Sedih, Senang Musim Durian

Rayi Nasiswari 12 Mei 2013

Srek... Srek... Srek... Bruk... Bruk...

"Aah...  Ada durian jatuh lagi. Sebentar siang habis pulang sekolah, boleh ini saya tunggu durian jatuh.", sahut Ibu Erni, salah satu guru di SMP tempat saya biasa membantu mengajar.

"Wah, berarti musim durian su datang!", sahut saya dalam hati. Lokasi SMP ini terletak di kampung tengah, jadi mereka dapat giliran musim durian lebih dahulu ketimbang kampung tempat saya tinggal, di kampung atas. Menurut orang kampung saya, kalau di kampung tengah sudah masuk musim berarti, kampung kami harus menunggu sekitar 2-3 minggu untuk masuk musim.

Saya sih sudah tidak sabar menunggu mau merasakan durian kampung kami yang kata orang-orang itu enak sekali. Suatu siang di bulan Maret, akhirnya saya kesampaian merasakan durian itu. Ipar di rumah saya (masih murid saya juga) membawa satu tomang besar penuh durian semua. Kami makan ramai-ramai. Hati pun senang. Sejak hari itu, setiap hari kami selalu makan durian seakan tak ada habisnya.

Dari anak-anak sampai orang tua senang makan buah itu. Bahkan banyak anak-anak yang sampai panas dalam karena terlalu banyak makan. Menurut kakak saya di rumah, durian tahun ini banyak sekali. "Musim kali ini bagus-bagus ibu, banyak lagi jumlahnya.", begitu katanya.

Keceriaan di wajah mereka akan hasil panen yang bagus ternyata tak ikut menceriakan dompet mereka. "Harga turun drastis, jelek sekali harga durian sekarang. Masa di kota, durian dijual sampai harga Rp. 1.000,- satu buahnya.", kakak piara saya bercerita dengan lesunya. Menurutnya, harga durian jatuh karena hampir semua daerah di Fakfak panen pada saat yang bersamaan. Padahal tahun-tahun seelumnya tidak pernah seperti ini. Mereka biasanya panen secara bergantian. Seperti buah pala saja, diawali panen di daerah pantai, terakhir barulah di daerah gunung.

Orang-orang di kampung tempat saya tinggal malas menjual durian ke kota. "Tara kembali modal", begitu menurut mereka. Jadi mereka hanya memungut durian jatuh dan menumpuknya di pinggir jalan (kalau-kalau ada orang dari tempat lain lewat dan mau beli). Mereka baru bersemangat jika mendengar kapal akan masuk pelabuhan Fakfak. Itu artinya mereka bisa berjualan di atas kapal dan iasanya harga di kapal lebih mahal (walaupun mereka harus bersaing dengan penjual dari tempat lain). Harga menjadi lebih bagus saat ada kapal masuk, tapi sedikit memburuk lagi kalau kapal belum masuk kembali.

Karena hasil buah ini banyak sekali, mereka pun "mengekspor" hasil panen ini ke kabupaten dan tempat lain. Misalnya, ke Tual, Sorong, Kaimana, Nabire, bahkan sampai di Timika. Ada yang menjual langsung sendiri. Ada juga yang menjual lewat pemborong. Menurut saya, lewat jalur inilah para petani durian Fakfak bisa mendapat hasil yang lumayan. Karena katanya, di Timika saja, satu buah durian besar bisa berharga Rp. 100.000,-, yang kecil berharga Rp. 50.000,-.

Senang rasanya melihat mereka berbondong-bondong memungut durian di kebun, memikulnya dengan sabar, menumpuknya di pinggir jalan lalu mereka biasanya mereka patungan untuk menyewa taksi untuk mengangkutnya ke kota. Sebuah harmoni yang indah untk disaksikan di tengah sepinya kampung kami. Ketika harga durian tak terlalu bagus, namun hati dan semangat mereka sangat bagus untuk terus berharap. Semoga harga durian pada musim panen berikutnya bisa lebih bagus lagi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua