Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 2)

Ratih Diasari 5 September 2011

Terlahir dari antah berantah. Tak pernah ku tahu dimanakah tempat kelahiranku persis berada. Lama-kelamaanku beranjak dewasa. Cerita demi ceritapun terdengar dan mengalir pada telingaku begitu saja. Terlahir di daerah pertengahan Sulawesi Selatan, aku termuntahkan pada saat awan yang tak sanggup menopang bulir-bulir air yang sudah penuh dengan muatan. Ibuku bercerita, aku lahir pada keadaan hujan dengan sebuah mobil angkutan yang tak kunjung bisa berjalan. Aku tak sabar, lantas keluar begitu saja dengan bercampur air ketuban. Entah dorongan apa yang membuat perut ibu tak kuat bertahan, pasti Allah-lah yang berkehendak dengan beragam pertimbangan alam.

  Titik demi titik, satu per satu air hujanpun turun menembus permukaan jalan. Teriakan anjing kampung tak mau kalah menyambut kedatanganku dengan memberikan lolongan pertanda kata sambutan. Tak mau kalah, bapak bergerak cepat, membopong ibuku yang terlunta lamban bergerak nyeri kesakitan. Keluar dengan selamat, akupun diazaninya dengan penuh harapan kebahagiaan. Bapakku adalah seorang patriot keluarga. Sudah empat kepala, terlahir selamat, dengan uang hasil keringatnya.

 

  Begitu besarnya peran seorang bapak dimataku, sampai kubisa berdiri dan menapaki jejak negeri ini. Orang tua yang tidak renta itu adalah guruku. Ia adalah pelindungku. Ia adalah penyemangatku. Tanpanya aku adalah seorang yang malas bekerja. Tanpanya aku adalah orang yang bodoh sedunia. Tanpanya aku tidak punya kekuatan apa-apa. Bapakku adalah ayahku, yang dengan kegigihannya bersemangat turut andil dalam membesarkanku.

 

  Pendek, galak, dan ngeyel. Itulah kelemahannya. Tegas, bertanggungjawab, dan pantang menyerah. Itulah kelebihannya. Sama. Tak ada beda dengan anaknya. Andaikata bapakku mengikuti tahapan penyeleksian gerakan Indonesia Mengajar, mungkin dua jawaban inilah yang beliau kemukakan untuk menyempurnakan dua essay dari enam essay yang harus segera dikumpulkan pada tahap penyeleksian administrasi. 

 

Dialah bapakku. Seorang yang tegas, bertanggung jawab dan pantang menyerah. Tidak ada kata lain untuk menggambarkannya. Tiga sikap menonjol inilah yang ada pada dalam dirinya. Beliau hanya tamatan SMA. Keahliannya dalam ukur-mengukur tanah yang dipelajarinya dalam Kantor Pertanahan, membuatnya dapat melakukan proyek mandiri untuk terus menghidupi anak dan istrinya. Gaji seorang PNS yang ala kadarnya kami syukuri dengan tanpa banyak bertanya. Dan aku beruntung dapat hidup bersamanya. Bertanggung-renteng dengan rezeki yang mengalir dari kantong celananya.

 

  Dialah bapakku. Pendek, galak dan ngeyel. Beliau pendek, karena begitulah Allah menciptakannya. Beliau galak, maka wajarlah jika anak terlahir mengikutinya. Beliau ngeyel, membuatku harus berhati-hati ketika berbicara dihadapannya. Inilah tantanganku yang pertama dan utama, sebelum aku benar-benar pergi jauh meninggalkan dirinya. Jauh pergi untuk mengajar anak di pedalaman. Setahun mengabdi seumur hidup menginspirasi. Pilihan besar yang kupilih berderajat 180 sebagai taruhan hidup keberlangsungan keluargaku.

 

  Alasan beliau sebenarnya cukup sederhana. Ia hanya ingin anaknya mengambil pilihan yang mendasarkan pada ketentuan alam yang berlaku. Mengambil pilihan umum untuk bekerja atau belajar pada jurusan yang nyatanya memang ku mau. Tidak dapat dipersalahkan, karena sebagian besar orang tua memang memproyeksikan anaknya seperti itu. Tentu ada bukti nyata, terlihat banyak saksi yang mengaku. Bapakku adalah pribadi yang berjalan di areal kejelasan. Jelas karier, jelas pendapatan, dan jelas dapat hidup menyambung masa depan. Bapakku menginginkan agar aku cepat lulus dan menjadi PNS di suatu departemen yang bergengsi. Standar, klasik yang penting bisa dijalani. Tidak usah basa-basi, karena esok juga akan jadi seorang istri.

 

  Ya begitulah bapakku. Segalanya tentu harus dipersiapkan secara matang.

 

  Detik demi detikpun telah terlewati. Dua belas gerbong kereta telah sampai pada stasiun yang siap diambangi. Terlihat didepan stasiun sosok gempal yang tak sabar menanti berdiri tegap dipojok sebelah kiri. Pasti Bapak telah bersiap dengan omelan yang keluar melompat pasti. Seribu alasan sebagai amunisi sudah siap disuguhi. Tapi apa daya, hanya muka menegangkan yang kini dijumpai.

 

  Inilah dua minggu terakhirku bersama dengan keluargaku. Diantar KRL bisnis, ku teguh pulang tuk yakinkan hati yang gundah ini. Langkah demi langkah pasti, sedikit demi sedikit kutapaki. Seharusnya tidak ada jarak ketika mulut ini berani untuk berbunyi. Tidak ada basa-basi karena amunisi begitu cukup telah disiapi. Tapi entahlah apa yang saat ini akan terjadi. Tidak ada yang dapat memprediksi. Semoga Allah punya rencana lain tuk teguhkan hati Bapakku ini.

 

  Bapakku berbeda dalam menyikapi diriku pada pagi ini. Ia diam. Beberapa kali ia malah mau membantu mengangkatkan tas-tas ku yang berat berukuran besar. Tidak ada satu patah katapun ia ucapkan mengenai Indonesia Mengajar. Mungkin malas. Mungkin juga lelah karena seharian telah sibuk bekerja.

 

Terkadang aku berpikir, mungkinkah ia akan tetap menerimaku apa adanya? Menerimaku dengan segala kelabilan-kelabilanku. Sebenarnya aku juga lelah berseberangan dengannya. Aku lelah berbeda pendapat denganya. Namun aku harus bagaimana!? Aku sulit menjelaskannya. Aku sulit mendeskripsikannya. Segala daya dan upaya telah ku coba. Semua rangkaian kata-kata baik juga telah kusuguhkan padanya. Namun hal itu terasa terbuang percuma, karena apapun alasannya tetap saja tidak masuk akal dalam ruang pikirannya.

 

  Lama aku bergumam dengan hatiku. Lama aku berpikir akankah secercah harapan kan datang mengisi relung-relung hampa jiwaku. Aku ulang semua pikiran-pikiran 'tajam' bernuansa kejam tentangnya dalam memori ingatanku. Mungkinkah ia sejahat itu? pasti tidak dan kuyakin tidak. Kuyakin nuraninya juga ada untuk mendukung kemajuan negeri ini.

 

  Itulah yang kuingat saat pertama berkutat dengan penolakan orang tuaku. Serangannya kadang-kadang, tak diduga, bergantung ketegaranmu menghadapi keadaan yang tidak bisa diraba. Gumamnya takkan lama bertahan, kalau tekad sudah bulat tertanam. Tinggal bagaimana kita mau membuktikan, sebuah keseriusan memilih jalan perjuangan.

 

  ------------- 

 

Bapakku, ia akan selalu tampak begitu. Sayangnya ia padaku membuat aku harus berpikir dua kali tentang segala keputusanku. Sayangnya orang tua pada anak yang tak ingin ditinggal jauh-jauh. Bapakku, walau engkau tidak setuju. Anehnya engkau juga tak segan mau membantu. Anehnya engkau juga mau, kuajak bercerita, kuajak bercengkrama. Mau antar jemput diriku pagi-pagi ke Hubla. Mau menyangoni diriku kala pelatihan itu tiba. Apa lagi yang harus ku nantikan. Perlukah sebuah jawaban mengapa engkau berbuat demikian? Padahal jawabannya sudah ada, sudah jelas, dan cukup tegas. Jawabannya adalah sebuah proses. Sebuah waktu yang harus ditunggu agar Bapak bisa mengerti. Mengerti bahwa aku sudah dewasa. Mengerti bahwa aku akan mengabdi sepenuhnya pada bangsa.

 

  Tak tega aku melihat wajah sendumu di Bandara. Mungkin hanya mengajar anak pedalaman yang akan aku persembahkan sebagai bekal amal terbaikmu kelak manuju surga. Terima kasih bapak, karena engkau sudah mau berbeda. Membuatku tegar bertahan, mempertanggungjawabkan pilihanku kepada nusa dan bangsa.  Selaru, 23 Juni 2011. Dengan suasana tegang mengharukan karena angin laut yang bertiup kencang dan hujan deras yang tak henti jatuh menyiram, jarak rumah-pantai 200 m, semoga engkau sehat-sehat saja ya pak dan semoga aku baik-baik saja disini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua