Pecel Mbah Min

RetnoDewi Yulianti 19 Agustus 2015

Sebelum kehadirannya, aku bingung harus berbuat apa pada anak-anakku. Setiap pagi anak-anak jarang sarapan dengan berbagai alasan. Sarapan belum matang, terlambat, atau juga ditinggal oleh kedua orang tuanya nderes karet. Ujung-ujungnya mereka akan mengeluh lapar saat pelajaran pertama dimulai. Tidak konsentrasi, lemas, dan ingin istirahat terus.

Memang tidak semuanya begitu, ada juga beberapa anak yang membawa bekal makanan dari rumahnya sendiri. Sebagian dari mereka membawa bekal sesuai dengan gizi yang mereka butuhkan. Namun tidak dengan selainnya. Di kantin sekolah, tidak banyak yang bisa ditemui. Makanan yang dijual ala kadarnya, chiki, berbagai es semacam marimas, jasjus dan selainnya. Terkadang ibu kantin menjual nasi untuk mengenyangkan perut anak-anak. Baginya itu adalah nasi goreng. Namun saat aku lihat seksama ternyata makanan yang dimaksud adalah nasi dan kecap yang digoreng.

Liburan datang, dan kembali ke tahun ajaran baru, siswa kelas satu bertambah menjadi 9 anak. Memang dari lulusan TK dekat sekolah ada 7 anak, ditambah 2 anak yang langsung dimasukkan SD. Dari sembilan anak itu seorang anak bernama Deva (dipanggil Depa) memiliki seorang Mbah (nenek). Ia adalah sosok yang dinantikan kehadirannya.

Namanya adalah Mbah Sarmini. Ia pernah menjabat sebagai ibu kantin di TK cucunya selama dua tahun. Dengan tugas yang sama, yaitu menjaga cucunya. Akhirnya ia pindah penempatan ke SD (karena cucunya sekarang SD). Mbah Min (panggilan bekennya), mendapat lokasi penjualan di bawah pohon rimbun dekat lapangan voli tempat anak-anak bermain. Di hari pertama sekolah Mbah Min menjual es dan gorengan saja. Hari itu dagangan mbah Min laku berat. Anak-anak suka, karena murah dan mengenyangkan. Sekitar 500 hingga 1000 rupiah. Sampai hari ke enam mbah Min masih menjual dengan menu yang sama, hanya kuantitasnya diperbanyak. Di hari itu juga aku mendatangi mbah Min, berlagak seolah membeli seperti anak-anak lain. Namun saat masih jam pelajaran. Terjadilah perkenalan antara aku dan mbah Min. Dari hasil cerita panjang lebar dengannya, ternyata status penjualannya diakui oleh masyarakat. Ia sempat vakum jualan selama satu tahun lantaran harus menyelesaikan permasalahan anaknya yang kesekian (dirahasiakan).

Dari situ aku juga bercerita tentang masalah anak-anak yang tidak sarapan. Hal yang dianggap sepele, tapi berpengaruh besar dalam proses pembelajaran. Pagi itu, ia berinisiatif menjual sarapan untuk anak-anak dengan menu pecel. Ide itu datang tiba-tiba seperti hembusan angin kencang di musim panas yang datang secara tiba-tiba. Di hari seninnya kulihat mbah Min sudah mulai menjual sarapan pecel dengan lauk tempe goreng serta sayuran. Tidak ada piring yang disediakan, hanya menggunakan daun pisang ala kadarnya. Tapi justru itulah kealamiannya. Ya, sekarang hasil penjualanmbah Min meningkat. Kemarin hanya lauk tempe saja, namun kini sudah ada pisang goreng dan tahu isi dengan harga yang sama. Bahkan guru-guru mulai berminat untuk membeli karena enak dan murah. Pagi ini saja hampir sebagian siswa mengerubunginya membeli menu yang sama, PECEL. “mbah besok buat kartu antrian aja,” usulku. Ya, pagi itu saja aku harus menjuali diriku dan guru-guru, karena mbah Min repot bukan main. Harapanku sama dengan mbah Min semoga penjualannya meningkat dan bisa menambahkan produk baru di tiap harinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua