Catatan Perjalanan Kedua Motor Pintar: Dari Padang Untuk Lautan

Mochammad Subkhi Hestiawan 8 November 2011

Jingga menyambut kami diufuk, aku masih terpana begitu saja pada aspal-aspal hitam membentang. Perjalananku kali ini berbeda. Bukan lagi berteman carier, bensin dan keheningan. Bersamaku sekarang ada sesosok keindahan. Bukan masalah lagi tentang keheningan karena disetiap tikungan ada doa-doa yang menenangkan. Tak lagi juga ada kebosanan di setiap jalan lurus membentang karena ada tawa-tawa kecil yang menyenangkan. Hilang kekhawatiranku setiap melewati tanjakan karena diantara setiap jengkalnya ada dukungan yang lembut dan melegakan. malam mulai menjelang diantara kerimbunan hutan papua. Dan aku masih bisa merasakan ketegaran yang lembut. Tak ada ketakutan dalam setiap suara lembutnya, tak ada keraguan yang tersirat dalam tatapan matanya yang hangat. Aku masih mengutuki  motor pinjamanku ini yang tidak ramah siapapun yang berani duduk diatasnya. Aku juga marah pada diriku ketika telat pindah gigi di tanjakan sehingga membuatnya turun dan berjalan. Ditengah semua ketidaknyamanan diriku itu dia masih saja terus memenuhi udara dengan keteguhan dan ketenangan. Dia terus meyakinkan diriku bahwa dia baik-baik saja padahal aku tahu pasti dalam hatinya ada ketakutan alami manusia tetapi dengan caranya dia berhasil menghilangkannya. Sebuah kepasrahan, keperacayaan dan ketulusan bahwa aku akan bisa membawanya ke tempat tujuan dengan selamat. Hanya itu yang dapat menjawab sumber dari kekuatannya itu.

Hujan mulai turun sedikit lebih deras, dingin membalut kami. Dan jalan masih tidak bersahabat. Dengan lembut menjawab semua kekhawatiranku terhadapnya dengan jawaban tegas dan berani dengan cara yang menenangkan. Ketegangan belum selesai masih ada 10 km lagi jalan membentang menembus bukit. Didepan terlihat cahaya merah dari obor, sedikit lebih dekat aku melihat kilatan logam dingin dikegelapan.  Naluriku laki-lakiku mencium bahaya, didepan lima orang laki-laki dengan parang berjalan tenang. Mereka mengulurkan obor itu sedikit ditengah jalan seakan-seakan mau mencegatku. Lalu dengan keberanian tersisa, aku bersikap tenang dan terus berjalan sambil mencoba menyapa mereka dengan raungan klakson. Kejadian buruk yang dari tadi terbayangkan Alhamdulillah tak terjadi dan semoga tidak akan pernah terjadi. Setelah beberapa ratus meter berlalu dari bahaya. Aku bertanya kepadanya sesosok keindahan yang sedang aku bawa, siapa mereka ? lalu menjawab itu mungkin pencuri pala. Aku kaget dengan cara menjawabnya yang diselingi tawa.  Dia sama sekali tidak takut dan sadar akan bahaya yang menghadang tadi. Aku semakin mengaguminya. Didalam sosoknya yang lembut nan cantik ada kekuatan dan keberanian yang besar.

Kehangatan mulai tersalut diudara, bau garam terkilas di batas indera. Kataku dalam hati, kita sudah didekat laut. Sekitarku masih gelap pekat, jarak pandang hanya sebatas lampu motor redupku. Remang cahaya kecil fluorescent menenangkanku di depan ada desa kataku dalam hati. Kemudian suara lembut itu lagi kita sudah sampai di desa Offie katanya. Ibu laras begitulah anak-anak murid memanggilnya. Bersamaku dan motor pintarku aku mengunjungi desanya di Offie, Distrik teluk Patipi. Di desa di teluk ini dia mengabdikan diri dan menginsipirasi, memberikan semua ilmu yang dimilikinya untuk mereka putra-putra papua.

Keesokan harinya aku diberi kesempatan olehnya untuk  mengajar di Sekolah di puncak bukit itu. Katanya anak kelas II tidak ada guru “ jadi pak guru bias bantu saya mengajar mereka hari ini” begitu katanya. Aku mulai memasuki kelas yang cukup mewah untuk ukuran papua maklum dibandingkan sekolahku di Bomberay ini sangat mewah, semuanya bertembok berton dan bercat merah muda mengkilat bercahaya. Aku masuk ke kelas itu terpancar senyuman-senyuman keingintahuan mereka murid-murid ibu laras. Lalu kubuku dengan perkenalan dan mengajari mereka dengan nyanyian semangat. Antusiasme mereka membahana memenuhi udara lembab teluk. Kubuka sedikit lembar cerita tentang perjalananku ke sekolah mereka. Kembali aku lihat binaran mata mereka bersinar dan seakan berkata jangan berhenti bercerita pak guru.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu dan setiap detik aku melihat keceriaan mata mereka di offie aku teringat anak-anak elangku di Bomberay. Akhirnya aku menyelesaikan pelajaran itu dengan sebuah nyanyian “selamat jalan bapak-selamat jalan bapak, selamat jalan kami ucapkan sepenggal lirik terharmoni dari mulut kecil mereka. Lalu seorang anak kecil frans namanya menghampiriku dan bertanya pak guru kapan kitorang diajar pak guru lagi ?. aku hanya terdiam dan mengangguk. Dia mengerti dan duduk kembali. Dari jendela kaca itu aku lihat ibu laras sedang berjibaku dengan angka bersama anak-anak kelas 4. FPB dan KPK begitu tulisnya dipapan tulis dengan pohon akar berjuntai. Lalu aku mengetuk pintu dan berpamitan. Aku diantar ibu laras dan anak-anak sampai ke anak tangga terakhir gerbang sekolah. Mata –mata kecil itu memandangku seakan-akan berkata “kapan pak guru mengajar kami lagi”. Ibu laras dengan senyumnya yang tak pernah lepas itu “hati-hati ya pak guru subkhi” salamku untuk anak-anak di bomberay. Aku mengangguk pelan sambil memberi isyarat mata dari dalam helm biru kusamku. Perlahan aku bergerak mengikuti roda-roda, dari spion aku lihat ibu laras dan muridnya masih berdiri dan melambai pelan sampai akhirnya tidak terlihat lagi diujung tikungan.

Aku menapaki kembali jalan-jalan pulang dengan kerinduan dan harapan. Kerinduan mengajar bersama ibu laras dan harapan mendengar kembali pekik kecil teriakan muridku-muridku dibomberay. Dari padang untuk lautan sebuah kerinduan dan harapan untuk terus mengajar serta menginsiprasi lebih banyak dan lebih jauh

 

Offie-Bomberay, 26 Oktober 2011

Thanks to : Ibu Laras


Cerita Lainnya

Lihat Semua