Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 4)

Ratih Diasari 5 September 2011

Sepagi itu kepala telah kudongakkan dengan mata lurus menajam ke atas awan. Sesekali kadang kuubah pandangan mata melirik ke arah kerumunan kelapa besar yang berada tepat di depan cawan. Kurasakan hembusan angin pantai yang entah mengapa begitu kencang bertiup tak kenal lagi istilah sepoi-sepoi. Pagi buta sehabis sholat subuh, aku sudah beranjak dari tempat tidurku. Mengenalkan tangan halusku secara bertahap pada tali tambang yang mengkail erat pada timba air yang berukuran sedang. Berdiri, bungkuk, menumpahkan air, kemudian membawa penuh ember-ember tua itu pada sebuah penampungan besar yang berada menjorok tepat diujung depan sebuah pagar. Aku bolak-balik, terus seperti itu dan terus kembali lagi seperti itu.

  Meski waktu telah bergulir menjadi pagi, sore itu tetap tak bisa terlupakan. Aku masih mengingatnya dengan sangat, berikut sore-sore yang telah lalu, yang telah berlalu. Aku merasa telah melalui ribuan senja, bertarung, berlayar, mengarungi lautan banda, mengejutkan pagi-soreku untuk mengukir catatan perjalanan anak bangsa.

 

  --------------------- 

 

"Ibu penjual dari mana? Jawakah? Jual pakaian?" Sambil menimba aku hanya bisa senyum-senyum menjawab pertanyaan seorang ibu berkonde yang sedang menatapku lamat-lamat di sumur belakang, yang tak jauh dekat rumah. Rupanya gadis belia berkerudung panjang ini, ia sangka sebagai penjual pakaian. Me'tua menyangka diriku sama dengan penjual-penjual yang lain. Datang jauh-jauh ke Pulau Selaru, hanya untuk merantau, berjualan pakaian, berjualan kelontong atau berjualan tikar seharga dua ratus lima puluh ribu. "Aishhhh, tega nian akang mamak", seruku dalam hati sambil menyeka debar jantung yang seakan berdegup rintih.

 

  Disini biasa jika ada wajah baru yang menghiasi pulau Selaru disebut sebagai seorang penjual. Datang tiba-tiba, terlihat sebagai seorang pendatang, pasti tak lain punya misi untuk berdagang. Berjualan pakaian, membuat toko kelontong, tikar, atau kadang-kadang kasur dengan harga yang sungguh tak pernah terbayang. Besarannya kira-kira 3-5x lebih besar dari harga asli barang dagangan.

 

  Atau ada lagi. Ada lagi sambutan yang berbeda dari masyarakat.

 

  "Bapak-bapak, dan ibu-ibu sebelum beta mulai memberikan sambutan dalam pembagian rapot hari ini, beta akan memperkenalkan nona manis di sebelah beta. Beliau adalah guru baru dari Jakarta. Guru baru yang akan mengisi kekosongan guru di kelas 3 DAN mengajar bahasa inggris di kelas 1 sampai 6. Silahkan nona memperkenalkan diri di depan."

 

  Lagi-lagi aku hanya bisa senyum-senyum. Tepatnya senyum KAGET. Tentu bukan kaget karena aku dibilang nona manis, tapi kaget karena belum berkordinasi apa-apa, tiba-tiba aku sudah diumumkan di depan khalayak orang tua murid bahwa aku akan menjadi guru wali kelas SEKALIGUS guru bahasa inggris di semua kelas. Dan kau tahu apa yang dilakukan para orang tua murid? Mereka bertepuk tangan, bersorak sorai penuh gembira bahkan ada yang standing applause melihat ungkapan sakti yang barusan diucapkan oleh Bapak Kepala Sekolah. "Aishhhh...", terdengar degupan yang sama dalam jantung ini. Amanah ini seolah menjadi timba-timba tua yang menumpuk berat, dalam otot-otot bahuku.

 

  Atau ada lagi. Ada lagi sambutan masyarakat yang lain.

 

  "Coba sini ibu liat, yang sakit yang mana sayang?" Ucapku kepada salah seorang anak yang telunjuk tangannya baru teriris menjadi dua karena habis terpotong golok besar, saat mengiris bambu untuk membuat kail ikan di depan rumah. Dengan penuh gemetar tanganku coba membersihkan darah di tangannya yang terus membanjiri rok hitamku begitu banyak. Tangisannya yang begitu keras juga berdenging seperti sirine seakan memanggil-manggil banyak orang yang sedang tidur kala siang datang menjelang.

 

  "Ibu perawat ka dokter PTT? Baru datang dari Jawa ka apa?". Tersipu aku dibilang me'tua sebagai seorang dokter atau perawat.

 

  Bagaimana tidak dibilang sebagai seorang dokter atau perawat! Kau tahu kawan, setiap hari berada di pulau ini, ada saja perbuatan anak-anak yang membuatku begitu aktif berkutat dengan kotak P3K. Mulai dari mengobati jaitan kaki seorang anak yang dicabut sendiri tanpa pergi kembali ke Puskesmas, kaki dua orang anak yang luka karena digigit anjing, bisul anak-anak yang tersebar di kepala, tangan dan kaki, berdarahnya kaki karena terkena pecahan beling, tangan yang tak sengaja tertikam pisau, tulang yang berpindah karena jatuh dari pohon, tangan yang luka karena masuk lubang batu karang di laut, kaki seorang anak yang terbelah karena mengambil kepiting di laut, atau banyak lagi kejadian lain yang tak pernah ku tangani sebelumnya. Mungkin kalau disebutkan semua, aku akan tampak benar-benar menjadi seorang dokter atau perawat. Gurauku dalam hati, "satu tahun mengajar, seumur hidup menginspirasi. Tepatnya, kejadian ini menginspirasiku untuk merangkap menjadi dokter PTT".

 

  Atau ada lagi.

 

  Sebut saja namanya Dewi. Ia adalah tetanggaku. Jaraknya dengan rumahku tak begitu jauh, mungkin hanya tiga puluh meter melewati sumur bersama itu. Dewi adalah seorang anak berumur 7 tahun. Bicaranya begitu cepat, begitu juga dengan gerak tangan dan kakinya yang begitu lihai memainkan jurus andalan yang tak pernah ku tahu belajar kungfu dari guru yang mana. Ia adalah anak yang cerdas. Kecerdasannya terukur dari sifat keingintahuannya pada hal baru yang ia temui.

 

  Dan kau tahu, apa hal baru yang ia temui dalam umur-umur hidupnya? Hal baru yang benar-benar baru ia temui itu adalah jilbabku. Tepatnya, ia sangat penasaran melihat rambut yang terbungkus dengan jilbab panjangku. Ia selalu berteriak "keribo ka apa? Keribo ka apa? (Sambil grasak-grusuk ingin membukanya.)". Ia berasumsi bahwa aku sengaja menyembunyikan rambut kepalaku yang bernuansa kribo, kasar, kumel, pirang dan berkutu.

 

  "Aishhhhhhh.... Andaikan ia tahu aku menguasai jurus creambath yang telah aku kuasai dari tempat menyantri dulu, dan nyatanya telah aku praktekkan pada tujuh orang anak kelas enam yang berambut "sangat terawat", pasti ia tidak akan berhalusinasi kejam seperti itu terhadap mahkota rambut di dalam kerudungku", gumamku dalam hati yang paling dalam.

 

  Itulah sambutan masyarakat terhadapku. Sederhana. Singkat. Hanya hembusan angin yang saling mengabarkan. Tak ada sambutan di dermaga, tak ada sambutan di desa, tak ada sambutan meriah di sekolah. Awal kedatanganku turun dari kapal dausawk, sesekali hanya dilirik masyarakat sebagai sapaan lama berasa kaumnya. Itupun mungkin karena senyum lebarku, atau life vest orange punyaku, atau mungkin koper-koper besar bawaanku atau mungkin juga karena jilbab besarku. Tidak ada sambutan formal dari masyarakat. Sambutan untukku hanya ada di internal kelurgaku. Sambutan minum sofie (arak atau tuak) sebagai ucapan selamat datang kedatanganku.

 

  Dalam prosesi adat penyambutanku, aku diberikan nama baru sebagai tanda pengangkatan anak yang biasa dilakukan masyarakat daerah sini terhadap 'orang asing' yang akan menetap. Dan perkenalkan, nama angkatku adalah LOBI. Tak jauh memang dengan jurusan kuliahku beberapa abad lalu, negosiasi atau lobi-melobi. Nama lobi adalah nama tua-tua dulu, tepatnya nama oma-oma dalam garis teratas keluarga mereka. Entah apa artinya, namun itulah adat Selaru, suatu keharusan untuk memberikan nama orang tua dulu kepada cucu-cucu atau anak-anak mereka. "Aishhhh....."

 

  ------------- 

 

Pagi ketika kubangun, rutinitasku berjalan sama. Tak ada rentang begitu jauh untuk pagi maupun sore saat berada disini. Rutinitas timba tetap aku lakukan. Langit selalu masih tampak penuh dengan taburan bintang keemasan yang tersebar jauh di atas sana. Tak ada orang mengantri di sumur kala pagi masih gelap gulita. Biasanya ketika fajar menyingsing, masyarakat baru berkerumun datang mengantri bergantian di sumur dekat padang ilalang.

 

  Jarak sumur memang dekat. Tak kurang sekitar dua puluh meter untuk sampai ke dapur depan rumah mamakku. Sedangkan dalamnya sumur bersama itu tak kurang sekitar tiga belas meter beberapa kepal lebih dalam dibanding sumur galian lain yang dibangun tak jauh 'dekat' situ. Lumayan terengah memang menariknya bagi aku yang tercatat sebagai seorang pemula. Tangan yang tadinya bersih tidak bernoda, mau tidak mau harus lecet rasakan perih gesekan kuat seutas tambang sehabis menimba. Otot bahuku juga sudah terbentuk serupa dengan adik perempuan Ade Rai, jika adiknya nyata memang ada.

 

  Hari-hari awal ku disini memang tak lebih seperti rutinitas timba yang bolak-balik. Terus seperti itu dan terus kembali lagi seperti itu. Waktu yang diberikanNya begitu cepat melahap waktu-waktu keberadaanku yang tak kenal apa-apa tentang watak asli sebagian besar masyarakat Maluku. Namun dari rutinitasku yang berulang ini, ternyata juga tidak sejelek pandangan sekejapku untuk mengetahui siapa itu masyarakat Selaru.

 

  Sudah terhitung satu bulan, aku hidup menetap dan beradaptasi dengan masyarakat, waktu begitu padat mengenalkanku pada keadaan lain Indonesia yang apa-apa serba terbatas.

 

  Daerahku memang daerah terluar. Jarang terdengar. Jauh dari hingar-bingar. Hanya tercap oleh tayangan televisi sebagai daerah yang hanya tahu akan tawuran. Baku pukul, baku hantam, itulah yang banyak tersorot oleh lensa para wartawan. Kampungku tercap oleh sebagian besar kalangan, hanya banyak terisi oleh orang-orang yang sangar. Anggapan itu tentu tak benar. Masyarakat sungguh begitu ramah. Jauh lebih ramah dari apa yang pernah aku bayangkan.

 

  Membantu tanpa kata itulah pelajaran berharga yang sungguh membuatku pilu, tergetar sungguh bangga. Buktinya ketika aku pergi untuk menimba. Setiap kali ku mengerek dengan tarikan yang lama lagi payah, masyarakat segera bergegas menumpahkan timbanya padaku tanpa perlu berkata apa-apa.

 

  *Adaut, 23 Juli 2011, tulisan lama yang coba diselesaikan. Kuselesaikan untuk kembali mengenang bangsa Indonesia.


Cerita Lainnya

Lihat Semua