Jangan Takut Bertanya, Nak
Furiyani Nur Amalia 7 Maret 2012Berganti hari, berganti waktu. Entah musim apa sekarang, yang jelas hujan masih gagah memberikan sumber air kehidupan, namun dia tidak serakah. Dia izinkan matahari untuk juga muncul disela hujan, kadang juga dengan sengatannya yang menguatkan luar biasa. Hingga tak jarang juga pelangi muncul di sela hujan dan biasnya matahari. Ombak masih tinggi, angin juga masih bertiup kencang. Kokohnya nyiur sudah mulai diragukan, ketika hempasan ombak berhasil mengalahkan kokoh akarnya. Namun, biru laut, biru langit, dayungan nelayan, jejak kaki bocah-bocah si pasir selalu menjadi anugerah tetap yang kuasa, menghiasi pulau itu. Membuat suasanya lengkap. Damai.Terkenang.
Pagi membangunkan si guru. Entah mengapa dia begitu merindukan ruangan itu. Sederhana tapi nyaman. Kecil tapi bermakna luas. Betapa gembita hatinya ketika bocah-bocah datang menjemputnya, bersama-sama menuju ruang itu.
Ruang ini jauh dari kata layak. Atapnya bocor. Kayunya rapuh. Kalau hujan akan banjir, becek, dan lantainya licin. Tidak berjendela, hanya celah kecil di setiap sisi ruangan yang membuat angin leluasa masuk ke dalamnya. Jika hujan, siapapun yang masuk di dalamnya harus hati-hati kalau tidak ingin terpeleset. Juga yang tidak biasa dingin, maka bersiap untuk banyak makan atau pakai pakaian agak tebal jika tidak ingin masuk angin. Tapi tahukah kalian, penghuninya begitu mencintai ruang ini. Mereka selalu setia menyapu sisa-sisa air hujan yang tak tersaring oleh atap di pagi hari. Baju mereka juga tak tebal, jika mereka berdiri membelakangi matahari, maka dapat terlihat jelas serat kainnya juga akan terlihat kulit tubuhnya dari kain itu. Permukaan alas sepatu atau sandal mereka juga tidak rata lagi. ajaibnya mereka tak pernah masuk angin dan tak juga terpeleset saat berlari di ruang ini. Teriakan, acungan tangan, segala gerak tubuh, candaan, kerutan dahi, diamnya mereka seakan membuat ruangan ini begitu akrab dengan hadirnya mereka.
Guru itu terdiam di tempat duduknya. Hatinya kelu, kenapa masih banyak orang yang meragukan kalau sebenarnya banyak mutiara terpendam di diri mereka ini. Mengapa banyak yang masih menganggap mereka sebagai pembuat keonaran. Bukannya anak-anak punya masa untuk banyak bergerak dengan batas? Mengapa tidak sedari dulu kemampuan mereka digali? Padahal mereka adalah anak-anak yang cerdas. Guru itu mengakumulasi banyaknya ‘mengapa’ dan dibalik banyaknya ‘padahal’. Kesederhanaan kelas itu membuatnya begitu nyaman. Keceriaan, kepolosan, segala tawa kadang juga tangis jail melengkapinya. Seakan tak peduli apa omongan orang, yang mereka tahu mereka senang, mereka ingin, dan mereka mau.
Hari itu materi baru. Bukan masalah yang berarti menerangkan materi baru di kelas itu. Mereka cerdas. Bahkan lebih kocak dari apa yang guru itu kira pastinya. Namun, ada yang hal selalu guru ini tunggu di setiap materi baru yang diajarkan yaitu pertanyaan rasa ingin tahu. Berbagai pertanyaan terlontar, dari keinginan tahunya, dari kebingungannya, atau protes karena ketidaksesuaian mereka dengan kenyataan hari-harinya.
Ambil lah contoh, saat itu ekskul budidaya makhluk hidup. Setelah menerangkan dan mempraktekkan tanaman, guru itu membimbing bagaimana membudidayakan hewan. Tak ingin bingung dan rumit, cukup mengambil ikan sebagai contohnya. Awalnya tak sulit dengan menerangkan dan mempraktekkannya. Akuarium buatan dan ikan yang mereka pelihara tumbuh berkat kasih sayang muridnya yang selalu memberinya makan. Diletakkan di ujung ruangan itu, sebagai teman baru bagi murid-muridnya itu. Bertambah besar kah? Pasti. Senang? Jelas.
Namun, beberapa minggu kemudian dua dari ikan yang mereka pelihara mati. Ikan itu kedapatan mati mengambang di permukaan, ketika salah seorang murid hendak memberinya makan. Padahal ukuran ikan itu sudah lumayan besar. Guru itu memeriksa seraya mengambil bangkai ikan itu. Keluarlah komentar dari salah satu murid,
“Ibu, kenapa kita harus susah-susah memelihara ikan, kalau pada akhirnya ikan itu akan mati juga? Kita juga tidak tahu kapan ikan itu mati! Terus, ikan kalau sudah mati tidak enak dimakannya. Kalau begitu kita tidak mau memelihara ikan lagi.” Kepalanya miring ke kanan. Sambil bicara, bola matanya mengisyaratkan entah apa. Mungkin kesal atau juga berpikir.
Guru itu hanya diam, senyum, seraya mengusap kepalanya. Membawa ikan itu keluar lalu mengubur bersama-sama. Sang guru yakin, jawaban tidak bisa sekedarnya, karena akan timbul-timbul pertanyaan lain jika jawabannya tak sesuai. Melihat muridnya mendengar jawabannya dengan garukan kepala, anggukan, sanggahan, membuatnya begitu bangga. Sekali lagi meyakinkan, kenapa masih banyak yang menganggap anak-anak ini sebelah mata saja?
Seperti hari itu. Guru itu menerangkan lanjutan penjumlahan berulang alias perkalian. Sebelumnya, dia menerangkan bahwasannya 4 x 2 berasal dari 2 + 2 + 2 + 2.
“Siapa di rumah punya ayam?”
“SAYAAA!!” hampir semua muridnya mengacungkan tangannya.
“Ada berapa kaki ayam???”
“DUAAAA!” semua kompak menjawab dua.
“Sekarang kalau ibu punya 4 ayam, berapa kaki ayamnya??”
Ada yang langsung bisa menjawab, ada yang harus gambar dulu, ada yang masih menerawang, dan juga ada yang masih menghitung dengan jari seraya komat kamit mulutnya.
“DELAPAAAAANN”
“Dari mana dapat delapan??”
“Kakinya ditambahkan semuaaaa, dua kaki ditambahkan sampai 4 kali”
Dari situlah pelajaran perkalian dimulai. Semua setuju kalau perkalian itu penjumlahan berulang. Namun beberapa hari kemudian datang protes kedua kali, ketika guru itu menerangkan materi lanjutan. Guru itu merasa materinya tuntas, untuk penjumlahan berulang. Sekarang waktunya membuat tabel perkalian, dimana murid-murid harus dengan cepat bisa menyebutkan berapa kali berapa sama dengan berapa dalam sebuah tabel. Merasa sudah bisa membuat tabel perkalian, guru itu juga mengajarkan jaritmatika perkalian. Di sela-sela guru itu menerangkan, terlontarlah pertanyaan.
“IBU!!! Kenapa kita dulu harus di terangkan 4 x 5 itu sama dengan 5 + 5 + 5 + 5 sama dengan 20, kalau sekarang kami harus diajari hitung cepat 4 x 5 = 20 . Kita mau yang cepat saja kalau begitu.”
Mau jawab apa? Guru itu hanya diam dan tersenyum saja.
“Besok kalau kamu jadi orang pintar dan sukses dan menjadi pengusaha kopra misalnya. Ada 10 karung orang jual kopra ke kamu. Tiap 1 karung ada 9 kilogram. Jadi total ada berapa kilo kopra yang terjual ke kamu sekarang? Nah, jika tiap kilogram dihargai 30.000 misalnya, berapa uang yang harus kamu beri ke orang itu?”
