info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Bahagia itu Baruas

Ratu Ashri Maulina Fauzana 6 Maret 2012
Bahagia itu Baruas Apa itu arti bahagia? Setiap orang pasti punya jawaban tersendiri. Bahagia bisa berarti berkumpul bersama orang-orang yang kita sayang, atau keadaan komplit dimana semua pencapaian telah terpenuhi. Termasuk juga aku, selama ini bahagia menurutku terlalu kompleks, terlalu sempurna, hingga acap kali sesuatu yang melenceng dari apa yang kurencanakan bisa membuatku merasa tidak bahagia. Mungkin itu sebabnya, aku menjadi tipikal manusia yang bingung dan degdegan ketika ada satu hal saja yang mengganggu pikiranku. Seperti beberapa hari lalu, di dusun ini mendadak aku merasa sangat tidak nyaman dengan perasaanku, rasanya dunia menjatuhkanku, aku menjadi sangat sensitif, kemudia penyakit tidak bisa tidur malam hari mulai menjangkitiku, walhasil, aku berangkat ke sekolah dengan mata merah dan perih. Menjadi seorang guru memang harus profesional dengan kewajiban kita, namun hari itu rasanya anak-anak pun menjadi sangat tidak bisa diatur, tidak seperti biasanya. Lengkaplah sudah ketidakbahagiaanku hari itu. Setelah mengurung diri sejenak di dalam kamar yang cukup panas, dan setelah bercerita dengan sahabat tentang kegundahan hatiku, serta setelah rentetan doa panjang dan sujud pada Yang Maha Pencipta, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pulau sesuai dengan saran sahabatku. Ya paling tidak di dusun yang tidak punya hiburan seperti di kota, memanjakan kaki dan mata dengan berjalan-jalan agaknya sangat membantu. Suasana mendung dan sepoinya angin laut mulai membuatku merasa lebih nyaman, melihat anak-anak yang menyapaku sambil mengajukan tangannya untuk bersalaman denganku, membuatku tersenyum, mendengarkan ombak dan suara mesin kapal nelayan menjadi harmonisasi yang pas dan indah di telingaku. God, I feel better. Hingga, aku menghentikan langkahku, di bawah kolong rumah kak dara, kakak angkatku. Rumah panggungnya menjorok ke laut. Tentu saja di bawah rumahnya menjadi tempat yang pas untuk meng”adhem”kan diri dari panasnya cuaca. Apalagi malam hari, kolong rumah kak dara menjadi salah satu tempat favoritku untuk bertelepon. Selain signal paling kuat juga pemandangannya sangat indah. Di pagi dan siang hari pesona gunung-gunung dan gili-gili menghangatkan hati. Di sore hari, pancaran mega dan mulai berlayarnya kapal-kapal laba-laba berjaring, membuat meriah suasana petang, di malam hari, sinar bulan dan bintang berpadu dengan kelap kelip lampu kapal nelayan yang sedang berdiam diri di tengah laut sana menjadikan suasana semakin syahdu. What a great everyday night. Tapi, tentu saja bukan itu yang aku ingin bagikan. Kembali pada pemberhentianku di sore itu. Aku bertemu dengan Mak Intan yang kebetulan sedang membuat kue tradisional. Namanya baruas. Kue itu sekilas menyerupai biskuit bayi yang sering aku lihat iklannya di TV. Harga kue itu tidak mahal, hanya 500 rupiah. Walaupun tidak serenyah biskuit bayi atau cookies hari raya, tapi baruas mak Intan cukup diminati warga dan nelayan yang hendak mencari ikan sebagai camilan penunda lapar. Aku akhirnya duduk di depan mak intan yang sedang membuat baruas. Aku mulai memperhatikan dirinya. Kulitnya gelap, khas orang pulau, di wajahnya sudah timbul keriput-keriput, rambutnya beruban banyak sekali, giginya putih dan rapi, badannya tidak terlalu gemuk, dan suaranya terdengar nyaring. Sore itu seperti biasa mak intan memakai kaos berbalut sarung. Dengan telaten mak Intan mencampurkan parutan kelapa, selai kacang buatannya sendiri, dan tepung beras, ia uleni hingga kalis, lalu ia cetak baruas dengan teliti. Tidak lupa ia memanaskan tutup wajan besar tembikar dalam bara api. Ternyata tutup wajan itu beratnya minta ampun buatku. Alat-alat yang digunakan mak intan sangat sederhana, tidak ada loyang, cetakan aluminium, spatula, atau penggiling kayu seperti acara masak-memasak di TV. Walaupun ia terlihat letih, tapi wajahnya memancarkan kenyamanan. Mak intan tidak pernah berhenti tersenyum pada siapapun. Walaupun kami mengobrol dengan bahasa yang acak-acakan karena ketidakbisaannya dalam berbahasa indonesia dan ketidakbisaanku berbahasa Bajo, tapi obrolan itu berlangsung renyah karena mak intan seringkali tertawa dengan bahasa indonesia yang beliau ucapkan. Ya, Mak Intan, perempuan tua itu adalah adik kandung dari ibu angkatku disini. Usianya mungkin sekitar 50-an, namun ia nampak lebih tua dari ibu angkatku. Sejak kecil, mereka berdua belum pernah melihat wajah ayahnya yang hilang tanpa kabar ketika sedang mencari ikan di laut. Merka hidup dengan kebaikan hati keluarga-keluarganya yang lain. Umiku dan mak intan besar dalam kesederhanaan. Hingga akhirnya mereka menemukan jodohnya masing-masing. Umi bertemu dengan Aji, dan saat ini orang tua angkatku itu sangat berkecukupan secara materi di desanya. Umi dan Aji berhasil menjadi juragan ikan dalam skala besar di kampungku. Sedangkan mak Intan sendiri, hingga kini menjalani kehidupan yang sederhana, namun ia masih tetap menjalani hidupnya dengan senyum tulus. Umiku pernah bercerita. Mak intan dahulu menikah dengan orang kaya, hidupnya berkecukupan, mereka memiliki seorang anak, namun cepat dipanggil Tuhan. Mak Intan dan suaminya akhirnya mengangkat seorang anak perempuan. Mereka menyediakan semua kebutuhan anak itu layaknya anak kandung. Hingga suatu saat, suami mak intan memilih hidup dengan perempuan lain dan meninggalkan mak intan berdua dengan anak angkatnya. Mak intan ditinggalkan begitu saja, tanpa ucapan talak atau bahkan kabar berita, ia tidak memiliki harta apapun kecuali rumah panggung reyot peninggalan kisah masa lalunya yang sekarang menjadi rumah kak dara. Hidupnya kini tidak seberkecukupan dulu. Mak Intan banyak dibantu oleh Umi dan Aji. Ujiannya selanjutnya datang, anak angkat mak intan ternyata harus menikah sebelum ia menamatkan SMAnya. Umi menceritakan ini sambil berkaca-kaca. Aku seperti tersulap masuk dalam perasaan mak Intan kala itu. Ya.. beberapa kali ujian yang menguras kuatnya hati. Tak terbayang berapa liter air mata yang mengucur dan kepingan dari hati yang tersakiti. Aku pun seorang perempuan, aku bahkan tidak pernah membanyangkan cerita seperti itu. Tapi sepahit-pahitnya pengalaman yang Mak Intan alami, ia masih tersenyum. Setidak pastinya kehidupan hari tuanya nanti, ia masih tegak berdiri. Mak intan menghidupi dirinya sendri dengan membuat baruas. Satu-satunya keahlian yang bisa ia andalkan dari dirinya. Mak Intan terlihat sangat bahagia ketika mengolah bahan-bahannya. Perlahan-lahan, dengan lemah lembut, dari matanya terpancar ketulusan. Ia membuat baruas itu dengan hati, ya,, dengan hati.. Di pertemuan sore itu, aku bertanya padanya tentang baruas. Kenapa ia memilih membuat baruas, padahal kalau dihitung-hitung untungnya sedikit, belum lagi dengan orang-orang yang berhutang kemudian lupa membayar. Namun jawaban mak intan sungguh membuatku terhenyak. Baruas itu jajanan tradisional yang tidak bisa dibuat sembarangan. Mak intan sendiri yang menumbuk berasnya hingga menjadi tepung, kacang hingga menjadi selai, dan kelapa yang terparut sempurna. Ia uleni dengan hati-hati lalu mencetaknya dengan gelas plastik mineral yang dipotong jadi 2 secara teliti. Ia letakkan satu demi satu dalam baki besi. Memanaskan bara, menutupnya dengan tutup wajan tembikar panas. Ia buka, ia tutup lagi, ia pindahkan tuutp wajan yang sudah tidak lagi panas, dengan yang baru dipanaskan. Bagiku, ini bukan pekerjaan mudah. Dengan untung yang sedikit aku pasti akan ogah-ogahan bila disuruh membuatnya. Mak Intan suka membuat baruas, membuat baruas sama seperti merawat anaknya. Tidak boleh terburu-buru dan sembarangan, harus pelan-pelan dan ditelateni. Dengan membuat baruas mak intan merasa lengkap, tidak perduli berapa keuntungannya, yang penting mak intan tidak merepotkan orang dan bisa beri hadiah uang jajan buat cucu kesayangannya. Kuberanikan diri bertanya tentang cerita lalunya. Mak intan bercerita dengan sangat tegar. Ia menceritakan itu sambil tetap tersenyum. Ia telah lama berdamai dengan hatinya. Ia mengikhlaskan semua sakit yang ia rasakan. Air mata itu sudah lama ia keringkan hingga ia tak mau lagi ada air mata yang menetes. Tak ada ketakutan maupun kebimbangan dalam menjalani hidup. Ia percaya, baruas akan menemaninya hingga tua nanti. Bahagianya adalah baruas. Baruas yang menggantikan semua yang telah hilang dalam hidupnya, ayahnya, suami yang sangat dicintainya, anak yang tidak sesuai harapannya, bayang-bayang kesendirian ketika menghadapi hari tua kelak. Mak Intan masih sangat ingin melihat wajah ayahnya, mak intan hingga kini masih mencintai lelaki yang masih ia anggap suaminya, dan mak Intan masih mau menerima anak angkatnya apa adanya, bahkan ia merawat cucunya dengan penuh kasih sayang. Buatku, mak Intan memberiku pelajaran berharga tentang indahnya mengikhlaskan sesuatu. Aku dan ketakutanku hanya secuil hal tidak penting yang seharusnya tidak membuatku merasa dijatuhkan oleh keadaan. Kondisiku jauh lebih baik dibandingkan mak intan. aku masih punya orang tua dan adik-adik yang mencitaiku, sahabat yang selalu menyayangiku, kekasih yang terus menemaniku, dan ratusan anak murid di sekolah yang selalu ceria menyambutku di sekolah. Beberapa impianku sudah kucapai, bahkan berada disini adalah satu perwujudannya. Aku teringat salah satu ayat dalam surat Ar-rahman yang berbunyi “maka nikmat mana lagi yang kau dustakan”. Betapa ayatMu begitu benar dimataku Rabb, aku telah mengingkari bahagia yang kau berikan, aku mungkin mendustakannya. Bahagia bukanlah tentang kesempurnaan, tapi bahagia adalah tentang bersyukur dengan hidup yang kita jalani, bahagia adalah dengan melihat ke bawah bukan ke atas, bahagia adalah menjalani hidup dengan kebersihan hati sambil terus berusaha yang terbaik dan terus berpasrah kepadaNya. Bahagia itu sederhana, sesederhana mak intan dan baruas yang selalu membuatnya tersenyum. Sekarang, aku tidak perlu takut lagi menghadapi masa depanku. Aku yakin semua telah diatur olehNya, manusia hanya tinggal mengusahakan yang terbaik untuk kemudian dengan ikhlas menjalani ketetapannya. Aku merasa sangat malu dengan perasaa galauku sendiri. Berdamai dengan hati adalah jalan yang paling baik. Seorang sahabatku pernah berkata: “Sejauh mana kamu melangkah ditentukan oleh seberapa besar hatimu untuk mengikhlaskan masa lalumu” Mari melihat pasti kedepan, selalu ada Asa bagi kita yang percaya pada kekuatanNya. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan. Teruslah berusaha dan mensyukuri setiap nafas yang Ia berikan. Hidup adalah anugrah. jangan pernah menyerah. Thanks to Mak Intan yang sudah memberikan warna dalam perjalananku.

Cerita Lainnya

Lihat Semua