Potret Petangku

Ratih Diasari 28 September 2011

Hari itu petang terlihat mulai tampak pada rembangnya. Sinarnya memancar cerah walau cahayanya mulai redup masuk pada relung-relung tangkai daun pepohonan. Ingatku sore itu, kami kembali menuju wisma tempat kediaman. Kami kembali dengan babak baru menenun rasa pertemanan yang saat itu masih renggang kami rasakan. Aku dan beberapa orang teman yang lain masih saja terlihat tidur-tidur ayam. Kami lemas, tergolek kaku mungkin lelah, kecapean. Masa tiga hari awal dari Rindam memberikan kesan bahwa TNI saja berani berkorban di daerah terluar menjaga erat rasa persatuan.

Hari itu kulihat lagi, petang mulai tampak pada rembangnya. Di waktu selanjutnya di dalam bus yang ku tak tahu apakah sama dengan sebelumnya, kupikir mimpiku akan menjadi kenyataan. Terbang, mengarung dan berlari menjajaki daerah timur, menguasai daerah yang dicitakan. Aku bermimpi menempati rumah pedalaman. Menjalankan segala aktivitas nyata dengan penuh keceriaan. Walau kenyataan hanya bertepuk sebelah tangan. Aku terbangun dan hanya tersipu malu, lirak-lirik ke depan dan ke belakang.

Hari itu lagi-lagi petang sudah terlihat mulai tampak pada rembangnya. Bus dengan kapasitas empat puluh orang ini membawa kami semua pada sebuah pembelajaran akan makna persahabatan. Hari itu seakan mulai menandakan akhir dari segala kehidupan. Rekreasi terakhir yang kami rasakan sebelum kami ditempatkan jauh di pelosok pedalaman. Kubuang empat mata jauh-jauh menembus permukaan awan. Ku tatapi daun-daun pohon karet yang letaknya tidak berjauhan. Tak ku sangka waktu begitu kencang kian berlari. Sampai tak ku kira perpisahan menanti diujung yang kian pasti.

Hari itu petang jelas terlihat mulai tampak pada rembangnya. Kami terpotret jelas dalam gambaran diri yang seakan terjaga pasti. Tidak semuanya tercatat, namun tak semuanya juga hilang berganti. Aku melihat mereka bercanda, mereka tertawa, dan mereka sadar telah berada diujung sebuah masa. Masa yang telah dipersiapkan untuk berkarya, menyulam kata akan arti pentingnya sebuah bangsa.

Hari itu petang terlihat mulai tampak pada rembangnya. Kulihat tujuh puluh pasang bola mata berharap cemas tanda penasaran pada tempat huni selanjutnya. Sisanya sedang sakit terbaring meniti lemas walau optimis meski cemas. Kegalauan pengajar muda memang telah terasa saat pagi buta sewaktu kami berolahraga. Berlanjut kepada kocokan daerah penempatan sebagai mainan penghilang rasa gundah, sebelum pengumuman itu benar kan tiba.

Hari ini petang mulai tampak pada rembangnya. Kulihat awan berayun, kulihat siang menggantung, kulihat perahu berlayar, kulihat air laut beragam, kulihat barang-barang bawaan yang begitu banyak. Kucium aromanya satu per satu. Kuhembuskan udaranya dengan alunan selamat datang. Aku merasa berbeda saat tubuh mulai kurebahkan dalam tikar bambu. Tak terasa aku sudah nyata ada di dalam perahu bermuatan tiga puluh.

Hari ini petang mulai tampak pada rembangnya, aku telah sampai pada daerah penempatan setelah lama bertahan dan lama terombang-ambing oleh ketidakjelasan keberangkatan.

Hari nanti kuharap petang mulai tampak pada rembangnya. Anak-anak berlari kerumah mau belajar apapun untuk kemajuan bangsa Indonesia. Mereka aktif bertanya dan aktif membantu masyarakat dengan gerakan konkret yang tidak pernah orang duga sebelumnya. Anak-anak mempunyai cita-cita dan mereka yakin untuk memperbaiki nasib daerahnya.

Hari nanti kuharap petang sudah tampak pada rembangnya. Aku telah tuai pahala sebanyak-banyaknya. Aku telah gerakkan masyarakat untuk bahu-membahu benahi pendidikan mulai dari lingkungan keluarga. Aku katakan pada dunia bahwa Indonesia sudah jauh berbeda. Aku katakan pada dunia bahwa Indonesia sudah dapat mencerdaskan sebuah bangsa.

*Adaut, 24 Juni 2011, doaku kepadaMu ya Allah, aku rindu dengan PM 2 ku.


Cerita Lainnya

Lihat Semua