info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

HARI INI AKU MENDAPATAN SEMANGATKU KEMBALI

Ratu Ashri Maulina Fauzana 28 Februari 2012

Setelah pergulatan yang cukup panjang dengan hatiku untuk menentukan apakah ini yang dinamakan mengeluh atau hanya tidak habis pikir terhadap keadaan, ya akhirnya aku mulai mengumpulkan semangatku kembali. Di pulau ini, sepertinya sudah tidak ada ruang lagi untuk terus terheran heran dan prihatin melihat bagaimana selama bulan ramadhan tidak banyak kaum muda mudi yang menjalankan kewajiban di bulan suci, melihat anak-anakku, ya muridku disekolah yang bermain cingcong di siang terik bolong di bawah kolong rumah, atau kemudian merasa sakit hati karena anak-anak dan orang tua murid yang kadang berseliweran di depan mata tetapi begitu cueknya melewatiku padahal aku sudah mengembangkan senyuman termanisku. Belum lagi, bagaimana anak-anak yang menjadi pijarku itu ternyata sangat susah untuk diajak bekerja sama untuk sekedar les, tidak jarang harus aku jemput ke rumah-rumah mereka agar mereka mau belajar di sore hari.

 

Aku ditempatkan sebagai walikelas 1, itu artinya aku harus berjibaku dengan kemampuan anak-anak yang masih harus terus berlatih untuk motorik kasar dan halusnya. Entah apa yang terjadi, tetapi untuk sekedar mengajarkan 5 huruf vokal saja butuh waktu sekitar 3 minggu, terpotong libur ramadhan bulan kemarin. Itupun sampai saat ini masih ada yang belum bisa mengingatnya dengan baik, segala cara telah aku kerahkan, baik itu melalui metode kinestetis, visual, bahkan auditori. Pokoknya aku tak mau menyerah begitu saja pada keadaan anak-anak ini. Kadang pikiranku mengawang-awang, mencoba untuk menelusuri alasan yang membuat mereka sangat lemah untuk menangkap informasi baru. Hmm... mereka makan ikan setiap hari, orang tua mereka selalu memberikan uang saku yang cukup besar bagi anak usia SD untuk membeli jajanan di sekolah, mereka juga sepertinya tidak gizi buruk, karena jarang kulihat anak-anak dengan badan kurus dan perut membuncit.

 

Robbiku, apa karena aku sebagai guru yang tidak mampu menginspirasi mereka, atau  karena ternyata aku terlalu galak dan disiplin. Padahal aku hanya ingin menerapkan agar anak-anak tahu aturan; paling tidak mereka mengerti bagaimana mengucapkan salam bila bertemu guru atau cium tangan kepada yang lebih tua, atau tidak jongkok dan ribut ketika upacara, atau mengucapkan permisi dan salam ketika memasuki rumah orang lain. Agaknya mereka telah hidup dengan kebiasaan itu sejak lama. Orangtuanya pun sepertinya nampak acuh dan cuek beibeh melihat perkembangan anak-anaknya. Robb, aku tidak mengeluhkan tapi aku hanya butuh ruang untuk mencurahkan hatiku dalam beberapa bulan belakangan ini, aku dan ketakutanku bila tidak dapat berbuat apa-apa di tempat ini, aku dan ketakutanku bila nyatanya aku mendapatkan rapor merah karena tak bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan kepadaku. Bagaimana aku bisa membantu mereka kalau nyata nyata dukungan itu hanya sebatas senyuman yang mengembang dari bibir mereka, atau cahaya mata mereka yang menyorotkan keterpanaan terhadap barang elektronik ala kota seperti laptop atau kamera digital.

 

Robb, aku tahu aku hanyalah orang baru di pulau ini, perlahan ku baca surat yang baru saja kuterima dari seorang sahabat, air mataku menetes, aku tersenyum, dan surat itu membuatku berkobar lagi, api yang mulai padam itu seakan tersiram bahan bakarnya kembali, surat itu mengajakku untuk melihat dan merasakan apa yang telah aku alami selama 2 tahun belakangan ini. Banyak hal, sedih, tawa, riang, airmata, jatuh cinta, putus cinta, persahabatan yang bagai kepompong, bercanda tawa dan menghabiskan waktu bersama murid-muridku di suatu sekolah swasta di bandung, terpisah oleh salah seorang teman baik karena salah paham, ditolak bekerja  di berbagai perusahaan berkali-kali, atau investasi kuliah yang masih menunggak hingga saat ini. Rasa-rasanya bila aku mengingat itu, tak ada gunanya aku terus berpikir dan keheranan, aku bisa melewatinya, aku hanya perlu bekerja lebih semangat lagi, mensugesti diriku “alleswell” seperti di film 3 ideots, dan bersemangat tanpa kenal lelah, dengan atau tanpa adanya dukungan dari pihak manapun yang mungkin berkaitan denganku. Aku sadari bahwa menjadi seorang guru adalah pekerjaan mulia, sangat mulia, dan paragraf inilah yang membangkitkan kembali semangatku

 

Ketika mereka duduk di empuk di bawah ruangan berAC, seorang guru mampu berdiri di bawah semilir angin pantai bersama anak-anak yang dari hidungnya selalu mengalir lendir kehijauan dan para kambing, ketika mereka menikmati bus trans jakarta atau taksi dengan kemacetan, seorang guru mampu menyebrangi lautan dan ombak yang menari membasahi sampan untuk anak-anak di pulau antah berantah sana.

 

Ya inilah pengabdianku, inilah jalan hidup yang aku pilih, berada bersama rakyat di pulau yang aku masih harus beradaptasi, berusaha menghadapi kerasnya karakter masyarakat, dan panasnya terik surya di hari hari cerah. Aku tak perduli lagi dengan suburnya pertumbuhan jerawat di mukaku, atau koreng-koreng  yang menghiasi sekujur kakiku, sengatan ubur-ubur itu juga tidak akan mampu menghanguskan kobaran api yang sedang kunyalakan. Ini bukan pengorbanan tapi ini pengabdian, dan sampai kapanpun, akan kujaga mimpi itu, memajukan rakyatku, dengan memberi pilihan pada mereka, namun pada akhirnya membebaskan mereka untuk memilih sendiri mana jalan yang akan dilaluinya.

 

*terimakasih untuk rizki meghasari juga untuk calon keponakanku yang tengah bertumbuh dalam rahimnya,

*Untuk sahabat-sahabatku, murid-murid faithfulku, entah mengapa aku sangat merindukan kalian, rindu sekali seperti aku ingin memeluk kalian kuat-kuat dan tak ingin melepaskan ikatan itu.

 

Bu’e,

Di terik siang di sekolah tercinta, sendirian memegang kunci-kunci kelas dan gembok pintu sekolah, ditemani kambing-kambing penghuni sekolahku J


Cerita Lainnya

Lihat Semua