info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 1)

Ratih Diasari 28 September 2011

 

Beberapa menit lagi hampir tiba waktu dhuha. Buru-buru berangkat ba'da subuh, tak sempat sarapan mengejar kereta. Kereta baru dengan suara deraman yang begitu kuat begitu cepat melesat membawaku ke sebuah kota lama yang tampak baru berada diujung kota. Kota yang dihuni oleh beragam karakter manusia, dengan visi yang mungkin tak sama. Tapi ku yakin mereka punya ghiroh yang sama, yaitu membangun Indonesia. Kota ini menjadi tumpuan hidup dari banyak manusia. Sebuah negeri 5 menara untuk penduduk pulau Jawa. Sebuah kota yang menjadi sentral pembangunan Indonesia. Dialah Jakarta, tak lain manusianya berjalan untuk bekerja.

 

Inilah cara Allah mengenalkanku terhadap ibukota Indonesia. Mengalir. Berkeliling, dari satu tujuan ke tujuan yang lain. Kadang tenang, kadang tegang, kadang tak ada kerjaan dan kadang hanya masuk kesebuah gang. Singgah dan hanya mampir. Begitu cepat, hanya sekelebat.

 

Namun sekarang. Aihhhhhhh, entah aku ada dipelosok sebelah mananya kota Jakarta. Salah naik bus, dua kali naik Transjakarta tapi tak jua sampai ke Graha Niaga. Gedung menjulang dimana-mana. Tak satupun ada tanda-tanda bangunan pencetak peradaban yang menjadi tujuanku hinggap di Jakarta.

 

Beginilah nasib petualangan seorang anak bangsa. Enam berjalan tujuh, tujuh berjalan delapan. Jarum pendek ini lama-lama semakin tegak dengan jarum panjang diangka dua belas dan jarum pendeknya diangka delapan. Tak terasa aku sudah telat. Kupercepat langkah kakiku, kuperbesar daya gerak tubuhku, berlari, bertanya dan menajamkan mata dengan melirik kesana-kemari. Sampai tak kusangka tubuhku mulai basah, pucat dan penuh debu. Inikah jajaran Jalan Soedirman itu, kawan? Hatiku beriak tanda sebentar lagi kan sampai pada tempat tujuan. Ternyata memang 'cukup dekat' jika ditempuh atas keberangkatanku yang ba'da subuh tadi.

 

Kutatap gedung-gedung yang tinggi, kupastikan aku sudah berada disini, kuberanikan untuk bertanya pada seorang tua yang berprofesi sebagai seorang tukang ojeg. "Bang, kawasan SCBD tau ngak?". Tanpa banyak ba-bi-bu, iapun menyerahkan helm kecil tanpa kaca yang diikat mati agar segera kupakai dan meluncur ke alamat yang dicari. Yang kuingat hanya sisa dua gigi depannya yang tersenyum kanan-kiri indah berseri. Kupaksakan helm kecil nan diikat mati masuk utuh kedalam kepalaku. Tapi apa yang terjadi, tali helm diikat mati, dan rupa mukaku berubah sungguh tak bernyeni.

 

Bergerak cepat takut diburu polisi, akhirnya sampailah kami pada kawasan SCBD, gedung Menara Energi. Deretan gedung tinggi terlihat menjulang sampai ke atas langit nan tinggi. Satu pintu dijaga sekitar sepuluh orang satpam, yang tak segan membantu dengan penuh percaya diri. Bagian depan begitu ketat, sampai-sampai KTP-pun harus tinggal menetap. Inilah gedung peradaban itu, kawan. Dari gedung ini aku mulai mengumpulkan untaian-untaian semangat baru dari mahasiswa lulusan terbaik perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia dalam seleksi tahap II Gerakan Indonesia Mengajar.

 

Tak kubayangkan diatas, di lantai 22, sudah berkumpul mahasiswa lulusan terbaik, yang ahli dibidangnya, berpengalaman, dan sungguh berpotensi besar menjadi seorang pemimpin Indonesia di masa yang akan datang. Kami tinggal berdua ratus tujuh puluh empat dari pendaftar sebanyak kurang lebih empat ribu orang. Kebanyakan sisa ini merupakan lulusan dalam negeri, namun sudah lama berkancah diajang luar negeri. Aku kemudian mengenal mereka lewat Self Presentation yang merupakan bagian dari tahap penyeleksian ini. Ada mahasiswa lulusan Melbourne University dan merupakan National Board of the Indonesian Students Association of Australia (PPIA Pusat). Ada anak lulusan ITB, calon Programer sekaligus calon Pimpinan Microsoft Indonesia masa mendatang. Namun sayangnya, kesempatan itu tidak beliau ambil, dikarenakan beliau lebih memilih mengabdi kepada bangsa lewat gerakan Indonesia Mengajar. Atau ada pula Bachelor of French Education UNJ yang juga merupakan Ketua Wartir Nasional Gerakan Pramuka (National Scout Council of Indonesia), bahkan beliau juga merupakan teach and train all the basic scouting for Boy Scouts of America member. Jangan salah! Selain itu bahkan ada juga aktivis. Salah seorang teman di kelompokku bahkan merupakan Ketua Bem Fisip, UI. Dan banyak lagi pemuda sejenis yang tidak bisa ku sebutkan satu per satu. Satu dengan yang lainnya adalah teman sekaligus lawan. Tentu bukan dalam konteks permusuhan, melainkan hanya gesekan sebuah penyeleksian.

 

Awal tahap Self Presentation, ku ingat pada waktu itu aku mencoba memberanikan diri untuk tampil lebih dulu memperkenalkan siapa diriku. Kusebutkan siapa namaku, dimana tempat tinggalku, apa kesibukanku dan apa prestasiku. Sederhana. Sangat cepat dan singkat. Kurang dari lima menit. Ruangan yang begitu dingin, dan mulut yang begitu kering tidak bisa membantuku lebih banyak menceritakan kepada juri dan teman-teman yang lain lebih dalam tentang siapa diriku. Entah apa yang mereka pikirkan tentangku pada waktu itu. Tentu skenario yang telah kupersiapkan, semua mencair begitu saja tanpa bisa kutunjukkan dengan baik. Berbeda dengan penampilan teman sekelompokku. Ada yang menyanyi, ada yang main pantun bahkan ada juga yang berdongeng. Sungguh hangat, dan menarik. Tak henti-hentinya gelak tawa tersibak diantara kami. Sungguh mereka telah mempersiapkan self presentation dengan sangat baik. Bukan berarti aku tidak! Tapi aku tidak tahu mengapa penampilanku tidak maksimal pada saat itu. Hal tersebut begitu cepat, sehingga sempat memunculkan perasaan menyesal dari dalam diriku. Begitu cepat, secepat kupendam pula rasa khawatir itu dalam-dalam dan kemudian memompa kembali daya ledak semangatku yang sebentar lagi akan kumuntahkan. Satu, dua, tiga. Kucoba untuk segera bangkit. Kuteguhkan diri agar berjiwa besar atas apa yang telah dilewati. Inilah aku, kawan. Perjuangan belum usai, bahkan akan segera dimulai.

 

Tahapan demi tahapan berjalan. Mulai dari FGD, indeep interview, bahkan ujian psikotest. Alhamdulillah semua cukup baik terlewati. Saatnya sekarang adalah simulasi mengajar. Penyeleksian yang tak kuduga jauh diluar dugaan. Saat ini aku tidak maju lebih awal, kuberi kesempatan kepada yang lain untuk lebih dulu memulai. Pada tahap ini, murid di dalam kelas adalah teman sekelompok dan tim Indonesia Mengajar.

 

Satu tambah satu, satu tambah dua, satu tambah tiga dan satu tambah empat. Seorang temanku bercoloteh mengajar kelas 2, dengan substansi pengajaran kelas satu. Sebut saja namanya Duddy. Karenanya tentu bukan satu sindiran dari juri yang ia dapat, melainkan benturan yang bertubi-tubi. Bukan hanya itu, bahkan ia bersikap apatis membiarkan salah seorang murid yang ingin buang air kecil ke WC belakang sekolah. Alhasil, anak tersebutpun pipis dikelas. Sungguh, kasihan.

 

Beda lagi dengan yang ini. Seorang temanku yang lain malah berakting pura-pura sebagai guru Bahasa Indonesia. Ia mencoba mengajar untuk kelas 2 SD. Ta-Ba, Ga-Da, Ya-Ra, Sa-Ti dan kata demi kata yang tidak ada artinya. Sama dengan Duddy, (sebut saja Eko namanya). Alhasil iapun hanya mendapat kesan dari anak-anak akan guru yang ala kadarnya. Apa yang diajarkannya sungguh tidak mempunyai makna. Anak-anak memang bisa jadi dapat membaca, namun kelak mereka akan berkata apa itu Ta-Ba dan apa itu Da-Ca!

 

Mengajar itu bukan gampang-gampang susah melainkan susah-susah gampang. Banyak susahnya ketimbang gampangnya. Mangkanya, tidak semua sarjana pendidikan itu bisa untuk menjadi seorang pendidik. Membuat konsep yang mudah dicerna oleh anak-anak itu sedikit rumit. Tidak semua anak-anak memiliki sifat, perilaku, dan daya tangkap yang sama. Karenanya, kami tidak hanya diuji dengan bobot pelajaran itu sendiri, melainkan kami juga diuji dengan ke-hiperaktif-an dan ke-pasif-an anak-anak dalam berakting di dalam kelas.

 

Sungguh cobaan demi cobaan dihujankan kepada kami untuk melihat kesiapan calon pengajar muda mengajar di daerah pedalaman. Cobaan yang sangat beragam. Tapi tentu cobaan ini, ditujukan untuk melihat bagaimana reaksi kami dalam menangani kelincahan anak-anak dalam berkreatifitas. Tantangan diluncurkan mulai dari kedatangan siswa yang terlambat, pertanyaan-pertanyaan murid yang ngalor-ngidul tidak jelas, sikap siswa yang malas belajar, kecentilan, gemar menggosip, pendiam bahkan sampai tingkah laku siswa yang sangat bandel. Semua diperagakan sempurna, seperti kelas dalam serial drama. Tantangan ini tentu tidak sekedar begitu saja diberikan kepada kami, melainkan kedepannya agar kami mengerti bahwa tantangan di lapangan semakin besar, sulit dan tidak dimengerti.

 

Kini waktunya sampai juga. Sekarang tiba giliranku untuk menampilkan simulasi mengajar atas petapaanku yang sudah bolak-balik dikembalikan. Bolak-balik? Ya, bolak-balik seperti halnya replik dan duplik. Yang ku bolak-balik adalah berkas drama simulasi mengajar yang cobaku buat untuk memudahkan mengajar dalam proses simulasi. Berkas itu kuberikan, dikoreksi oleh teman dekatku dan coba kuterus sempurnakan hingga akhirnya terus berulang. Proses berulang, dibolak-balik, dan terus dibolak-balik. Ada sekitar 3-4 orang temanku yang diperbantukan dalam membolak-balik naskah simulasi mengajar ini.

 

---------------

Mungkin akan ku ceritakan dulu, perjuanganku dalam mengotak-atik naskah ini. Konsep awalnya, aku berpikir akan menampilkan Pendidikan Anti Korupsi. Pendidikan Kewarganegaraan yang dibalut dengan pengajaran nilai-nilai kejujuran. Aku telah membuat sebuah pertanyaan fiksi, yang membuat anak-anak harus berpikir urgensi tentang sebuah nilai kejujuran. Konkretnya, pada awalnya aku memancing terlebih dahulu agar anak-anak mau mempraktekkan tepuk semangat di depan kelas yang telah diajarkan sebelumnya. Kemudian aku menjadikan anak tersebut tetap menjadi seorang guru dan memimpin anak-anak di kelas untuk belajar. Intinya, yang menjadi guru adalah anak-anak, dan aku adalah muridnya. Sebuah novum yang sempurna. Inilah sistem pembelajaran SCL, kawan. Student center learning yang cobaku praktekkan kepada anak-anak SD. Tentu, satu kosong bukan. Satu untukku dan kosong untuk anak-anak. Membayangkannyapun telah membuat hatiku jauh tersipu kegirangan. Lantas, skenario selanjutnya adalah aku akan mengajukan sebuah pertanyaan fiksi tadi. Seorang guru tentu berkewajiban menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, sehingga pada masa ini aku bebas untuk bertanya. Dan pada masa inilah kesempatanku memantik anak-anak agar berpendapat tentang urgensi sebuah nilai kejujuran.

