PM dambaan itu kayak apa sih?

RetnoDewi Yulianti 14 April 2015
Aku belum merasa jadi PM dambaan. Aku kira yang anak-anaknya punya semangat belajar tinggi, menurut, yang bisa menorehkan prestasi mewakili kabupaten hingga pergi ke Jawa (Padahal mereka semua masih keturunan Jawa), dan yang baik-baik lainnya. Bagiku mereka lebih membutuhkan materi pendidikan karakter dari pada bahasa Inggris yang menjadi muatan lokal. Mereka terbiasa menggunakan bahasa jawa kasar pada setiap orang, termasuk guru di sekolah. Mereka cenderung menekan otot-ototnya saat berbicara, dengan nada tinggi. Enggak heran kalau guru-guru disini tersinggung dengan perkataan mereka. Aku heran dengan mereka diberi nyanyian mengeluh, diberi permainan katanya tak pernah bermain, diberi soal katanya sulit, diberi percobaan katanya enggak bisa, diminta menulis katanya capek, diminta baca katanya bosan, disuruh fotokopi atau membeli buku katanya tak punya uang. Arghhh,, kira-kira apalagi yang harus kulakukan? Bingung aku dibuatnya. Setiap malam aku kepikiran metode apa yang bisa aku gunakan agar mereka tak cepat bosan. Setiap langkah perjalanan sekolah, aku berfikir kembali bisakah anak-anak sopan terhadapku, menyapaku, dan memberi salam saat aku datang? Bisakah mereka meminta izin terlebih dahulu ketika melakukan tindakan diluar pembelajaran? Cara apalagi yang bisa aku gunakan untuk mereka? Rasanya ada beban saat perubahan tak kunjung kutemukan. Namun beberapa kali aku tercengang melihat Yuda, siswa kelas II yang mau mengetuk pintu dan meminta izin masuk ke ruang guru. Aku senang Adi dan Bayu, siswa kelas III berlari dari ruangannya, berebut untuk mengucapkan salam padaku. Aku bangga pada Irfan salah satu siswa kelas IV yang terus berusaha berbicara bahasa Indonesia pada gurunya. "Buk aku nyeleh spidole buk,". Dengan tersenyum aku berkata, "Ibu, saya pinjam spidolnya, warna ...," tak kulanjutkan. Irfan terbata" melafalkan kata-kata yang kuajarkan. Aku gembira melihat Nurul dan Laila, siswa kelas V yang tak lagi berteriak memanggil namaku ketika aku berda jauh dari mereka. Dan Fanus, siswa kelas VI yang selalu menyapaku di dalam sekolah, maupun di luar sekolah, walau sekedar tersenyum saat melihatku. Ya, sedikit demi sedikit mereka mulai menunjukkan sopan santunnya. Aku tidak mengelakkan lagi inilah langkah awal perubahan mereka. Memang tak muluk-muluk mau menjadikan mereka seorang genius, seorang yang bisa segala hal, dan seorang yang tau banyak hal. Bagiku apalah arti kecerdasan dan pengetahuan tanpa karakter yang menunjang. Entah salah atau benar, tapi ini adalah hal yang baik dan yang buruk. Semoga menjadi langkah awal perubahan untuk membangun negeri ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua