Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 8)

Ratih Diasari 7 November 2011

Mataku dan matanya tiba-tiba basah. Satu per satu bulirannya keluar dari bola mata yang seharusnya berdendang tak pikirkan kesulitan yang ada di depan mata. Tak tahu mengapa semua bendunganku tentang anak-anak meledak di depan mereka. Bocah kecil beranjak dewasa yang kupaksa mendengar nasihat dini seorang guru yang beranjak tua. Air mata kami semua mengalir deras. Tumpah ruah, membisu, menunduk, sedekap tanpa suara. Hari ini kukabarkan, anak-anak tidak akan bertemu denganku selama beberapa minggu lamanya. Petuahku agar rajin belajar, rajin membaca dan selalu berbuat baik rasanya begitu hambar untuk dirasa. Harapan yang masih semu memaksaku bergerak tinggalkan sekolah yang masih mengeram pada perkalian bilangan dua.

 

Kami, anak arafuru bawah dituntut keadaan untuk mengambil keputusan yang selalu harus segera. Keberadaan kami yang hanya bertiga tak dapat dielakkan memang menyulitkan setiap gerak-gerik yang ada. Tiga orang pengajar muda yang ada disini, tentu tidak akan dapat merepresentatifkan masalah pendidikan pada tiap daerah penempatan yang ada. Tak pernah berkumpul sekaligus bertujuh, membuat kenampakan isu besar yang akan kami galang menjadi gamang. Gagasan besar tentang pendidikan di kabupaten akan semakin melemah, sejalan dengan begitu lambannya eksekusi gagasan yang cuma terpendam ada di dalam pikiran. Kami tentu harus bertemu dan mengambil sebuah keputusan. Tapi bagaimana caranya? Terjangan ombak yang begitu tinggi membuat surat yang kami titipkanpun tak mampu sekedar menyebrang ke pulau seberang. Ikut berlayar untuk menyambangi pulau seberang, akhirnya merupakan pilihan yang kami ambil agar bisa dapatkan jawaban.

 

Mulai mengendepankan logika, mengubur kenangan bersama anak-anak di sekolah.  Keadaan ini membuatku bisu, kaku, sekejap tak bisa katakan apa-apa. Berusaha sekuat tenaga untuk mematikan semua rasa yang ada. Rasa yang telah kubangun bersama mereka, kubekukan hingga kupastikan semua telah mati rasa. Perasaan ini kubuat mengeras agar optimal gencarkan masyarakat saat keberadaanku yang tak banyak ada di kota.

 

Tak lama aku meninggalkan mereka, sore harinya aku sudah naik kapal ferry untuk pemberangkatan menuju sebuah desa yang bernama Wunlah. Pulau kedua setelah Sera dengan waktu perjalanan tiga belas jam dengan arungi samudera. Cukup jauh seperti perjalanan Yogya-Jakarta yang mampu kusambangi waktu itu hanya dengan kereta. Ombak yang terus berayun, mau tidak mau membuat kami tak hentinya untuk terus berdoa. Sebuah misi untuk menjemput pengajar muda, mengajak mereka rapat di Larat, mengambil sebuah kesepakatan, dan yang terpenting memastikan semua PM tahu apa tugas besar yang harus mereka perbuat. Hanya mengitari daerah pengajar muda dan kembali dengan hasil yang kami peroleh dari tujuh kepala.

 

Dalam perjalanan, sebenarnya kami juga tak tahu dimana alamat para pengajar muda. Tak ada bayangan sebelumnya dimana tepatnya mereka berada. Hanya berbekal SD Kristen Wunlah, SD Kristen Adodomolo, dan SD Kristen Wadankou, kami nekat melakukan perjalanan dengan semangat optimis esok akan dipertemukan dengan cara yang telah diatur olehNya. Tidak ada makanan yang disediakan oleh kapal selama perjalanan. Tidak juga ada pelabuhan untuk sekedar berhenti, menambah makanan untuk perbekalan. Perjalanan yang harus disambung dengan menggunakan sampan, mau tidak mau harus kami persiapkan sebelum menyambangi daerah penempatan.

 

Lamanya perjalanan membuat kami hanya bisa keluar masuk melihat eloknya pesona keindahan alam. Burung pelikan yang bertebar ke atas dan ke bawah, terlihat berkepakan membentuk formasi yang terbayang indah ada di tengah lautan. Beberapa kali tergambar seakan daerah ini tersebar dengan banyak ribuan pulau. Beberapa tertutup awan, sehingga hanya tampak ujung-ujung warna hijau terserak embun dikejauhan. Adapula pulau yang berwarna biru seperti lautan. Penampakannya mungkin tergambar mirip seperti ada di negeri khayangan. Sayangnya di peta tak ada, kalaupun ada juga akan sulit mengenali ini pulau yang mana.

 

Begitu lamanya perjalanan menuju Wunlah, tak kusangka hari ini aku masih teromabang-ambing berdesir bersama ombak, penguasa lautan. Menikmati riaknya yang kuat. Tubuhnya yang memang benar besar. Sayapnya yang memang benar mengalun-alunkan. Berdesir begitu ramai. Bergantian, serasa bebas tanpa tanggungan. Ia begitu lincah, ternyata tak sama dengan ombak yang biasa ada di bawah. Kadang ia di atas. Kadang ia menyamping. Namun kadang ia juga menggulung ke bawah. Kadang ia menari tinggi. Menguat, kemudian pecah. Namun, beberapa kali ia juga bisa tenang. Suaranya lirih, namun kadang bisa juga ia marah. Tentu tidak memiringkan kami yang saat itu berada di dalamnya. Dibarengi dengan efek angin laut, aku hanya bisa terus bersyukur dengan kenikmatan yang selalu datang tiba-tiba.

 

Pukul 04.00 WIT waktu subuh, akhirnya sampai juga kami di pulau Wunlah. Lima belas jam perjalanan hanya sekedar menjemput satu orang pengajar muda. Hanya satu jam, kami diberikan waktu oleh Komandan Ferry untuk menjemput Sandra. Dengan modal waktu yang terbatas, kamipun pergi dengan perlengkapan elektronik yang dibabat seadanya. Perlu dibabat takut-takut sampan terbalik dan menenggelamkan alat komunikasi yang saat itu sekedarnya kami bawa. Turun dengan life vest berwarna orange, sungguh mencolok beberapa mata masyarakat yang saat itu sedang tidur di geladak bawah. Balasan mata kami yang tetap lurus kedepan mencari sampan adalah usaha kami agar bisa cepat menjemput Sandra yang kami bayangkan sedang tidur-tiduran. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Sungguh Allah telah merencanakan, tanpa menyusahkan kami untuk merasakan. Dari sudut yang tak pernah kami sangka, Sandrapun muncul dari keramaian orang-orang yang berdesakan ingin menaiki sebongkah sampan. Satu drigen besar dalam genggamannya ditambah tas backpacker besar dengan tujuan ke Larat, ia rencanakan untuk membeli solar dan printer untuk sekolah. Kaget dan penuh syukur Sandra kami dapatkan. Segera kami bawa ke anjungan untuk kami transfer agenda mendesak yang harus dilaksanakan.

 

Tujuan kedua kami adalah Pulau Larat. Pulau yang harus kami singgahi untuk menjemput pengajar muda kedua bernama Matilda. Butuh waktu sekitar tiga sampai empat jam untuk menuju kesana. Berbeda dengan keadaan Sandra, Teman kami Matilda sudah lebih dulu beruntung mendapatkan kabar burung bahwa kami akan kesana. Tentu masih dalam suasana kebetulan. Matilda menerima pesan kami tanpa pernah diduga sebelumnya. Ia menerima pesan singkat, saat tak sengaja pergi ke desa sebelah. Alhasil iapun segera mengabarkanku dan siap pergi ke Larat menunggu kami datang dengan mengenakan speedboat.

 

Di Larat, lima dari tujuh orang pengajar muda telah kami kumpulkan. Sisanya tinggal dua lagi yang masih ada di daerah penempatan. Mereka ditempatkan di Pulau Molumaru. Pulau terjauh yang hanya disinggahi kapal ferry dalam dua minggu sekali. Pulau buangan yang kata kebanyakan orang mirip Nusakambangan. Perjalanan kami ke Molumaru diagendakan akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam. Melewati ombak yang tinggi, maka tak jarang banyak orang meninggal hanya sekedar untuk menyebrang. Beberapa menit lagi, kata bapak komandan kami akan segera sampai ke pulau Molu. Waktu yang diberikan hanya satu jam untuk menjemput pengajar muda yang ada di pulau ini. Tak ada pelabuhan, maka kami harus siap dengan life vest menggunakan sampan.

 

Kapalpun kemudian berhenti. Dari kejauhan aku melihat pulau yang seakan sama seperti yang kulihat di layar TV. Gambaran pulau seperti dalam film “Case Away” dan gambaran burung-burung pelikan yang begitu besar sama seperti binatang di film “Dinosaurus”. Entah mengapa sesampainya kami di Pulau ini, aku malah menangis. Mungkin aku terharu dengan kebesaran yang diberikanNya pada masyarakat Molumaru.

 

Pulau Molumaru menempatkan Bagus pengajar muda di Desa Adodomolo dan Dedi pengajar muda di Desa Wadankou, lebih jauh 8 Km dari Adodomolo. Di pulau ini hanya ada 5 SD, 1 SMP dan 1 SMA yang baru dibentuk sekitar enam bulan yang lalu. Tak ada guru yang mau mengajar pergi jauh ke daerah ini. Miskin ikan dan miskin peradaban menjadi alasan yang cukup bagi masyarakat Tanimbar untuk tidak hidup jauh-jauh. Baru sekarang-sekarang saja dengan penempatan Camat yang baru, masyarakat pulau ini diperkenalkan bagaimana harus survive hidup di Molumaru. Bapak Camat, ibu camat, pengajar muda bersama dengan ibu PKK adalah guru bagi anak-anak di pulau ini. Tidak ada guru disini. Maka secara bergantian pengajar muda, camat beserta stafnya mendidik anak-anak disini untuk mau bermimpi jauh.

 

Untuk ke Adodomolo, Bagus harus menjemput Dedi dengan berjalan melewati hutan dan tebing selama 4 jam. Perjalanan yang tak mudah, karena belum ada pembangunan diantara kedua desa tersebut. Dengan jalan tergesa-gesa, merekapun berlari dengan terengah, sampai baju menjadi basah. Mereka terlihat kepayahan. Sampai tak tega sebenarnya aku menatap ke arah mereka. Aku beserta empat pengajar muda yang lain mungkin juga tak kuasa harus mengajak mereka ke Larat, meninggalkan anak-anak yang sedang giat-giatnya mendekat. Berunding sejenak untuk rapat dan membicarakan hal apa yang akan kami lakukan untuk memajukan pendidikan di Maluku Tenggara Barat.

 

Seperti kata yang kudapat dari Bambang Pamungkas dalam catatannya, bahwa batu karang memanglah sangat keras, akan tetapi dapat terlubangi juga oleh tetesan air dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Cobaan dalam hidup memang sangatlah berat, akan tetapi yakinlah kita pasti dapat melewatinya dengan kerja keras, ketekunan, semangat pantang menyerah, keyakinan serta di dukung dengan doa.

 

Teman-teman sebangsa dan setanah air, sebagai manusia kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Karena sejatinya hal terpenting dalam sebuah kehidupan adalah bagaimana kita berusaha semaksimal mungkin dalam setiap kesempatan, menjalani dengan sepenuh hati dan menerima apapun yang terjadi dengan ikhlas serta lapang dada.

 

Kita boleh saja tidak memiliki kompas ataupun peta. Akan tetapi, kita harus yakin. Kita semua diberi anugerah oleh Sang Pencipta sebuah hati yang dapat digunakan untuk menentukan mana kira-kira arah yang tepat dan pantas untuk kita tuju. Oleh karen itu, jangan pernah takut bermimpi, karena hal tersebut tidak akan pernah membuat kita tersesat.

 

Saumlaki, 16 Oktober 2011. Wahai guru-guru se-Indonesia. Sebenarnya kalian adalah sesuatu yang menuntun kami kejalan kupu-kupu. Kalian sudah menjadi puisi abadi, yang tak mungkin ku temukan di dalam sebuah buku. Mungkin matahari mengundangmu, tapi bintang lebih memerlukanmu. Ingatlah satu hal bahwa hidup bukanlah seonggok kertas lusuh dengan bacaan nyata “ayo terus mengeluh”, tapi ia adalah deretan angka yang harus dikejar sampai dengan angka sepuluh. *Terilhami dari pembahasan 7 orang PM selama lima jam di atas kapal ferry.


Cerita Lainnya

Lihat Semua