Keping-Keping Indonesia

Oktavina Qurrota Ayun 6 Maret 2012

Indonesia adalah suatu puzzle yang tak pernah selesai. Selalu kau temukan kepingan baru yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Asing, baru. Namun kepingan itu berhak untuk berada di sana, menjadi bagian dari gambaran besar yang coba kau satukan sejak lama, yang berusaha kau resapi, kau renungi, kau definisikan untuk kau pahami maknanya. Berkali-kali kau merasa frustrasi, putus asa, dan kau hancurkan lagi susunannya. Tapi pada akhirnya selalu kau temukan lagi semangat untuk menyusunnya kembali, agar menjadi satu gambaran yang utuh. Begitu terus, berulang kali.

Tak pernah selesai.  

Di satu sisi kau temui orang-orang bermobil mewah, menyesap kopi mahal di kedai kopi franchise luar negeri dan menenteng tas-tas belanjaan dari butik yang menjual karya desainer impor. Mereka Indonesia, tetapi di dalam jiwanya Barcelona, Paris, New York, dan entah apa lagi.  

Di sisi lain lukisan itu terbentang berhektar-hektar sawah. Langit biru cerah. Di udara menguap keringat-keringat petani, para pekerja keras. Dan di pondok di tengah sawah, sambil terkantuk-kantuk menunggu orang tuanya bekerja, adalah anak-anak kecil berkaus lusuh, yang dengan gembira mengeluarkan buku cerita yang dipinjamkan gurunya di sekolah. Dengan tertatih-tatih ia membaca kata demi kata di buku itu, sambil sesekali mengguncang tali temali untuk mengusir burung-burung. Mencuri waktu untuk tenggelam dalam imajinasi. Betapa mahalnya waktu di negeri ini untuk sekedar bermimpi.  

Pada sudut lain adalah para penyair-penyair yang terlupakan. Tenggelam dalam bising infotainment dan roman-roman picisan berwujud FTV, puisi dan syair kini menjadi barang langka untuk dijajakan. Tak laku, tak seksi lagi. Namun mereka tetap merenung di kursi-kursi tinggi mereka. Memikirkan pertarungan drama versus realita. Menghadirkan pementasan teatrikal pada audiens yang semakin lama semakin sedikit di panggung remang-remang terbentur biaya. Bertopeng realita, mereka hadirkan cerita yang sesungguhnya nyata.  

Dan seorang pekerja ibukota tertidur di jendela bus yang membawanya pulang. Gedung-gedung tinggi tempatnya bekerja akrab menyapa selama matahari membentang. Namun ketika petang menghujung, gedung-gedung itu meredup, menjelma menjadi monumen-monumen yang menegaskan definisi sebuah kota; namun jauh dari jangkauannya. Bukan di situ ia seharusnya berada. Maka dari itu ia pulang. Jauh, jauh menuju rumah yang pintunya benar-benar terbuka dan atapnya betul-betul menaungi. Tak peduli berapa jam harus ditempuh di jalan-jalan padat sesak dengan mereka yang senasib dengannya –mengais  rezeki di ibukota untuk kemudian ditendang di akhir hari ke daerah suburban yang semakin padat penduduknya– hanya satu hal yang tergambar di benaknya: Pulang.  

Di suatu tempat yang tak jauh, petinggi-petinggi negara bersidang merumuskan undang-undang yang asing di lidah dan tak dapat dicerna perut-perut kelaparan di penghujung negeri. Betapa jauh sesungguhnya jurang yang terbentuk antara dirinya dan rakyat yang diklaim diwakilinya. Namun ia tentu tak pernah tahu bagaimana arti lapar itu sendiri. Kursinya empuk, ruangannya dingin, minumannya air mineral mahal. Dan anak-anaknya jauh menempuh pendidikan di negeri seberang.  

Dan akhirnya, di antara padang-padang yang nyaris gelap karena tak tersentuh listrik, di rumah-rumah beralas tanah dan berdinding sederhana, kau temukan anak-anak kecil yang belajar bertemankan pelita. Menyenandungkan lagu yang diajarkan gurunya untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Ia tak tahu apa yang akan dibawa masa depan baginya. Yang ia tahu, ia ingin sekolah, ingin belajar, selama dirinya bisa. Untuk anak-anak inilah kau tetap pegang teguh semangatmu. Menyatukan kepingan-kepingan Indonesia di lubuk hatimu. Untuk mereka kau tertatih mendorong kereta-kereta kemajuan. Berharap di masa depan, kan kau temukan kepingan baru Indonesia yang lebih menggembirakan, lebih membumi, berdiri lebih tegak.  

Kepingan puzzle itu belum selesai. Masih ada ruang untuk harapan.

 

East Borneo, 2012.


Cerita Lainnya

Lihat Semua