Perjalanan Anak Bangsa : Indonesia Mengajar (Chapter 7)

Ratih Diasari 5 September 2011

“Jika sudah tiba saatnya aku bertemu dengan anak-anak ini,  Ingin rasanya kuteriaki waktu,  Kenapa begitu cepat berlalu,  Ingin kumaki ambisi,  Kenapa memaksaku berada sejauh ini,  Ingin kuhentakkan samudera,  Kenapa mematok layar jauh di luar jangkauan kami semua,  Sadarkah anak-anak ini, aku juga khawatir dengan keadaan mereka!?  Sadarkah anak-anak ini bahwa aku juga merasakan hal yang sama dengan mereka!?  Aku malas bicara,  Agak malas juga untuk mengatakan di depan mereka,  Tidak bisa kah kalian menebaknya?  Aihhhhh, kalian ini.......  Tak perlulah untuk dibahas.  Aku juga RINDU, pambodooo!”

  Awalnya aku menyangka, dengan sekejap mereka akan kutemui di Kota tepat pada tanggal dua puluh tiga. Perkiraan waktu yang 'matang', karena pada tanggal itu kapal ferry sudah berlayar selama satu bulan melewati pulau-pulau di Maluku Tenggara Barat (MTB) sampai akhirnya kembali lagi berlayar melewati pulau singgah penempatan Pengajar Muda (PM) MTB, yaitu Pulau Molu (untuk pergi ke desa Molumaru dan desa Adodomolo), dan Pulau Larat (untuk pergi ke desa Lamdesar dan desa Labobar).

Ini adalah pertemuan pertama kami, paska pelepasan yang sudah terlalu lama dibanding pelepasan 62 PM lainnya. Pelepasan kami terlalu lama, karena tidak ada kejelasan kapal untuk membawa kami berpencar kemana-mana. Angin timur menghempaskan gelombang, menunda perjalanan kami sampai akhirnya pada tanggal inilah seharusnya dilakukan pertemuan pertama sebagai uji coba sukses/tidaknya perencanaan kami pada minggu-minggu sebelumnya.

  Ada tujuh orang pengajar muda yang diterjunkan di MTB, dengan persebaran daerah yang saling berjauhan. Tidak ada sinyal di masing-masing daerah maupun alat penyambung komunikasi (red: nelayan) yang secara berkesinambungan dapat mengabarkan keadaan kami. Kami disebar di pulau-pulau kecil yang sama sekali dipisahkan oleh lautan. Tepatnya untuk mengunjungi daerah penempatan, kami harus menyebrangi Laut Arafuru menggunakan kapal ferry atau ketingting dengan bayang-bayang akan selamat atau mati karena ombak yang selalu berayun tinggi. Banyaknya lekuk pulau yang membentuk selat, kadang juga memperpanjang rute perjalanan kami, karena harus berputar untuk pergi ke pulau yang sekedar ada di belakang.

  Gambaran geografis desa kami sangat beragam. Disini kami tersebar kedalam tujuh lokasi, dengan dua lokasi diantaranya tidak tercantum letak keberadaannya di peta Indonesia. Aku dan Arum di Pulau Selaru, Dissa di Pulau Yamdena, Dedi dan Bagus di Pulau Molu, Matilda di Pulau Larat, dan Sandra di Wuar Labobar yang akhirnya dipindahtugaskan karena sakit ke Pulau Wunlah. 

Untuk kebutuhan kordinasi kami membaginya kedalam Anak Arafuru Bawah (Aku, Arum dan Dissa) dan Anak Arafuru Atas (Matilda, Sandra, Dedi dan Bagus). Beda dikeduanya adalah kalau Anak Arafuru Bawah tidak perlu menggunakan kapal ferry jika ingin berkordinasi ke kota, cukup dengan ketingting atau bus. Dan Anak Arafuru Bawah tidak terkendala waktu jika ingin pergi ke kota, kapanpun bisa kecuali hari Sabtu dan Minggu, karena pada hari ini tidak ada kapal. Beda dengan Anak Arafuru Atas yang terpatri dengan jadwal kapal ferry jika ingin turun ke kota. Dua minggu sekali, dengan hari keberangkatan yang tidak pasti membuat Anak Arafuru Atas berpikir dua kali untuk pergi satu bulan sekali untuk sekedar berkordinasi.

Anak Arafuru Bawah terdiri dari aku, Arum dan Dissa. Aku ditempatkan satu pulau dengan Arum di Pulau Selaru, sedangkan Dissa ditempatkan tersendiri di Pulau Yamdena, satu pulau dengan ibukota MTB, yaitu Saumlaki. Walau aku dan Arum ditempatkan dalam satu pulau, tetap saja akses kami sangat sulit untuk sekedar bertemu. Arum ditempatkan di Desa Werain, sedangkan aku di Desa Adaut. Untuk mencapai ke Desa Werain, Arum memiliki dua pilihan perjalanan yang menurutku keduanya sama-sama melelahkan. Opsi perjalanan pertama adalah perjalanan laut Saumlaki-Werain yang dapat ditempuh dengan estimasi waktu 4-5 jam, sedangkan opsi kedua adalah perjalanan laut Saumlaki-Adaut dengan estimasi waktu 2-3 jam yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat ± 2 jam dengan naik ojeg seharga Rp. 150.000,-. Biasanya Arum memilih perjalanan menuju desaku dulu, sebelum ia melanjutkan ke Werain. Perjalanan laut ia hindari, karena jadwal keberangkatan yang tak pasti dan sungguh membuat kepala pusing, badan pegal-pegal serta muntah yang tak sekedar muntah, karena seluruh makanan bisa keluar karena hembusan ombak yang benar-benar tinggi.

Jika Arum telah sampai di Adaut, biasanya kami pergi bersama-sama meneruskan perjalanan laut untuk pergi ke kota. Untuk sampai ke kota, kami wajib menggunakan ketingting dengan alokasi perjalanan 2-3 jam berlayar melewati Laut Arafuru. Ya, Laut Arafuru. Mau tidak mau kami harus menyebrangi laut Arafuru, karena kepulauan Selaru berbatasan sebelah utara dengan Selat Egron (Tanimbar Selatan), sebelah barat berbatasan dengan Laut Arafuru, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru, dan sebelah timur juga berbatasan dengan Laut Arafuru. Pulau kami dikelilingi Laut Arafuru. Jadi, mau tidak mau kami harus menyebrangi Laut Arafuru. Ketika menyebrang, tepatnya kami juga harus melewati pulau-pulau kecil, seperti Anggormase, Pulau Nuyanat, Pulau Batbual, Pulau Batkawat, dan Pulau Nustabung. Entah apa isinya pulau-pulau kecil itu, yang jelas buaian ombak sudah cukup membuat kami berkonsentrasi pada perut kami yang menari, berlari, naik-turun, mual, dan rasakan kegetiran makanan yang selalu tertumpahkan dalam perjalanan keberangkatan.

  Untuk menyebrang biasanya kami menggunakan ketingting dengan kapasitas muatan ± 50 orang. Ketingting yang membawa kami biasa berangkat sekitar pukul 9 pagi, namun kami harus bersiap-siap di pelabuhan dari jam 7 pagi, karena akan baku cepat untuk mencari tampat. Tempat duduk sangat penting agar kami tidak serta-merta langsung muntah karena hempasan gelombang laut yang tingginya bisa mencapai 3 meter. Besaran kapal yang kecil, dengan muatan penumpang yang begitu banyak kadang membuat kapal condong lama ke kanan atau doyong lama ke kiri. Tidak ada pergerakan yang pasti. Jumlah ketingting yang hanya satu, dan hanya berangkat satu kali dalam sehari, membuat posisi tempat duduk begitu berpengaruh. Di belakang dekat dengan bukaan terpal adalah posisi yang biasa kami ambil, takut-takut kapal terbalik sehingga kami bisa keluar untuk menyelamatkan diri.

  Perjalanan kami tentu berbeda dengan perjalanan Dissa yang dapat menggunakan alat angkut darat, berupa bus untuk pergi menuju Kota. Dissa ditempatkan di Desa Lumasebu, Kecamatan Kormomolin yang berada satu pulau dengan Ibukota MTB, yaitu Saumlaki. Karena satu pulau, maka perjalanannya dapat ditempuh dengan menggunakan bus. Dissa biasa menggunakan bus Lumasebu yang terkenal full music. Biasa kalau alat angkut darat menyetel musik keras-keras untuk sekedar "membahagiakan penumpangnya". Terkadang kencangnya suara musik bus disini dapat memekakkan telinga dan "membuat tuli seketika" bagi orang pertama yang mendengarnya. Sebenarnya wajar berdegup kencang, karena perjalanan darat begitu lama hampir sekitar 4-5 jam untuk sekedar sampai ke Kota.

  Itulah gambaran Anak Arafuru Bawah dalam keberangkatannya menuju Kota. Semua tampak luar biasa dan sungguh berkesan bagi kami walau tak seberapa dengan gambaran Anak Arafuru Atas untuk mencapai kota.

  Untuk mencapai kota, Anak Arafuru Atas menggantungkan diri pada jadwal ferry yang seharusnya berangkat setiap dua minggu sekali. Tak ada hari pasti keberangkatannya untuk berlayar kesini. Yang jelas seharusnya berangkat setiap dua minggu sekali. Perhitungannya, jika ferry datang dua minggu sekali maka mau tidak mau mereka harus menunggu kapal ferry dua minggu lagi untuk kembali ke daerah penempatan. Jika rutin dilakukan setiap bulan, maka hitungan matematisnya mereka akan di kota selama dua minggu dan kembali lagi mengajar selama dua minggu. Rencana ini tentu tidak bisa kami wujudkan. Alhasil kami sepakat tidak setiap bulan kami bertemu, namun tergantung perayaan-perayaan besar saja, kami akan berkumpul di kota. Tapi kapan? Ini dia yang tidak pernah kami putuskan. Lagi-lagi terkendala karena jadwal perjalanan ke kota dengan ferry yang tidak pernah ada kejelasan.

  Terakhir kali kami bertemu adalah pada akhir bulan Juli. Kami tidak berkumpul semua menjadi satu, melainkan kami hanya berkumpul satu-satu dan kembali lagi satu-satu tanpa pernah berkumpul bersama. Di pertemuan kali ini, kami tidak berkumpul pada tanggal dua puluh tiga. Penjadwalan yang sebelumnya kami lakukan seperti hembusan angin yang datang dengan percuma. Pada waktu itu aku datang setelah dikabarkan harus segera beranjak pergi ke kota, karena tiba-tiba kedua temanku sakit terinfeksi gejala endemik, bernama malaria.

  Kebetulan kedua temanku yang sakit ini adalah Anak Arafuru Atas. Mereka adalah Bagus dan Sandra. Bagus merupakan PM MTB yang ditempatkan di Desa Adodomolo, Pulau Molu dan Sandra yang ditempatkan di Desa Labobar, Pulau Larat. Untuk ke kota, mereka (red: Anak Arafuru Atas) tentu harus menggunakan kapal ferry untuk sampai ke sini. Namun sayangnya pada waktu itu, kapal ferry dikabarkan telat singgah di pulau-pulau mereka, entah karena alasan apa. Keadaan Bagus yang sakit di daerah penempatan tanpa ada sinyal tentu tidak diketahui PM MTB yang lain pada saat itu. Dedi yang ditempatkan satu pulau dengan Bagus, di Pulau Molu untungnya masih bersama Bagus, karena tidak bisa mencapai daerahnya (Desa Wedankou) karena ombak yang terus tinggi hingga mencapai 5-6 meter. Bayangkan sudah dua minggu berjalan paska penempatan kami, ternyata Dedi masih belum bisa mencapai daerahnya karena ombak yang terus tinggi. Kapal ferry yang belum tiba, juga memperparah kondisi Bagus di daerah pada waktu itu.

  Di lokasi yang berbeda, keadaan Sandra juga jauh mengkhawatirkan. Ia sudah lama sakit lebih dari seminggu. Ia demam diiringi dengan badan yang menggigil kedinginan di desanya, Labobar. Antibiotik dan paracetamol yang dibekali oleh Indonesia Mengajar sudah dilahapnya habis, tak bersisa. Daerahnya tak bersinyal. Ombak yang tinggi juga membuat nelayan tak berani untuk menyebrang dan sekedar mengabarkan ke daerah yang letaknya di pulau seberang. Tak satupun kami mengetahui kabar satu PM dengan PM lainnya walau kami masih sama-sama ditempatkan dalam kabupaten yang sama, yaitu Maluku Tenggara Barat. Perubahan waktu tak mengubah keadaanya, seperti itu dan terus bergulir seperti itu. Sampai pada akhirnya, pertolongan Allahpun datang menyelamatkan mereka.

  Motor boat Bapak Kepala Dinas entah ada urusan apa tiba-tiba datang ke Desa Lamdesar Barat, daerah penempatan Matilda. Matilda bergegas pergi, tak lupa mengunjungi daerah Sandra untuk mengajaknya segera ke Kota untuk tujuan berkordinasi. Pikirnya karena tidak ada kapal ferry, maka Sandra akan terkejut jika Matilda menjemput Sandra secara tiba-tiba di Labobar. Namun, sesampainya di Labobar Matilda seakan mimpi. Ia bersama Kepala Dinas-lah yang terkejut melihat terbaringnya Sandra yang sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa. Sandra tekulai lemas tak berdaya, menggigil karena demam yang rasanya sudah lama menjangkiti tubuhnya. Tak berpikir panjang, merekapun segera membawa Sandra ke Kota alih-alih bisa langsung tertangani oleh dokter jaga di kota sana.

  Namun, dalam perjalanan membawa Sandra ke Kota dengan motor boat ternyata juga tidak semulus yang dibayangkan. Perjalanan tak mudah seperti apa yang dipikirkan. Kapal boat mereka tiba-tiba karam, tak bisa dinyalakan, mati begitu saja di tengah lautan dan terpaksa mereka terombang-ambing tanpa satupun ada tanda-tanda datang pertolongan. Tak bisa apa-apa, selama kurang lebih satu jam, akhirnya seperti mimpi pertolongan Allahpun datang lagi untuk menyelamatkan mereka yang saat itu sedang menunggu datangnya bala bantuan.

  Dari kejauhan terlihat kapal ferry tiba-tiba datang padahal berita sebelumnya mengabarkan bahwa kapal ferry terlambat datang karena adanya suatu hambatan. Seketika merekapun melambai-lambaikan baju isyarat meminta sebuah pertolongan. Kapal boat Kepala Dinas yang bermuatan empat orangpun akhirnya ditarik dengan Kapal Ferry yang jauh lebih besar kekuatannya untuk bisa mencapai kota selama 12 jam perjalanan. Mendengar hal ini, awalnya akupun merasa seperti ada dalam sebuah dongeng masa lampau. Bermimpi sedang hidup dalam film-film barat, adegan petualangan pada zaman di awal kemerdekaan. Namun, kemudian aku tersadar bahwa inilah kami yang sedang berada dalam alunan nyanyian kemerdekaan. Enam puluh enam tahun merdeka, ternyata tak cukup membuat bangsa ini merasakan apa yang dinamakan 'kelayakan'.

  Aku bersyukur pada Allah karena diberikan karunia untuk turut merasakan. Merasakan perjuangan masyarakat untuk mengarungi hidup yang berada di ambang batas penalaran. Selalu bersyukur padaMu karena selalu diberikan pengetahuan. Pengetahuan yang tidak hanya tertuang secara teoritis dalam Pasal 25 Undang-undang Dasar, bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang". Terima kasih ya Allah, kami diberikan keselamatan. Keselamatan untuk mencari tahu gambaran nyata tentang lekak-lekuk sebuah negara kepulauan.

  * Memasuki bulan ketiga ini, tak pernah lagi kulihat teman-teman PM MTB-ku berkumpul bertemu menjadi satu. Hanya mampu mengira-ngira, semoga kalian tetap kuat dan tetap dalam kondisi yang baik-baik saja.

  NB. Puisi terinspirasi dari catatan bebas Lily Oktari (Hkm UGM '05). 


Cerita Lainnya

Lihat Semua