Fitri Di Tanah Air

Rhamdani Kurniawan 16 September 2011

Pagi ini tak seperti biasanya, tak ada antrian atau panggilan untuk segera mandi, tak ada lalu lalang di dalam rumah dengan aroma baju baru yang menusuk, atau sajian aneka hidangan opor ayam dan ketupat diatas meja. Semua berlangsung dengan ritme yang lebih lambat, menyesuaikan dengan detakan waktu yang memang terasa lambat. Wajah-wajah itu menyadarkan diriku, bahwa ini bukanlah tempat biasa ku berhari raya.

Papa piaraku adalah orang yang pertama ku lihat pagi ini menggunakan busana spesial hari raya, sebuah busana yang ku bawakan dari rumah, benar-benar pas beliau kenakan. Tradisi idul fitri di Desa Indomut dan Halsel pada umumnya hampir sama dengan tradisi di Jawa. Semua orang pergi sholat Ied menggunakan pakaian terbaik mereka, yang rata-rata baru, dan memadati masjid hingga tumpah ke halamannya.

Lepas shalat Ied semua orang saling bermaafan dan saling mengunjungi rumah untuk mengucapkan ‘Minal aidzin wal faizin’. Isak tangis terkadang pecah ketika ada saudara yang datang untuk meminta maaf atas segala khilaf yang terjadi di masa lalu. Tak terkecuali anak-anak kecil, mereka semua memakai baju baru, walaupun kadang tidak match sama sekali dengan tema Idul fitri karena pakaiannya benar-benar ‘gaul’ layaknya akan pergi ke pesta dengan riasan yang membuatku geleng-geleng kepala, seakan menjadi tradisi atau kewajiban dalam memaknai Idul Fitri.

Namun, sedari tadi saya belum melihat ada yang melangsungkan sungkem pada orang tua. Rumah Papa piara saya pun yang terkenal taat beragama hanya bersalaman dan memeluk anak-anaknya, tak ada tangis sama sekali, tak ada prosesi mencium tangan sambil berlutut dihadapan ayah dan ibu, semua berlangsung normal namun tetap syahdu dan tak kehilangan makna Hari Raya.

Puas bersalaman dan mengucapkan selamat hari raya dengan keluarga baru yang kumiliki, kini saatnya aku meminta maaf dan berlebaran dengan keluarga asli ku nan jauh disana.

Halo.. Dani?” ucap sebuah suara di ujung telepon, dan seketika saja rasa rindu itu membuncah dan menyesakkan dada. Keluar lah segala kata-kata yang sedari tadi ku tahan, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

Desa Indomut menjadi Desa pertama bagiku menjalani Idul Fitri jauh dari keluarga. Bahkan Surabaya, kota yang sudah ku anggap sebagai kota kelahiran kedua setelah Serang, tak pernah ku tinggali ketika hari raya tiba.

Hari ini aku merasakan sebuah kenikmatan merayakan Idul Fitri dengan keluarga baru, di tempat yang benar-benar baru dan tak pernah terbayangkan akan ku kunjungi sebelumnya. Tak peduli di belahan bumi mana kita merayakan Idul fitri, walau di ujung dunia sekalipun, semua kembali pada keyakinan kita masing-masing, karena sejatinya, bumi ini adalah milik Allah SWT...

 

Indomut, 1 Syawal 1432 H (31 Agustus 2011)

Masih ditengah kesyhaduan Idul Fitri di Perantauan


Cerita Lainnya

Lihat Semua