Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 3)

Ratih Diasari 5 September 2011

Warna dasarnya jernih. Terlihat ada yang hitam, abu-abu, hijau, biru dan putih. Di dalamnya ada bintang laut sebesar nampan Mamak Piara. Ada rumput laut yang sedang menari berlenggok kanan dan kiri. Ada ikan yang tak sengaja dekat menghampiri. Ada pasir putih yang begitu indah untuk dinikmati. Ada siput yang mengumpat diantara rerumputan laut yang sebenarnya tak mati. Dan ada air laut yang begitu asin sekali. Semua terlihat kontras bergradasi dan akupun tertarik untuk melihatnya lagi.

  "Asin ya rum". Ucapku kepada Arum, salah satu Pengajar Muda yang ditugaskan berada dalam satu kecamatan yang sama sesaat setelah tubuh kuceburkan ke dalam laut pelabuhan.

 

  "Asin ya rum". Kuucap dua kali. Tak sengaja sambil ku ludahkan sisa airnya dengan muka yang ku tekuk dan alis yang ku dekatkan tak sengaja mengkerut.

 

  "Asin banget ya rum". Kuucap lagi walau baru saja ia tersenyum simpul melihat tingkahku yang lucu membuang sisa air laut yang masuk pada mulut mungilku ini. Jawabnya dalam hati mungkin kesal karena ku ulang, ku ulang dan terus ku ulang lagi. Sepanjang pengalamanku, aku tahu memang air laut itu asin, tapi ini lebih asin lagi. Tak bisa ku bayangkan jika suatu saat aku berenang di laut mati. Mungkin aku tidak akan bilang apa-apa lagi. 

 

Retoris, sungguh retoris. Engkau akan jadi retoris di pulau ini. Ingat kata-kataku ini. Banyak rasa, banyak warna, banyak fenomena. Dan semua begitu berlebih. Sampai kau akan mengeluarkan pertanyaan atau pernyataan yang sebenarnya itu pernah kau rasakan, namun beberapa hal yang pernah kau rasakan tadi ternyata bisa jauh lebih indah, jauh lebih nikmat, jauh lebih besar dibanding potret pengalamanmu sebelumnya.

 

  Inilah gambaranku terhadap wilayah terluar nusantara yang jarang terjamah oleh masyarakat Jawa-Jakarta. Dan akupun sudah berdiri disini. Berdiri di pasir putih yang indah ini. Harus benar-benar niat jika ingin pergi mengunjungiku kesini. Untuk mencapai daerahku disini engkau dapat mengarungi udara menuju Ambon selama 3,5 jam, mengarungi udara ke Saumlaki selama 2 jam, di akhiri dengan berlayar menggunakan motorboat ke Pulau Selaru selama 2 jam. Dari pelabuhan bisa saja kita langsung pergi berjalan, karena rumahku hanya berjarak sekitar 200 meter dari pantai pelabuhan. Kelihatannya mudah, namun kenyataannya tidak selalu begitu.

 

  Buktinya saat keberangkatanku dari Jakarta beberapa hari yang lalu, pesawat yang akan membawa kami ke Saumlaki tiba-tiba rusak sehingga baru keesokan harinya kami dapat berangkat tuk lanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan motorboat yang seharusnya langsung membawa kami ke Pulau Selaru. Tanpa kami ketahui ternyata setiap hari minggu kapal libur berlayar. Kapalpun sewaktu-waktu bisa dicarter, tentu tanpa pemberitahuan kepada penumpang di Pulau seberang. Maka tidak bisa jika tiba-tiba datang langsung naik menghadang. Harus kenal masyarakat disini dulu baru bisa lanjutkan perjalanan.

 

  Inilah selayang pandang gambaran tempat tinggalku yang baru. Tempat tinggal yang membawaku bisa menikmati keindahan alam yang jauh lebih seru. Inilah Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Wilayahnya berada jauh diseberang, di samping kiri bawah Pulau Papua. Pulaunya kecil jadi wajar jika samping kanan dan kiri langsung daerah pesisir.

 

  Sebagai pulau terluar, dengan motorboat kita dapat menempuh Australia dalam waktu 3 jam, atau ke Timor-timur dalam waktu 2 jam. Begitu dekat. Begitu mudah. Walau tak pernah kubayangkan apa yang terjadi jika tiba-tiba kapal kami karam disana.

 

  Desa Adaut Kecamatan Selaru. Daerahnya jarang bersinyal. Sinyal tidak mudah untuk didapatkan. Butuh antena sinyal dan tangan yang kuat untuk lama bertahan. Tiga bar dengan tulisan edge saja, sudah cukup lumayan. Ditambah dengan listrik yang menyala dari jam 18.00 ke jam 06.00 WIT tentu membuatku cukup tenang dan nyaman.

 

  Jika malam tiba, awalnya kupikir desa kan gelap gulita. Lampu neon yang menyala hanya mampu terangi ruang tamu di bagian dalamnya saja. Tapi yang kupikir ternyata sungguh jauh berbeda, karena bintang bertaburan begitu banyak di ruang angkasa raya.

 

  Malam yang bertaburan bintang. Disinilah baru jelas ku dapat melihatnya. Baru kupahami itulah sebenar-benar makna cintaNya. Baru kupahami begitu adilnya Ia ciptakan kerlip nyalanya. Ditempat yang jauh tak pernah ku sangka sebelumnya. Ia begitu banyak, membuat geli, bergelayutan, berdekatan, bercahaya tak pandang suasana. Jika sedih ia hadir berkelip, jika senang ia asyik berkedip, jika marah ia terus saja tambah bercahaya. Andai saja banyak manusia yang mengerti akan titik kehadirannya. Mungkin akan banyak lagi manusia yang selalu bersyukur karena Allah adil berikan kerlip kebahagiaan pada setiap orang dimanapun mereka berada.

 

  *Selaru, 25 Juni 2011. Jangan rindu, karena Allah adil tetapkan sesuatu dalam setiap kisah hidupmu. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua