info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Cemas Itu...

Rhamdani Kurniawan 6 Maret 2011
Cemas itu Setelah hampir tiga bulan aku berada disini, pekan ini adalah pekan yang benar-benar berat bagiku. Setiap aku masuk ke dalam kelas, seketika itu pula semangat untuk mengajar seolah-olah luluh bagai lilin yang terbakar api, aku benar-benar tidak fokus mengajar, hingga aku bertanya dalam hati, ‘apakah ini akhir bulan madu seperti yang pernah diucapkan dulu?’ Senin, 31 Januari 2011 Seusai upacara murid-murid sudah masuk ke dalam kelas, bersiap menanti kedatangan seseorang yang akan memuaskan rasa ingin tahu mereka akan ilmu pengetahuan. Namun terkadang keinginan mereka hanya tinggal harapan belaka, karena ‘alat pemuas’ dalam sosok guru tidak datang untuk memenuhinya. Hari senin saya tidak ada jam mengajar, namun dapat dipastikan setiap hari senin saya harus keluar-masuk kelas untuk dapat sedikit memuaskan rasa ingin tahu mereka akan ilmu pengetahuan. Tetapi hari ini saya merasa ada yang berbeda, suasana kelas hari ini sangat tidak nyaman. Celotehan ‘khas’ anak-anak yang biasanya saya balas dengan ‘guyon’ kini saya tanggapi dengan emosi yang tertahan, alhasil, saya pulang dengan kondisi sangat lelah. Selasa, 1 Februari 2011 Tak ingin terpuruk dengan ‘kekalahan’ kemarin, hari ini aku sudah siap untuk masuk kelas, materi sudah siap ‘ditembakkan’ dengan amunisi yang memadai. Aku masuk kelas lima untuk mengajar, di dalam kelas aku sudah dapat menikmati suasana mengajar walaupun masih belum seratus persen fokus. Hingga beberapa saat kemudian ada tiga orang siswa yang tidak memperhatikan dan asyik menggambar pada buku tulisnya sambil membuat kegaduhan. Aku dekati mereka sambil berkata, “Ayo lagi gambar apa? Kalian sudah mencatat tulisan di papan tulis belum?” pertanyaanku hanya dibalas dengan senyuman malu-malu. “Menggambarnya nanti dulu ya, sekarang kalian perhatikan pelajaran didepan” ucapku lagi. Buku yang berisi gambar sudah mereka tutup, namun beberapa saat kemudian mereka kembali ribut dan menggambar. Aku dekati kembali mereka dan berkata, “Wah gambarnya bagus sekali !, sekarang Edi mencatat dulu ya, kalo sudah selesai mencatat Edi boleh menggambar lagi, nanti bapak nilai” aku coba lakukan pendekatan yang halus. Sudah dua kali peringatan aku lontarkan, namun anak-anak ini tetap asyik pada bukunya dan terus menggambar sambil berceloteh. Didorong oleh rasa emosi yang sejak kemarin ku pendam, tiba-tiba terbersit dalam benakku sebuah metode yang pernah dipakai seorang teman untuk menertibkan siswa seperti ini. “Ayo, yang sedang menggambar dibelakang dengar Bapak baik-baik, kalau kalian masih tetap menggambar dan tidak mencatat pelajaran, silakan kalian pindah ke kelas sebelah!” pintaku, aku masih menahan agar kata ‘keluar dari kelas’ tidak aku ucapkan, dan untuk pertama kalinya aku memberi hukuman keluar kelas kepada mereka. Dapatkah kalian menebak apa yang kemudian mereka lakukan? Apakah mereka menghentikan aktivitasnya dan mulai mencatat materi? Ternyata anak-anak ini dengan tertib keluar dari kelas menuju kelas sebelah yang aku tunjuk, arrgghhh..... dalam hati aku benar-benar kecewa, ternyata cara ini tidak berhasil untuk mereka. Suasana kelas mulai tidak nyaman, sayup-sayup dapat ku dengar celoteh beberapa siswa “Ayo, pak guru marah”, “ngana ni baribut sampe ” (kamu ini ribut saja-red). Empat orang sudah keluar dari kelas dan membawa bukunya untuk menggambar di kelas sebelah. Sesaat kemudian, Edi kembali masuk ke dalam kelas dan berkata, “Pak guru, saya mau belajar saja, tara mau menggambar”, “Duduk sudah, jangan baribut lagi, Edi boleh menggambar setelah pelajaran selesai” aku berkata dengan perasaan sedikit gembira. Pelajaran kali ini berakhir sepuluh menit lebih cepat dari biasanya, karena aku sudah tidak konsentrasi lagi untuk mengajar. Selain itu, aku harus memberi treatment pada murid-murid ku yang hobi menggambar ini. Aku masuk ke dalam kelas kosong yang mereka pakai untuk menggambar, mencoba berbicara dengan mereka, jangan sampai kejadian tadi membuat mereka segan untuk belajar. “Mana gambar kalian, biar bapak beri nilai” aku coba pecahkan keheningan di dalam kelas. Anak-anak yang awalnya serius menggambar kemudian memberikan buku mereka padaku. Aku pandangi gambar mereka satu persatu, semua gambarnya sama, yaitu gambar orang bermain bola, ada Lionel Messi, Ricardo Kaka, bahkan ada gambar Mickey Mouse yang sedang menendang bola, benar-benar imajinasi anak-anak, pikirku dalam hati. Setelah aku membubuhkan nilai, beberapa siswa lainnya kemudian mengerubutiku, mereka seakan-akan berlomba memperlihatkan karya mereka masing-masing. Edi yang tadi berkata tidak mau menggambar, juga meminta agar gambarnya dinilai olehku. Seketika mereka sudah dapat tersenyum nakal, melompat-lompat gembira karena ada angka 80 pada gambar yang mereka buat. Tak ingin melewatkan kesempatan ini, aku panggil siswa-siswa yang hobi menggambar tadi, “Besok lagi kalau gambar kalian mau Bapak nilai, kalian harus mencatat materi dulu ya, setelah pelajaran dari Bapak selesai, kalian baru boleh menggambar, nanti akan Bapak beri nilai” anak-anak itu pun dengan semangat berkata “saya pak guru!”. Jum’at, 4 Februari 2011 Sudah empat hari aku mengajar dengan tidak fokus, entah apa penyebabnya aku tidak tahu, hingga sebuah telepon membunyikan handphone ku, dan muncullah nama yang sangat aku kenal, Ayah. Ketika aku angkat, suara seorang wanita yang sangat menyejukkan hati masuk melalui telingaku, ia adalah ibuku. Beliau memberitahuku bahwa sudah seminggu ini Ayah sedang sakit hingga menyebabkan beliau tidak mampu untuk berjalan. Ternyata ini adalah jawaban dari perasaan cemasku selama seminggu, walaupun terpisah jarak ribuan kilometer, namun ikatan hati antara orangtua dan anaknya seakan menghapuskan jarak yang membentang. Aku hanya dapat berdoa, semoga setiap rasa sakit yang dirasakan, menjadi penghapus dosa-dosa kecil Ayah, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah. Setelah mengetahui penyebab munculnya rasa cemasku dalam seminggu ini, kini aku siap menjalani kembali hari-hari indahku di Indomut, seperti yang pernah diucapkan Nabi Muhammad ketika berada dalam pelarian menuju Madinah bersama Abu Bakar, Innallaha ma ana... Allah bersama kita, dimanapun kita berada. Halmahera selatan, 6 Februari 2011 Pkl 23.33 WIT, seusai mendengar kabar baik

Cerita Lainnya

Lihat Semua