info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Gara-gara Pelangi

Ratu Ashri Maulina Fauzana 29 Februari 2012

 

Pagi ini seperti biasa, setelah bermandi, berpakaian rapi, berdandan yang cantik, aku pergi sekolah untuk menemui murid muridku, rasanya setiap hari aku ingin bertemu mereka. Euforia karena mereka sudah bisa membaca 2 huruf gabungan, konsonan ditambah vokal, bagiku sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.

 

Kegiatan belajar mengajar ku awali dengan membariskan murid murid kecilku di luar kelas sebelum masuk ke ruangan. Hari ini lumayan banyak yang datang, walaupun memang absen kelas satu ku tidak pernah penuh, dan selalu saja ada yang “bolong-bolong” karena alasan-alasan yang diada-adakan. Tak apalah, yang penting bagiku, berapapun murid yang datang, aku akan tetap memberikan pengajaran. Pernah suatu kali aku hanya mengajar 2 orang siswa karena seluruh kampung pergi mengantarkan orang yang berhaji ke darat. Sedikit kecewa, tapi dahagaku tersiram embun yang membasahi dinding kelasku.

 

Kembali ke awal, setelah mengecek kuku tangan dan pakaian mereka, di kelas, anak-anak berdoa terlebih dahulu dan dia yang ditunjuk akan menyiapkan kelas, dengan memimpin teman-teman mereka untuk berdiri, bersiap, dan memberi salam, kemudian duduk kembali. Puji syukur aku panjatkan padaNya, setelah hampir 5 bulan, sekarang anak-anakku sudah mulai paham dan sadar serta melaksanakan aturan di kelas. Setelah itu, menyanyi menjadi salah satu bagian yang paling dinanti-nanti oleh anak-anak sebelum belajar. Tak kusangka mereka sudah hafal beberapa lagu yang aku ajarkan pada mereka. Dengan semangat 45 mereka mengeluarkan suara dengan nyaring, bagiku, senandung mereka merdu terdengar di telingaku. Satu lagu, dua lagu, tiga lagu, hingga..

 

“ibu.. ibu.. Agung menangis..!!”, seorang murid berteriak kepadaku. Lagi-lagi yang menangis Agung, dia selalu mengeluarkan air matanya ketika kami bernyanyi bersama. Memang tangisannya tidak lama, namun hal ini cukup mengganggu konsentrasi kelas. Padahal Agung adalah salah satu murid kelas satuku yang paling rajin datang sekolah, pakaiannya selalu rapi dengan sabuk a la remaja yang menjadi ciri khasnya. Kulitnya hampir matang dengan bintik bintik yang menghiasai tangan dan mukanya, aku rasa karena ia selalu bermain di laut, berenang, bertemankan matahari. Rambutnya pendek dan tidak pernah panjang seperti kebanyakan anak-anak laki-laki lainnya yang biasa memelihara buntut di rambut belakangnya, ia juga selalu bersepatu lengkap dengan kaos kakinya. Walaupun belum lancar mengeja, tapi Agung mau menulis dan tulisannya pun cukup baik, hanya perlu banyak latihan. Aroma yang dibawanya juga spesial, wangi laut air asin, dan hidungnya tidak pernah kering dari lendir hijau yang selalu ditariknya kembali, setiap kali si hijau meleleh keluar dari hidungnya.

 

Butuh waktu agak lama untuk menenangkannya. Aku jadi pusing sendiri, mengapa disaat anak-anak yang lain tertawa dan bersenang-senang dengan lagu, Agung malah menangis. Cengeng sekali. Aku suka kesal dengan muridku yang gampang nangis karena sesuatu hal yang ia tidak mau bilang. Begitu juga dengan Agung, hampir setiap kali menangis, ia hanya mau berhenti ketika sudah kuterapkan sistem hitung 1 sampai dengan 5 sambil kuusap-usap bahunya tanpa mau memberitahuku alasan ia menangis. Dan hari ini, aku bertekad untuk mengetahui jawabannya. Menangis lagi, membujuk lagi, ia masih saja bungkam. Kubiarkanlah Agung tenang dan tak kutanya-tanya lagi. Keesokan harinya terjadi hal yang sama, lalu aku mencari ide lain, aku hitung berapa lagu yang kunyanyikan bersama anak-anak dan kucermati judul-judulnya. Kami biasa menyanyi 6 lagu, bahkan lebih. Diawali dengan bangun tidur kuterus mandi, 1234, pelanduk, kapal ferry, pelangi, dan bintang kejora. Hari berikutnya lagi, pandanganku lebih banyak fokus pada Agung, ia masih baik baik saja, dengan tampang polosnya, sampai pada lagu pelangi, ia menangis. Lagi. Aku tenangkan lagi. Esoknya lagi, pelangi lagi. Apa mungkin karena dalam lagu itu ada namanya. Masa iya sih???apa karena teman-temannya yang selalu tersenyum malu-malu ketika menyanyikan bait “pelukismu agung, siapa gerangan??!!

 

Akhirnya dengan peluh dan kesabaran yang aku siapkan ekstra khusus untuknya, ketika pelangi dinyanyikan, aku luangkan lebih banyak waktu untuknya ketika ia menangis dan meminta anak-anak lain untuk diam dan tetap tenang. Aku tanya kenapa, apa karena lagu itu?!, apa karena terdapat namanya??, tetap seperti biasa ia, tidak mau menjawab. Kubawa ia ke dekat mejaku, dan kuminta ia melihat mataku ketika aku bertanya, pelan-pelan, aku tanya kenapa ia menangis.. benar saja, setelah beberapa rayuan dan bujukan, Agung menjelaskan bahwa ia tidak bisa melukis pelangi, katanya, “pelangi itu di langit kan bu’e, saya belum pernah lihat pelangi bu’e, tapi nyanyinya selalu sebut nama saya yang menggambar, e saya tidak punya crayon bu’e, saya tidak bisa gambar di langit, saya tidak mau nyanyi”.. tersenyum aku melihat celotehnya disertai dengan isak tangisnya,, Agung Agung, ternyata yang ku khawatirkan benar, betapa polosnya anak ini, kejadian ini memberiku pelajaran untuk lebih jujur lagi dalam menjalani hidup. Seorang anak laut berumur 6 tahun, malu namanya tertulis dan tersebutkan di sebuah lagu hanya karena ia berpersepsi bahwa pelukismu agung yang dimaksudkan dalam syair itu adalah ia yang menggambar pelanginya.  Ia menangis karena ia belum bisa menggambar pelangi tapi namanya seperti di elu-elukan oleh semua teman-temannya yang menyanyikan lagu itu.

 

Aku pun menjelaskan pada Agung tentang lagu itu, kujelaskan bahwa Agung itu bukan menuju pada namanya, dan kuceritakan tentang bait bait berikutnya, bahwa yang menciptakan pelangi itu Tuhan bukan Agung. Ia tidak perlu berpusing mencari crayon untuk menggambar pelangi di kanvas langit, ia hanya perlu menyanyikan dengan baik tanpa menagis dan bangga karena namanya punya arti yang sungguh baik, dan untuk menjaga kebesaran namanya, aku memintanya untuk terus menjaga sikap baiknya karena ternyata namanya bukan sembarang nama, namanya akan dinyanyikan semua anak-anak Indonesia.

 

Sejak itu, keesokan harinya walaupun ia masih belum bisa tersenyum ketika menyanyikan itu, tapi ia sudah tidak menangis lagi. Setidaknya aku bisa berlega sedikit dan melanjutkan lagu pembuka dengan aman.

Aku berharap dan berdoa pada Yang Maha Agung, mudah-mudahan Agung bisa menerima dan mengerti penjelasanku, hingga kelak ia akan menyanyikan pelangi dengan lantang dan tersenyum bersama teman-temannya tanpa harus menangis atau cemberut. Semoga..

 

bu'e guru,,


Cerita Lainnya

Lihat Semua