Prolog: Di Wayatim Saya Singgah

Reisky Handika 6 November 2011

Tiba jugalah akhirnya 3 November 2011. Sudah hampir dua bulan tanggal ini selalu tampak seperti sesuatu yang tak nyata. Karena masih berjarak. Namun sekarang tanggal ini telah sampai.

                Kami ber-47 tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Pagi buta. Rombongan kami dan tim dari Galuh bersiap berpisah. Rasanya surreal: kami akan saling melepas tangan dan meninggalkan apa yang kami punya di sini. Akan terbanglah kami ke berbagai penjuru, sendiri-sendiri, setahun. Rasa-rasanya masih tak nyata.

                Saya pribadi tidak memungkiri memiliki rasa takut dan gugup. Terbersit bermacam-macam pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan saya alami di daerah penempatan nanti. Berbagai skenario bermunculan di kepala, mereka-reka sesuatu yang masih belum terlihat jelas bentukannya. Tapi ada pula excitement yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Campur aduk. Saya benar-benar ingin tahu.

                Rasanya ingin saya ekstraksikan dan mampatkan tujuh minggu terakhir di Ciawi ke dalam sebuah kotak kecil yang bisa saya bawa ke mana-mana. Dan kapanpun saya mau, saya bisa membuka kotak itu dan menikmatinya sendirian. Materi, wejangan, nasehat dari segenap panitia saya inginkan tak ada yang tercecer satu pun. Dan tentunya juga kenangan. Dengan 46 yang lain. Yang masih belum puas saya berbagi dengan. Yang masih mau saya kenal lebih dalam. Yang masih ingin saya dengar tawanya.

                Penerbangan pertama, pukul 05.40 WIB. Saya di situ. Tim Halmahera Selatan. Kami bersepuluh pamit di muka. Boarding. Take off. Tak sampai seperempat hari, telah di Indonesia Timur-lah kami.

                Bagi saya pribadi, ini adalah pengalaman paling pertama menginjakkan kaki di Indonesia bagian timur. Seumur-umur saya hidup, paling jauh saya cuma bisa sampai Lombok. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua belum sempat saya raih. Jadi bisa dikatakan ini menjadi semacam “prestasi pribadi”.

                Mendarat di Ternate, menyeberang laut ke Pulau Bacan, dan berkapal ria ke desa penempatan, semua padat dilakukan dalam jangka waktu empat hari. Desa tujuan saya adalah Desa Wayatim, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Desa Wayatim merupakan desa paling ujung di Kecamatan Bacan Timur Tengah. Ada tujuh desa seluruhnya: Tawa, Songa, Bibinoi, Tabapoma, Tutupa, Tomara, dan Wayatim. Yang unik dari desa saya ini adalah ukurannya yang mungil. Berkeliling desa bisa dilakukan hanya dalam waktu tujuh menit (dengan jogging) atau sekitar 20 menit (dengan jalan super santai). Hanya ada 60-an Kepala Keluarga di sini. Amat sepi. Selain itu, di sini nyaris tidak ada anak remaja (usia belasan hingga awal 20-an), karena memang di desa ini hanya ada satu sekolah, yakni SDN Wayatim. Dan di situlah saya mengajar.

                Ada sekitar 60 siswa di SD ini, namun hanya ada lima ruang kelas dan dua orang guru selain saya (satu di antaranya Kepala Sekolah). Tak ada perpustakaan, tak ada kamar mandi. Ingin buang air? Tinggal jalan ke pantai.

                Tetapi wajah anak-anak Wayatim begitu menggemaskan. Tertawa sudah seperti konsumsi wajib ada setiap hari, dan tidak berlaku Law of Diminishing Return untuk tawa itu. Semua tampak begitu ringan dan indah. Semuanya terasa cukup. Tak ada yang kurang. Malah mungkin berlebih.

                Nama saya Reisky Handika, Pengajar Muda Angkatan III. Saya telah sampai di Wayatim, rumah baru saya. Namun perjalanan saya baru saja dimulai.


Cerita Lainnya

Lihat Semua