Diam. Hening. Semua menghitung.
“Seratussss jutaaaaa!!”
Semua kelas tertawa. Mulai jawaban asal. Anak tadi hanya tersenyum dan kakinya goyang-goyang. Guru itu menerka, sepertinya dia tahu dengan sendirinya jawabannya.
“Apa jadinya kalau kalian tidak bisa menghitung dengan cepat??? Bisa-bisa pembeli kalian pergi ke penjual lain karena kalian lama menghitung. Namun, kalian harus tahu, dari mana asal dari perkalian itu. Kalian bisa hitung lagi tiap karung supaya hasilnya bisa lebih benar. Berarti ada 9 kilo + 9 kilo ditambah terus sampai 10 kali, lantas setelah itu dikali ulang dengan 30.000. Dengan begitu kalian bisa menerangkan ke pelanggan kalian. Betul tidak??”
“BETUUUUULL” serempak sebagian. Namun, ada lagi yang masih belum puas.
“IBUUU!! Berarti orang yang pintar itu orang yang jago matematika??”
Semua kelas tertawa. Kelas kembali mencair. Serius dan canda. Dengan cepat mereka mengisi tabel perkaliannya dengan cara yang mereka anggap paling cepat. Dihiaslah tabelnya, agar bisa dipakai sewaktu-waktu mereka belajar.
Menghela nafas. Lega. Sampai beberapa hari kemudian muridnya bisa memahami perkalian tiga bilangan satu angka, menentukan pasangan bilangan satu angka yang hasil kalinya ditentukan, juga menyelesaikan soal cerita dengan baik.
Guru itu meyakini, setiap pembelajaran hidup tidak hanya berasal dari pendidikan formal atau kegiatan masyarakat saja. Kejadian yang dia alami selama dia mengajar bisa dikatakan memberikan pemikiran, kadang kita lupa, segala sesuatu itu semua berasal dari hal yang sederhana. Dan juga kadang kita lupa, yang sederhana itu lebih memudahkan. Segala pertanyaan yang tidak terbayang sebelumnya, yang seharusnya kita bisa jawab dengan mudah, harfiahnya sudah terlupakan oleh sesuatu yang datang lebih rumit dulu. Sehingga kita juga lupa esensi dari perkalian adalah sebuah penjumlaham yang diulang.
Salah satu catatan harian sang guru saat itu adalah “Bukan pintar atau sukses sebenarnya hasil akhir dalam hidupmu, Nak. Namun, lebih penting pada bagian, bagaimana kalian menyikapi, menikmati setiap proses yang ada. Seperti 4 x 5 tidak mungkin bisa menjadi 20 kalau kalian tidak tahu bahwa 5 + 5 + 5 + 5 adalah jawaban dari 10 + 10 atau 15 + 5. Atau kenapa kalian harus memelihara ikan jika ujung-ujungnya ikannya mati juga? Karena kita sebenarnya tidak berpatokan pada hasil, namun bagaimana kalian bisa mengisi dan memaknai tiap proses kalian memelihara ikan kalian sampai akhirnya menjadi tumbuh berkembang, tanpa kalian ketahui kapan matinya.”
Guru itu meyakinkan, suatu saat muridnya akan menemukan jawaban yang sebenarnya. Suatu saat nanti kelak ketika mereka beranjak dewasa.
Dan satu lagi, “Nak, orang pintar dan sukses itu tidak selalu jago matematika. Namun, kebanyakan orang yang dianggap pintar dan dibilang sukses, mereka bisa salah satunya jago matematika. Jadi apaapun itu, selain jadi orang baik dan pintar, maka kelak jadilah orang yang selalu mencintai dan menekuni apa yang dikerjakan.”
*****
Furiyani Nur Amalia – dengan sangat mempercayai bahwa tidak ada anak yang terlahir bodoh.
Beengdarat – Sangihe :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda