Hari Kiamat Bagi Mereka
Rhamdani Kurniawan 6 Februari 2011
Adakah diantara kita yang sudah pernah menonton film 2012? Atau mungkin The Day After Tomorrow? Lalu apa yang kita rasakan setelah menontonnya, senang? Puas? Lalu membahas dengan teman seperjuangan betapa serunya adegan serta efek yang ada pada film tersebut selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu.
Ada satu kisah yang dapat menjadi pelajaran bagi kita orang dewasa khususnya saya pribadi. Beberapa waktu yang lalu seusai mengajar mengaji anak-anak SD di rumah mama piara (rumah tinggal), seperti biasanya saya ajak mereka berdiskusi sejenak, bercerita mengenai kisah para nabi, sahabat serta kisah-kisah tauladan yang pernah saya baca sebelumnya, atau menjelaskan mengenai hukum-hukum bacaan (terima kasih PBA...:)).
Kali ini materi diskusi adalah tentang shalat. Setelah bermain puzzle mengenai gerakan-gerakan shalat dan penjelasan singkat, akhirnya saya putarkan sebuah potongan film tentang jatuhnya meteor ke bumi, sehingga menyebabkan terjadinya tsunami yang super besar, dimana banyak orang berlarian menyelamatkan diri, hingga pasrah akan maut yang sudah menanti di depan mata. Film ini saya putarkan untuk menggambarkan bahwa suatu hari nanti manusia pasti mati, dengan cara yang tidak diduga-duga, dimana setiap orang yang mati akan membawa amal ibadah masing-masing siap ataupun tidak, dan salah satu ibadah yang akan diperhitungkan pertama kali adalah shalat.
Ekspresi yang muncul dari anak-anak ini diluar dugaan, ada yang menutup mata sambil menjerit, bahkan ada yang tidak berani melihat sama sekali. Sebenarnya film ini adalah film yang biasa kita tonton di televisi, namun bagi anak-anak ini, film tersebut seperti menjadi ‘gambaran’ dahsyatnya hari kiamat (yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding hari kiamat)
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30 WIT, satu jam lagi waktu shalat maghrib tiba, saatnya mengakhiri diskusi dengan membaca surat al Ashr, surat yang sudah dihafal oleh anak kelas satu hingga kelas enam karena selalu dibaca ketika apel siang di sekolah. “Sampai ketemu di masjid ya anak-anak! ” kalimat penutup ini mengantar mereka keluar rumah, sayup-sayup aku dapat mendengar mereka membahas mengenai film ‘kiamat’ yang ku putarkan tadi, "semoga hari ini rumah-Mu akan dipadati oleh kaki-kaki mungil mereka" harapku dalam hati.
Setibanya di masjid untuk maghrib berjamaah, rasa bahagia membuncah dalam hati. Belasan anak-anak kecil sudah berkumpul di serambi masjid dengan penuh semangat. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa desa tempat saya bertugas dihuni oleh lebih dari 600 orang yang 100% muslim, dan lebih dari 300 diantaranya adalah kaum pria, namun ironisnya, setiap shalat jumat berlangsung hanya 2-3 shaf saja yang terisi oleh jamaah, dimana satu shafnya berisi sekitar 20-25 orang. Itu adalah shalat wajib yang apabila tidak dilakukan selama 3 kali berturut-turut sudah dianggap keluar dari Islam dan harus mengulang mengucap syahadat. Lalu bagaimana dengan shalat yang lima waktu?
Shaf yang biasanya berisi 3 hingga 6 orang kini dipenuhi oleh barisan anak-anak. Suara ‘amin’ khas anak-anak pun menggelegar ketika sang imam menyelesaikan surah al Fatihah. Dalam hati terbersit rasa bahagia sekaligus cemas. Bahagia karena ‘rumah ini’ akhirnya memiliki penghuni, sekaligus cemas karena mungkin penghuni ini tidak akan bertahan lama, setelah efek ‘kiamat’ itu hilang, maka penghuni ini pun akan berangsur-angsur hilang. Sama ketika seseorang menjadi rajin beribadah setelah mengikuti training ‘spiritual’, dan beberapa hari kemudian efek dari training tersebut menghilang, dan keadaan kembali seperti sediakala, bahasa ilmiahnya, ‘tobat sambel’.
Sepuluh hari telah berlalu sejak kejadian film ‘kiamat’, dan setiap harinya saya semakin yakin, bahwa anak-anak ini berbeda. Mereka bukan orang dewasa yang memiliki expired date dalam hal beribadah. Mereka adalah anak-anak yang membutuhkan contoh untuk diikuti, apabila orang dewasa mencontohkan bermalas-malasan di rumah ketimbang sholat jumat atau shalat fardhu di masjid, maka jangan salahkan mereka jika ikut malas-malasan seperti orang dewasa. Kini saatnya orang dewasa benar-benar dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi individu yang mampu memberikan tauladan yang baik bagi anak-anak generasi berikutnya. Namun untuk saat ini, kita patut mencontoh semangat anak-anak kita dalam berbuat kebaikan, semangat yang murni, tanpa ada 'embel-embel' apapun dari dunia yang fana ini.
Wisdom of the day:
Anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang dilihatnya, walaupun mungkin hal itu salah. Dan orang dewasa berkewajiban untuk memberikan contoh yang baik untuk ditiru, serta memiliki akal untuk memilih hal baik yang akan ia tiru.
Halmahera selatan, 3 Februari 2011
Pkl 10.45 WIT, menanti hujan reda untuk berenang
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda