Perjalanan Anak Bangsa : Indonesia Mengajar (Chapter 6)

Ratih Diasari 5 September 2011

 

Langit telah menampakan warna merah, kuning, orange dan kejinggaannya saat sore padam yang tak pernah ku tahu apa benar sudah berganti dengan malam. Sudah lebih dari tujuh kali aku mengotak-atik angka yang tertera dalam jarum jam untuk mencocokkannya dengan langit saat terbit maupun temeram. Pagi yang masih tampak selalu gelap dan malam yang masih tampak selalu terang bercahaya. Memeriksa detak jarumnya berulang kali, seakan tidak pasti-pasti mendapatkan jawaban nyata tentang cuaca yang berjalan cepat, kian berganti tanpa tepat bisa dideteksi. Beberapa kali, aku merasa telah diperdaya oleh perubahan cuaca yang 'berganti-ganti'. Walau tidak begitu dengan sapaan lonceng gereja yang menyambut perubahan waktu dengan tetap bergerak pasti.

 

Lonceng gereja sudah berdentang dua kali dalam sehari. Lonceng pertama terdengar tepat jam delapan pagi, dilanjutkan lonceng kedua yang bersahutan tepat satu jam tadi. Biasa jika terdengar bersahutan di pagi-pagi. Pagi yang langka, pagi yang sunyi, karena hanya didapatkan setelah melewati waktu kerja yang padat selama enam hari. Dihari ini semua kegiatan pelesir dihentikan. Tidak ada lagi Kapal Dausawk ke Saumlaki. Tidak enak juga hilir mudik di depan gereja, bergerak kesana-kemari. Tepat pukul sembilan nanti, semua orang sudah harus duduk tenang untuk sembahyang. Mengagungkan nama Tuhannya, melantunkan lagu pujian.

 

Inilah keluarga dan lingkungan baruku, di desa Adaut, Kepulauan Selaru, Maluku Tenggara Barat. Ada 1. 118 KK yang beragama kristen, dan sisanya hanya 2 KK yang minoritas Islam. Disini tepatnya aku tinggal bersama dengan keluarga Kepala Sekolah yang masih mengasuh dua orang anak laki-laki yang masih belajar di Sekolah Dasar. Sebenarnya anak Me’tua ada empat orang, namun dua orang kakak perempuan mereka, secara berturut telah bekerja sebagai Guru Kimia di Saumlaki dan yang satu lagi masih bersekolah di Universitas Brawijaya, Malang.

 

Tinggal di lingkungan yang berpenduduk mayoritas, awalnya aku merasa gelisah, sungkan dan canggung. Dalam beberapa hal, aku canggung mengkomunikasikan soal makanan dan pakaian. Aku sungkan untuk selalu mengungkapkan bahwa seorang muslim itu memiliki beberapa kewajiban, seperti sholat, puasa, mengaji, atau wudhu dengan air yang harus selalu suci. Dan kadang akupun gelisah soal bagaimana seharusnya aku berkomunikasi.

 

Semua tindakanku sebagai seorang muslim tentu memiliki banyak implikasi. Kucontohkan satu hal seperti kewajibanku untuk berpuasa, pasti akan melibatkan Me'tua dalam menyiapkan makanan untuk sahur dan lekas berbuka. Tidak mudah. Kadang butuh moment yang tepat untuk sekedar berbasa-basi. Suasana desa yang sepi, kadang juga membuat hatiku merasa sepi. Tidak ada masjid disini untuk sekedar mendengar ceramah atau sedikit berbagi. Yang ada hanya empat gereja ditambah pembangunan gereja yang begitu besar yang akan diresmikan pada bulan Juli 2012 nanti.

 

Kuakui, bahwa aku masih meraba-raba bagaimana seharusnya beradaptasi. Walau seiring jalan, Allah mudahkan dengan beragam cara yang jauh bervariasi. Allah tak ingkar untuk memudahkan para hambaNya yang sabar melewati! Kuncinya, Allah karuniakan kepadaku keluarga yang jauh lebih mengerti.

 

Latar belakang keluarga ini cukup lama hidup di Banda sebagai daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, sebelum mereka memutuskan untuk pindah ke Pulau Selaru karena konflik agama pada beberapa silam tahun yang lalu. Memulai hidup tanpa apa-apa dari awal, merajut mimpi dengan optimis bahwa lusa akan tercapai. Itulah sirat mata yang kutangkap, saat mereka menceritakan perjuangannya di Banda dulu. Hidup di Banda selama 19 tahun, memberikan pengalaman berharga bagi keluarga ini untuk menerimaku dengan baik. Memberikan tempat ternyaman untuk tidurku, menjaga makan-minumku, bahkan Bapak membuatkan gentong wudhuku agar aku senantiasa bersuci dengan air yang selalu suci.

 

Pengalaman pahit terhadap binatang juga membuat rumah kami bersih dari segala najis kotoran. Disini aku selalu makan ikan, jika tak dapat makan ikan sampai petang, biasanya me'tua akan memasakkan telur dadar. Begitu, dan selalu terus begitu. Tak ada babi, tak ada ayam hutan (red:kodok), tak ada penyu, tak ada hewan aneh yang hinggap di meja makan kami.

 

Pernah suatu ketika Bapak dan Me’tua tidak enak selalu memberiku makan ikan, maka kadang Bapak mengkombinasikan dengan ayam potong yang dibelinya dari Saumlaki. Walau kemudian aku jelaskan kepada Me'tua bahwa aku tidak bisa makan ayam potong karena keharusan pengucapan Basmallah saat memotong ayam, untuk mendapatkan kehalalan bagi kami yang memakannya. Mereka kemudian mengerti, dan kembali fokus pada penyediaan ikan untuk makan-makanku dalam sehari.

 

Bapak dan Me’tua selalu mengingatkanku untuk jangan sungkan jika perlu apa-apa atau hanya sekedar ‘bercerita’, karena cerita bisa menjadi pembelajaran bagi siapapun yang mendengarkannya. Kata-katanya biasa namun bak kelapa yang jatuh tepat di atas kepala. Bukan mereka yang harus banyak belajar dariku, melainkan akulah yang harus memulainya lebih dulu untuk mengambil banyak pelajaran dari keluarga ini. Banyak kebaikan yang bisa aku gali dari rumah yang jauh ini. Banyak kado istimewa yang belum aku temukan dalam sudut keluarga yang sederhana ini.

 

Satu contohnya adalah tentang makna ketaatan. Keluarga sederhana ini adalah cermin keluarga yang kompak ketaatannya. Berada dalam keluarga yang taat beribadah, terkadang membuatku malu jika lengah sedikit saja untuk habiskan waktu yang tiada berguna. Keluargaku disini, hampir semua personilnya begitu taat sembahyang ke gereja. Gambarannya mungkin sama dengan muslim taat yang selalu sholat wajib dan sunnah tak lupa sembahyang tahajud dan bergerak untuk sekedar dhuha. Taat dengan yang taat, Allah memang selalu menakdirkan begitu. Dan kau tahu, terkadang aku malah belajar tentang konsep ketaatan itu dari mereka.

 

Pionir ketaatan di rumah ini dimulai dari anak mereka yang paling besar, bernama Acih. Ya namanya Acih. Beliau adalah salah satu pemudi yang aktif dalam gerakan gereja dan sekolah. Selama ia disini tepatnya satu bulan sebelum pengangkatan Guru Honorer ke Guru PNS, dalam setiap harinya Acih selalu tidur larut malam. Kalau tidak jam 2 malam maka jam 4 pagi. SELALU BEGITU. Jangan ditanya apakah aku malu atau tidak pada kesungguhan beliau setiap harinya.

 

Agendanya beragam, yang jelas bobotnya adalah melaksanakan tugas perbantuan. Tepatnya membantu pekerjaan apapun yang dimintatolongkan orang lain kepada dirinya. Mulai dari mengetikkan surat, mengetikkan sebuah rancangan dan laporan, mengetikkan pembelajaran sekolah, mengetikkan tugas teman-teman guru yang lain, ngeprint ratusan foto anak-anak sebagai syarat masuk, ngeprint foto pesanan warga sebagai permintaan bantuan, dan banyak tugas perbantuan lainnya yang tak jauh seputar itu. Belum lagi tugas-tugasnya sebagai penanggung-jawab mading gereja dan Ketua Perkemahan Persaudaraan Gereja di Pulau sebelah. Apapun yang disuruh dan diamanahkan kepadanya, selalu ia kerjakan. Tak pernah ia menolak. Ia selalu bersungguh-sungguh mengerjakannya. Mungkin ini yang dimaksud dengan ketaatan yang memunculkan jiwa ketulusan! Memperhatikan wajah, harta dan kedudukannya menjadi tidak penting andai seluruh pulau ini tahu siapa dirinya, karena seluruh hatinya telah memancar cermin kebaikan pada segenap insan tetangga sebelah kanan-kirinya.

 

Orang kedua yang bisa kucontoh ketaatan itu adalah ibunya. Biasa kami sapa disini dengan sebutan Me'tua. Beliau adalah gambaran satu dari jutaan ibu penyayang yang begitu sayang kepada keluarganya. Beliau senantiasa memperingati anak dan suaminya jika melakukan tindakan yang tidak sewajarnya. Bukan cuma penyayang, beliau adalah seorang ibu yang sungguh peka terhadap keadaan di sekitarnya. Mencuci berbak-bak pakaian, membersihkan berkali-kali lantai rumah yang kotor karena kuatnya angin yang membawa taburan pasir, memastikan semua kebutuhan makanan, semua ia lakukan tanpa sedikitpun pernah mengeluh beratnya beban kehidupan.

 

Berusaha mencukupi keuangan suaminya dengan berjualan es mambo yang ditaruhnya di toko dekat pelabuhan, tidak membuatnya malu hati dengan pekerjaan itu. Tak pernah sedikitpun ia membiarkanku lemas kelaparan. Tak pernah sedikitpun ia meninggalkanku mati kesepian. Ada saja cerita yang beliau bagi padaku, sehingga membuatku kaya akan pengalaman. Kami memang berbeda agama, namun jika saur maupun berbuka ia selalu menyiapkan makanan agar aku tak sakit karena padatnya berbagai agenda. Me'tua senantiasa menyediakan makanan tanpa aku merasa khawatir akan kekurangan gizi dan lauknya yang habis karena dimakan oleh anak-anaknya. Beliau percaya bahwa jika baik pada orang yang menginap ditempatnya, insyaAllah Tuhan akan memberikan balasan serupa kepada anaknya yang ada di perantauan sana.

 

Akhlaknya baik. Akhlaknya bersih. Ia tidak sepakat dengan mabuk-mabukan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat sini. Beliau adalah tempatku berkeluh kesah, setelah doa dan pengharapan yang biasa aku sampaikan pada Allah semata. Belajar dari keluarga ini membuatku merasakan hikmah, bahwa Allah sebenarnya masih membimbingku untuk senantiasa belajar dari paparan alam dan perbuatan orang lain untuk mendekatkan diriku padaNya.

 

* Selaru, 19 Agustus 2011. Aku yang iri dengan dekatnya keluarga ini pada Tuhannya. Jika kau lebih dekat denganNya bisakah kau sampaikan kerinduanku padaNya? Kau tahu? Aku rindu sekali dengan Allah. Aku rindu suasana ketika bersama orang-orang yang sholeh/sholehat. Ingin aku berdoa lamat-lamat bersama mereka memuja namaNya dalam istana rumah kami yang jauh disana. Jika bisa kumohon, ingin sekali aku kesana, ke rumahNya yang terserak di kota sana. Sehari saja bersama Qur'an di rumahNya. Sehari saja belajar dan mengamalkan apa yang diajarkan oleh Al-Qur'an di rumahNya. Andai saja itu bisa. Tapi sayangnya itu hanyalah angan belaka yang tidak bisa kugapai, dalam waktu yang kerlip seketika.

 

Merasakan langsung sungguh jauh lebih indah dari sekedar membayangkannya. Walau aku tentu harus tetap bersyukur masih diberikan gambaran jelas bagaimana harus membayangkannya.

 

Membayangkan muka-muka ahli surga yang begitu serius mendengarkan ceramah ustad/ustadzah di televisi saat sahur dan berbuka. Membayangkan kebersamaan berbagi makanan dengan anak yatim/kerabat dengan niat tulus ikhlas hanya mengharap ridhoNya. Membayangkan shalat-shalat yang begitu khusyuk dengan rajin mengulang, melafalkan ayat-ayatNya. Membacanya begitu terbata, melafalkannya terisak sedih membuat mulut seakan tak sanggup untuk sekedar bicara sepatah dua kata.

 

Aku iri,

Tak kuat membayangkannya jauh sendiri disini,

 

Jika imam sholat terbata, sebagai makmum kurasakan beberapa diantaranya tak sungkan-sungkan menangis, menitikkan buliran-buliran air mata. Tak mampu mencegah kedua mata untuk tidak berkaca-kaca. Suara yang kemudian keluar dari tenggorokan terdengar sangat serak, sendu mengharukan bagi setiap orang yang mendengarkannya. Namun itu hanyalah khayalanku yang sekejap saja. Bayangan yang menghadirkan kalian dalam sholat-sholatku yang tidak ada apa-apanya. Aku hanya berharap jika engkau bertemu denganNya, tolong sampaikan bahwa aku sangat jauh merindukanNya. Jika kau lebih dekat denganNya, aku berharap engkau sampaikan kerinduanku padaNya


Cerita Lainnya

Lihat Semua