Keterbatasan tidak Menghambat untuk Belajar

Muhammad Habibilah 6 November 2011

Mungkin masih terpikir oleh masyarakat Indonesia bahwa untuk belajar itu mahal, butuh biaya yang tidak sedikit dan pengorbanan yang besar. Apalagi di era modern ini,dimana semua fasilitas untuk belajar itu butuh sejumlah uang menggantinya, bahkan untuk persiapan menerima pelajaran pun perlu sejumlah uang untuk sekedar mengganjal perut, mengurangi rasa lapar. Memang, hal inilah yang selama ini dialami oleh penduduk, terutama yang berada di perkotaan atau di kawasan masyarakat dengan sejumlah uang yang memadai.

Sama halnya dengan masyarakat disini, di dusun Tambora, desa Oi Bura kecamatan Tambora. Masyarakat suku Bima, Sasak, Bali dan Timor, masyarakat dengan beberapa rumah yang masih terbuat dari papan, masih ada yang beralaskan tanah, tanpa listrik dan sedikit air. Makanan pokok masih sangat terbatas, lauk untuk makan pun sangat jarang ditemukan, maklum..di tengah perkebunan kopi yang terletak di kaki gunung, dikelilingi pepohonan hutan yang masih rimbun dengan babi hutan dan ular hijau yang mejadi musuh bagi masyarakat sekitar. Buruh pemetik kopi merupakan pekerjaan yang sebagian besar masyarakat tekuni selama bertahun-tahun dengan  gaji yang sangat minim. Anak-anak mereka pun terkadang ikut membantu mencari nafkah, mereka ikut berladang hingga “leles kopi” saat musim panen tiba. Anak-anak itu, sebagian besar masih berstatus pelajar di SDN Tambora, sekolah yang hanya memiliki satu lokal dengan tiga ruangan dan beberapa bangku. Ketika pelajaran berlangsung, mereka harus berbagi ruang dan papan tulis dengan kelas yang lain, satu ruang dan papan harus dibagi untuk 2-3 kelas.

Buku penunjang masih sangat terbatas, tidak semua guru memiliki buku penunjang, hanya satu dua orang saja yang memilikinya, itupun tidak semua mata pelajaran dipunya. Anak-anak juga masih mengandalkan ilmu yang diberikan oleh sang guru disekolah, tidak memungkinkan bagi mereka untuk menambah materi baru dirumah karena tidak adanya buku yang dimiliki dan karena terbatasnya penerangan dirumah mereka, penerangan yang tidak selamanya nyala, hanya waktu-waktu tertentu saja, ada pula rumah yang tidak memiliki penerangan sama sekali, mereka hanya mengandalkan sinar mentari di siang hari. Mereka hanya memiliki buku dan alat tulis dalam jumlah yang terbatas, terkadang satu buku untuk semua pelajaran, bukan karena mereka malas untuk mengganti-ganti buku tetapi karen tidak ada dana yang cukup untuk membeli buku baru. Begitu pula dengan peralatan belajar yang lain.

Dalam kondisi terbatas, tidak bisa memaksa mereka untuk melengkapi keperluan untuk belajar. Datang ke sekolah secara rutin saja sudah merupakan prestasi, karena mereka harus melewati jalanan menanjak dan menurun, tumbuhan hutan yang masih lebat dan jarak tempuh yang tidak dekat, serta aktivitas mereka membantu orang tua mencari penghidupan. Apalagi ketika musim hujan tiba, jalanan licin dan berair, tak sedikit mereka akan temukan lintah darah dan ular hijau di sekitar jalan yang mereka lalui. Apalagi kondisi sekolah yang bocor, air masuk kedalam kelas yang memaksa mereka untuk bergabung menjadi satu denga kelas yang lain.

Ketika belajar pun tidak bisa dipaksakan, sebelumnya, ada guru yang datang sudah merupakan hal yang membahagiakan mereka. Terlihat dari raut muka dan senyuman kecil dari diri mereka, serta sapaan sopan kepada sang guru yang datang pada hari itu. Antusiasme mereka tunjukkan dengan sangat aktif mengikuti pelajaran, menjawab pertanyaan-pertanyaan sang guru dan mengajukan pertanyaan yang sekiranya tidak mereka pahami. Itulah yang menjadi salah satu alasan saya ingin selalu berada disekolah, melihat keceriaan mereka, semangat yang tetap membara ditengah-tengah keterbatasan ekonomi serta sarana dan prasarana.

Layaknya guru yang lain, saya pun ingin memberikan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki kepada mereka, walaupun fasilitas sulit untuk didapat. Salah satunya, pengetahuan untuk menggambar, kemampuan untuk menggunakan otak kanan dalam bidang seni menggambar, dengan pewarna buatan baik pensil warna, spidol, ataupun cyaron.  Beberapa perlengkapan dasar yang harus dimiliki ketika akan menggambar, yang paling utama adalah kertas tidak mereka miliki. Memang perlu dimaklumi, sekolah ini sangat terpencil, jauh dari mana-mana, dari toko peralatan ATK juga.

Suatu kali, saya sempatkan untuk membeli sebuah kertas manila dengan ukuran yang lumayan besar serta crayon dan spidol sebagai pewarna, saya perkirakan cukup untuk siswa-siswi kelas tinggi yang jumlahnya berkisar antara 20 orang. Setelah saya berangkat kesekolah, tenyata kertas yang saya bawa tidak mencukupi. Tercetus dalam benak saya untuk membagi kertas secara merata kepada sejumlah anak yang hadir. Satu kendala telah teratasi, namun masih ada kendala lagi, pewarna yang saya bawa (crayon dan spidol) tidak mencukupi. Tanpa berpikir panjang, saya bilang kepada anak-anak, “Sekarang cari rumput, daun, ataupun bunga yang ada di sekitar, atau apapun yang bisa digunakan untuk mewarna, hari ini kita akan menggambar dan mewarna dengan bahan-bahan alami.” Dengan semangat mereka merespon dan seketika itu juga semua berlarian keluar mencari segala hal yang dapat digunakan untuk mewarna. Beberapa menit kemudian, semua siswa datang dengan membawa daun, bunga dan rumput, serta ada yang membawa arang kayu sisa pembakaran pohon disebelah sekolah. Secara serentak, mera pun mulai mewarna. Rasa haru dan bangga melihat semangat dan ketekanan mereka dalam belajar, tidak ada sedikitpun keluhan selama mereka belajar.

Inilah potret generasi bangsa, walaupun jauh dari peradaban, jauh dari informasi, jauh dari apapun tetapi semangat tidak kalah jauh dari mereka yang lebih dulu menerima informasi. Tetap semangat anak-anakku, pak guru selalu mendukungmu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua