mau masak sendiri? Boleh saja, tapi untuk mendapatkan 6 buah tomat seukuran bola pingpong kita harus mengeluarkan uang 5 ribu rupiah. Apalagi untuk urusan teknologi informasi, biaya Warnet disini mencapai 10 ribu/jam dan biaya print dokumen Rp 2500 per lembarnya.
Selain itu, bisa dibilang kota Labuha adalah kota ‘serba 5000’ karena di kota ini rata-rata harga paling rendah adalah 5000 rupiah. Apabila ingin berbelanja barang kebutuhan pokok di pasar, rata-rata sudah dipatok dengan harga Rp 5000. Cabai, tomat, bawang, kacang tanah, sayur, semua dipatok dengan harga paling rendah Rp 5000, sehingga jangan harap dapat menggunakan uang recehan disini, tidak laku.
Pernah suatu hari ketika di warnet saya melihat uang koin Rp 500 tercecer di jalan dan 3 jam kemudian masih tergeletak di tempat yang sama, tidak digubris sama sekali. Tiba-tiba aku teringat teriakan pengamen serta pengemis yang terkadang ‘memaksa’ para penumpang untuk mengeluarkan uang receh yang berada dikantong dan saku mereka ketika aku naik kereta api dulu, benar-benar ironi.
Namun dibalik keangkuhan harga yang ada disini, kota ini adalah surga bagi para penggemar ikan laut, karena hanya dengan uang 10-15 ribu saja sudah bisa mendapatkan ikan cakalang seukuran betis orang dewasa. Bahkan ketika stok ikan melimpah, dengan uang 10 ribu saja sudah bisa mendapatkan 3 ekor ikan cakalang dengan ukuran yang sama.
Mungkin inilah salah satu alasan tidak adanya pengemis disini, walaupun harga bahan kebutuhan pokok cukup tinggi, namun kekayaan alam yang membentang sangat lebih dari cukup untuk dapat mengisi perut penduduk disini, meskipun tidak memproduksi beras, bahan pokok lain seperti sagu, singkong, pisang dan ubi banyak tersedia di hutan dan kebun-kebun milik penduduk, belum lagi ikan yang sangat melimpah di laut dan cukup mudah untuk ditangkap, sehingga tidak ada alasan untuk dapat mengemis disini.
Lalu bagaimana dengan kesehatan? walaupun PAD kabupaten ini hanya 2 M serta APBD sebesar 100 M, Halmahera Selatan telah berhasil menjalankan program kesehatan gratis di seluruh rumah sakit dan puskesmas milik pemerintah, bahkan ada penduduk dari kabupaten lain yang membuat KTP serta KK Halmahera Selatan hanya untuk dapat menikmati pengobatan gratis disini, baik pengobatan ringan hingga pengobatan yang tergolong berat seperti operasi tumor.
Demikian pula dengan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga SMA sudah tidak dipungut biaya sepeserpun, hanya diperlukan niat dan kemauan dari orang tua dan masyarakat untuk dapat bersama-sama memajukan kehidupan di Halmahera Selatan.
Masyarakat Halmahera Selatan memang belum sepenuhnya terbebas dari kemiskinan, namun arti kemiskinan disini semakin memudar dan nyaris tidak terdeteksi karena variabel-variabel kemiskinan yang semakin abstrak. Mengutip ucapan seorang penduduk, “Di Halsel ini tidak ada orang miskin pak, orang miskin itu cuma ada di Jawa saja, karena banyak orang yang mati kelaparan dan busung lapar” , “kalo disini semua bisa jadi doi (uang). Mangail (memancing) jadi doi, ke kebong (kebun), jadi doi. Kalo di Jawa tuh susah! ”
Semoga akan ada Halmahera Selatan lain di pelosok Indonesia, sehingga tidak perlu bertambah banyak air mata ibu pertiwi yang jatuh menangisi anak bangsanya yang terluka dan mati di tengah suburnya alam negeri ini.
Halmahera selatan, 4 Maret 2011
Pkl 01.00 WIT, ditengah alunan lagu ‘Burung Camar’ Bang Iwan
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda