info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 5)

Ratih Diasari 5 September 2011

Kupandangi jalan raya Parung-Bogor yang begitu panjang, luas, membentang dari ujung kaca angkutan yang tak bersesak dengan isi para penumpang. Kulemparkan mata yang belum bertambah, dengan terus menatap lamat pohon-pohon asri yang seakan belum pernah tercemar oleh kepulan asap ribuan kendaraan yang memadati jalan. Tampak angka-angka di jam tangan belum berlarian mencapai angka terakhir yang menjadi harapan semua siswa yang ingin ke sekolah untuk belajar.

  Pagi jam tujuh saat aku berada disini, seperti pagi biasanya yang pernah aku lalui di jam setengah enam kala aku harus berangkat melanjutkan rute baruku ke sekolah yang berada tepat di pusat kota. Perjalanan kesana masih sunyi, senyap, gelap gulita. Tak banyak anak kampung sini yang harus berangkat sepagi ini. Sholat subuh, berlari ke penjaja nasi, bergegas menunggangi ojeg, menyambung angkot 06 jurusan Parung-Bogor, menyambung angkot 03 jurusan Bubulak-Baranangsiang atau jika tidak, boleh juga menyambung dengan angkot biru bernomorkan besar-besar angka 02 jurusan Bubulak-Sukasari. Harus cekat jika tak ingin telat, untuk berangkat ke jantung kota Bogor.

 

  Tak terasa ternyata itu sudah dulu. Itu sudah berlalu. Pagiku berbeda untuk hari ini. Pagiku disini, angin masih bertiup begitu kencang. 'Tak ada' suara apa-apa. Tidak terdengar suara keramaian. Tidak ada bising sepeda motor atau mobil yang memadati jalan semen yang membujur panjang di tengah kampung. Di tiap rumah tidak ada denting ayunan sendok atapun garpu untuk makan pagi. Tidak jua ada bunyi suara televisi atau bahkan orang yang mengaji. Tidak ada atap dapur yang mengepul asap. Tidak ada ayam berkokok yang mengiringi perjalananku lagi saat pergi ke sekolah. 

 

Yang ada hanya suara anjing mengaum malas. Suara babi di kandang yang kelaparan. Toke' yang masih berbunyi di dalam rumah. Dentingan suara lonceng yang saling bergantian dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Suara anak-anak berlarian. Suara desingan tali timba yang tergesek baja. Suara ilalang dan daun kasbi yang saling bertepuk manja. Suara kaki guru yang baru berangkat kerja. Suara ranting dan kayu sebagai tanda pengemplang. Dejitan kaki anak-anak yang berlari tanda terlambat. Teriakan guru piket. Barisan kaki anak-anak. Push-up dan lari bersama ditemani dengan tangan yang sesak akan roti dan kue bertabur gula. Terakhir, makian keras untuk tidak terlambat!

 

  Pagiku sunyi, pagiku sepi. Aku sudah bangun, namun keliatannya murid-muridku masih tertidur pulas. Tak salah, namun tak baik. Tak tahu atau tak mau. Tak mau atau jangan-jangan tak bisa. Tak tahu, tak mau, tak bisa. Semua melebur menjadi satu, bias. Semua mengatakan belum siap kalau harus berangkat pagi. Desingan nasihat bak peluru entah berbekas, atau hanya masuk dan kembali berputar pada telinga kanan. Nasihat yang tak berguna bagi yang tak mau menerima. Ocehan pagi yang terdengar selalu sama, tak masuk pikiran sampai ruang dalam amygdala.

 

  Pagi jam tujuh saat datang ke sekolah, baru ada tiga orang anak kelas tiga yang berbedak tebal tak tahu rumahnya mungkin dekat entah berada dimana. Dugaanku bahwa rumahnya dekat, itu mungkin benar. Atau mungkin mereka tak mandi, bisa jadi. Ahhh tak penting, tapi ku bangga! Dedikasinya sebagai anak negeri yang mau belajar ke sekolah begitu tinggi diaplikasikan dengan cepat bangun pagi dan tepat datang ke sekolah. Namun dimana yang lain? Ini Hari Anak Nasional, ingin secepatnya aku mengucapkan sepatah dua patah kata kepada mereka dan menyalami satu per satu tangan mereka dengan dekapan tangan yang sangat kuat! Apa karena ini hari sabtu? Dekat dengan hari minggu? Sudahlah. Keterkaitan waktu bukan menjadi soal. Jika anak-anak diberi contoh konkret nan istiqomah untuk tidak terlambat, aku yakin suatu saat PASTI akan berubah.

 

  Detik, menit, kemudian jam pun berlalu. Sudah cukup rasanya aku memulai dengan terus menghitung waktu. Dari rombongan belajar sebanyak empat puluh tujuh siswa, yang hadir pada hari ini hanya tiga puluh dua saja. Sisanya? Jangan tanya mereka ada dimana. Rumahnyapun aku belum sempat melacak terletak tepat berada dimana. Dua minggu awal mengajar sudah membuatku hampir mati karena lari terengah, terus putar kepala mengevaluasi RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang tak kunjung terpangkas indikatornya. Pengkondisian kelas juga rasanya belum berhasil mendiamkan anak-anak yang seharian bergerak lincah, penuh gairah, menikmati betul masa kanak-kanaknya.

 

  Di kelas. Masih ada saja, dua sampai lima orang anak yang menangis sambil sahut-sahutan, kedatangan yang baru menyusul di jam istirahat, bosan kemudian makan begitu saja dengan kremesan mie sedap yang menjadi menu andalan, hidangan es mambo yang siap menemani jika mulut panas kepedesan, dan terakhir, ada saja yang mengendap pulang mendaki jendela sebelum lonceng memecahkan suara nyaringnya di penghujung pertemuan. Semua dimainkan dan memainkan perannya sungguh takjub tak terbayangkan!

 

  Selamat datang di SD percontohan tempatnya anak negeri dibesarkan. Ku tahu bukan kutukan, celaan, eluan dan keluhan yang saat ini dibutuhkan. Namun segera bangun, bergerak, berbuat dan bertindak dengan semangat dan tekad untuk lakukan perubahan. Sungguh, tak mundur selangkahpun aku dengan gertakan kecil-Mu sebagai ujian kesabaran dan keimanan. Aku akan bersiap memainkan amunisi dengan menggempurmu, wahai kebodohan. Aku akan serang dan mematahkan punggungmu, wahai pembodohan. Cukuplah masa lalu yang menjadi momok terbesar bangsaku dihina dan dijajah berujung kemiskinan dan keterbelakangan. Sungguh hal ini menyesakkan dadaku karena langsung melihat kenyataannya di lapangan.

 

  Sudah habis waktuku mengajar dua minggu di awal sebuah perjalanan. Banyak hikmah tentu kupetik, sebagai langkah baru memulai pendakian. Awalnya kuakui aku sempat demam, tak habis pikir diriku bisa dikalahkan. Suaraku serak, tenggorokanku sakit, berteriak terus seakan berlomba dengan deburan ombak laut yang terus bertabrakan.

 

  Aku ajari mereka pelajaran PKn tentang Sumpah Pemuda. Aku mulai pembelajaran dengan menyanyikan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” secara bersama. Tak kusangka mereka jauh lebih kreatif dariku yang sudah hapal lagu di luar kepala. Mereka mengubah kata “Merauke” menjadi “Angwarmas” yang merupakan Pulau kecil, tak jauh di depan sana. Sungguh super, menakjubkan, luar biasa!

 

  Lantas ku lanjutkan dengan membuat peta Indonesia yang meliuk indah, sebagai penggambaran yang ala kadarnya. Kusampaikan hamparan pulaunya merupakan satu kesatuan dalam tanah air Indonesia. Mereka tercengang, mungkin takjub, mungkin tak mengerti apa maksud dari semuanya. Namun tak lama tiba-tiba ku dengar lantunan mulut kecil mereka berbicara, memberikan jawaban, mengeluarkan beberapa kata-kata. Sebagian dari mereka menyebutkan Pulau Angwarmas, Pulau Nuyanat, Pulau Wedas, Pulau Kora dan Pulau Adautubun. Tak lebih. Bukan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, apalagi Irian Jaya. Sungguh ‘luas wawasan’ mereka, bisa menyebutkan pulau-pulau yang dekat berada di seberang sana. Akupun jatuh pingsan tak mengira ada saja kejadian yang sungguh menginspirasi, cerdas, jauh di atas kalkulasiku yang rata-rata.

 

  Ganti hari, ganti pelajaran. Hari lain kuajarkan Matematika. Kuajarkan bilangan empat angka dengan indikator yang sangat sederhana. Outputnya hanya meminta mereka benar dalam membaca dan benar dalam menuliskannya. Tiga hari berjalan tetap dengan indikator yang serupa. Ku berikan pemanasan, namun tetap saja tak kunjung memberikan harapan yang nyata ada. Sudah diterangkan mulai dari penjabaran konsep, games sate angka, belajar mencari harta karun tetap saja hasilnya nihil semata. Hanya beberapa saja yang tampak sudah bisa mengikuti pola iramanya.

 

  Menulis saja sulit apalagi membacanya. Kuubah menjadi tugas rumah dengan copy-an gambar empat angka yang kubagikan satu per satu, adil, sungguh merata. Angka 4 sebagai ribuan harus diberi warna biru, angka 5 sebagai ratusan harus diberi warna merah, angka 8 sebagai puluhan harus diberi warna kuning dan angka 6 sebagai satuan harus diberi warna hijau. Kuyakin perlahan semua pasti bisa, tinggal menunggu kapan waktu menuai itu tiba.

 

  Ternyata kenyataannya tidak semudah yang aku kira. Hanya empat orang yang mengumpulkan tugas, yang lainnya tidak menunjukkan sebuah tanda-tanda. Kau tahu kenapa? Ternyata di pulau ini tidak dijual pensil warna ataupun spidol berwarna. Hanya ada pulpen berwarna hitam atau pensil yang berwarna abu-abu. Tak kusangka pedagangpun malas menjajakkan dagangannya di pulau Selaru. Perantau-perantau itu tidak menjual dagangan berupa pensil warna, baju seragam atau hanya sekedar sepatu. Alhasil, menyebrang ke Saumlaki dengan kapal dausawk, baru semua kebutuhan itu dapat terpenuhi.

 

  Sekolahku. Inilah sekolahku. Inilah anak-anak bangsa yang jauh dari fasilitas serba ada yang dulu disediakan di tempat tinggalku. Tidak ada atlas untuk mengenal dunia. Tak ada atlas untuk mengenal Indonesia. Tidak ada atlas untuk sekedar melihat tempat kelahirannya. Mereka hanya dengar sebuah nama. Mereka hanya dengar sebuah negeri. Negeri yang membesarkannya. Negeri tempat kelahirannya. Negeri yang katanya bernama Indonesia.

 

  Anak-anakku. Inilah anak-anakku. Anak-anak yang terlahir di negeri yang bertumpah darah satu. Tanah air Indonesia. Ia tak beralaskan sepatu. Hanya mengenakan sandal kamar mandi dan baju seragam yang hanya berjumlah satu. Tak punya tas sekolah mewah. Tak punya tas bergambar kerajaan seperti tas anak lain yang bergambar ratu. Beberapa hanya mengenakan tas kresek, atau hanya memasukkan buku kedalam baju.

 

  Ragaku. Ialah ragaku. Ia hadir dalam setiap napasku. Ia hadir bersama mimpi-mimpiku. Mimpi-mimpi kami sebagai bangsa yang satu. Mereka hanya membaca buku PKn dan IPA yang masing-masing hanya berjumlah dua puluh satu. Mereka tak pernah merasakan pegang buku dengan pembagian satu per satu. Namun, dihati mereka kuyakin tetap ada bangsa yang satu. Bangsa yang selalu bantu-membantu. Bangsa yang dilahirkan bukan untuk menjadi bangsa pembantu. Bangsa yang satu, yang dipelajarinya dalam pelajaran bersama Ibu Guru. Bangsa yang ada dalam teks Sumpah Pemuda, yaitu  "Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia."

 

  Negeriku. Negeri yang kaya, makmur, sentausa. Negeri yang menjamin pendidikan dan anak-anak yang tak mampu untuk bersekolah. Negeriku yang mengepal genggaman jari anak-anak bangsa dalam genggamannya. Wahai negeriku, Selamat Hari Anak Indonesia!

 

*Selaru, 23 Juli 2011. Hari anak Nasional yang jatuh bertepatan dengan pelajaran PKn Kelas III, Semester 1, dengan Standar Kompetensi (Mengamalkan Sumpah Pemuda), Kompetensi Dasar (Mengenal makna satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa), dan dengan Indikator (Siswa mampu menyebutkan isi sumpah pemuda).


Cerita Lainnya

Lihat Semua