 

Segeraku acungkan tangan untuk bertanya kepada Pak Guru Usro, sebut saja itu namanya. Berandai-andai, seakan aku memang telah melakukan tes seleksi simulasi mengajar. "Pak Guru Usro, aku mau tanya.. kan kemaren adek Ratih ketemu adek otong, adek otong cerita bahwa dia dikasih uang buat bayar buku paket sama bapak sebesar 15.000. Nah, bapaknya ngasih 20.000 terus uangnya otong jajanin. Perbuatan otong salah ngak ibu guru?" Sejenis inilah substansi pertanyaannya. Menanyakan apakah suatu bentuk perbuatan itu benar atau salah, dan menanyakan apa alasannya. Outputku pada waktu itu tentu jelas, menerapkan student center learning kepada anak didik. Setelah itu barulah memberikan mereka sebuah kesimpulan bahwa berbohong adalah perbuatan yang tidak baik dan dapat merugikan orang lain. Berbohong dengan mengambil barang yang bukan milik kita tentu tidak diperbolehkan, karena bisa jadi barang itu sangat dibutuhkan oleh yang empunya atau dapat menghilangkan kebahagiaan orang lain atau bahkan dapat menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain. Yakinlah bahwa semua amal manusia itu ada yang mencatat dan semua amal manusia itu akan dibalas oleh Tuhan di akhirat nanti. Tidak mungkin orang yang jahat ketika hidup di dunia tidak dibales oleh Tuhan. Tidak mungkin orang yang mencuri barang ketika didunia tidak dihukum diakhirat oleh Tuhan. Pasti cuma kita saja yang tidak bisa melihatnya ketika di dunia. Doktrin demi doktrin inilah yang akan aku susupi. Dan kemudian, ditutup aksi memetahkan pensil, berharap keyakinan itu muncul dari dalam diri anak-anak. Keyakinan bahwa jika kita mau berusaha 'lebih', maka tangan Allahlah yang kemudian akan membantunya.

 

Selang beberapa waktu, file demi file-pun aku kirim. Berharap mendapat masukan dan kritik atas karya fenomenal yang telah aku buat. Tak beberapa lama, file balasan itupun kembali muncul. Ku telaah, coba kupikirkan matang-matang dan segeraku praktekkan. Hasilnya, tentu diluar dugaan. Hal ini tidak bisa aku wujudkan. Waktu tujuh menit terlalu singkat. Tindakan mematahkan pensil untuk membangkitkan keyakinan anak-anak tidak dapat dibenarkan. Pelajaran ini mirip aksi pertunjukan debus pada acara sekatenan. Mau tidak mau, otakkupun harus mau berpikir ulang. Merumuskan bahan ajar apa yang seharusnya diberikan.

 

Tiga hari bolak-balik ke Sekolah Dasar, mencari bahan PKn yang diajar. Tak satupun bab aku temukan. Hanya pecahan nilai kejujuran yang tersebar di sudut buku kelas 5 bab hierakisitas aturan perundangan-undangan. Akupun terdiam, berharap ada secercah harapan. Ku lempar pandangan mata menatap awan. Tak kuduga semua hal berjalan lamban. Dan tak kusangka aku begitu cepat menemukan jawaban.

 

Tahukah kawan, ide apa yang saat itu aku temukan? Didepanku saat itu terhampar alunan nada yang tak henti-hentinya terus berdawai. Gerakan-gerakan anak kecil yang menyerupai nada, kubayangkan merupakan bagian dari sebuah jawaban. Tidak terbersit sedikitpun olehku untuk menjadi seorang guru olahraga. Seorang guru yang bebas untuk berkarya. Seorang guru yang berpotensi besar untuk menghasilkan atlet sepakbola. Dan yang terpenting merupakan seorang guru yang tidak akan dipertanyakan mengapa melakukan tindakan debus (mematahkan pensil) dalam pelajaran olahraganya. Segera kurancang format mengajar untuk tumbuhnya anak bangsa. Dan tak kurang lima belas menit naskah inipun siapku baca.

 

---------------

Tak ku kira waktunyapun telah tiba. Ku berdoa agar aku kuat, kuat, dan kuat melawan apa yang ada. Maju kedepan menjelaskan bahwa aku akan menjadi guru Olahraga. Kupekikkan semangat pagi kepada anak-anak untuk sehat berkarya. Kuajak mereka untuk bangun dari sikap duduk dan berdiri menggerakkan semua bagian tubuh ini. Kuajarkan senam sederhana, kubuat mereka belajar dengan gembira. Namun, tidak ada yang istimewa, karena sebagian mereka malas untuk berolahraga.

 

Tak mundur dengan gertakan anak kecil nan manja. Aku manuver dengan perhatian luar biasa. Tak kuduga waktu begitu cepat berlalu. Pertunjukan debuspun tak terpakai, anehnya terlewat selalu. Aku tutup dengan mengajari mereka senam mulut dan kuperkuat dengan wejangan-wejangan sederhana sengaja runtut.

 

Begitu kerasnya tim Indonesia Mengajar dan PT. Daya Dimensi Indonesia menyeleksi kami dalam simulasi mengajar. Celah demi celah ditutup dengan lakon, pertanyaan dan sindiran agar kami segera bangkit untuk menjawab dan memberikan solusi apa yang seharusnya kami lakukan. Menjadi pengajar di pedalaman memang tidak gampang. Menjadi pengajar sekaligus motivator juga tidak mudah, butuh kualitas pendidik yang baik, benar dan tepat. Dan inilah yang diinginkan oleh si penyeleksi. Assessment kedua ditutup dengan soal kasus sepuluh halaman berbasis kompetensi. Problem solving dengan keruwetan masalah perusahaan yang harus segera dibasmi. Tak kusangka semua kutinggalkan dengan penuh percaya diri.

 

Tak terasa sebulan penuh telah berlalu. Dan semua hal tentang tahapan seleksi telah kulewati. Ku duduk di depan ruang kenotariatan menyepi. Langkah mahasiswa yang semakin sepi membuat diri ini bertepi. Sungguh sunyi memikirkan jalan hidup sendiri. Tak kusangka tapi ini semua sudah kulalui. Berjalan begitu saja, kuyakinkan ini bukanlah mimpi. Apalagi sebuah halusinasi yang berjalan diatas ilusi.

 

Tetap berjuang, belajar dan teruslah berkarya. Wejangan Prof.Nurhasan tak lama kudengar maknanya begitu dalam. Segeralah kembali, dengan semangat melakukan perubahan bangsa yang lebih baik. Maju berjuang, tak pandang bulu membantu rakyat yang tertinggal di daerah pedalaman. Banyaklah belajar dari pengalaman. Banyaklah mengambil hikmah kehidupan yang disediakan oleh alam.

 

Sebulan lagi, tepatnya tanggal 24 April 2011, masa karantinapun segera tiba. Surat cuti mulai dari Dekanat, Kepala Prodi Kenotariatan sampai dengan Direktur Akademik dan Administrasi telah kuberikan. Kini waktunya mengkonkretkan kalimat dalam alinea pembukaan UUD'45. Memperjuangkan nasib mereka untuk mendapatkan pendidikan yang seutuhnya. Mungkin saat ini, Allah menakdirkan agar aku menjadi seorang pengajar muda. Sebuah profesi untuk mendidik anak bangsa dari keterpurukan Indonesia. Maju terus, kawan. Karena lagi-lagi perjuangan itu belum usai, bahkan akan segera dimulai!


Cerita Lainnya

Lihat Semua