info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Catatan Perjalanan Ketiga Motor Pintar : Kra Kerot, Kopi roangge

Mochammad Subkhi Hestiawan 15 November 2011

Begitulah sambutan mereka di Kampung Pikpik Distrik Kramomongga, pak tiktikweria tersenyum lebar menyambutku. Orang Bomberay su tiba katanya dengan menawarkan Mahe dari nipah.

Baru beberapa jam yang lalu aku tiba dikampung puncak gunung ini, diantara jingga sore dan kabut. Inilah perjalanan ketiga dengan motor pintar Indonesia mengajar menempuh hutan dan pegunungan untuk berbagi semangat. Jarak dari tempat ini dari tempatku bertugas adalah 80 Km tepat ditengah jalan antara fakfak dan bomberay. sering aku lewati jalan koral ini tetapi kali ini berbeda selain tampilan jalan yang sudah menghitam tetapi juga tujuanku berbeda yaitu untuk menemui sahabatku angga pengajar muda di kampung ini dan berbagi semangat dengan anak-anak disini.

Roda-roda mulai menuruni jalan setapak kampung dengan perlahan dan menebar senyuman aku bertanya mana rumah pak angga. Aku melihat sekelebat anak-anak sedang berkumpul dan belajar disatu rumah. Namun, entah mengapa jalan ini begitu curam untuk berhenti mendadak. Akhirnya aku parkir motor pinjamanku diujung kampung bekas sungai kering dan mulai turun dan berjalan masih bertanya-tanya dimana rumah angga. Beberapa orang melintas dan melihatku dengan heran. Mungkin batin mereka juga bertanya ini siapa ? apakah tukang ojek bomberay yang nyasar atau tukang jualan kreditan. Seorang mengenaliku dari kejauhan memanggilku pak guru disini rumah pak angga. Lalu aku menengok ke rumah tembok berteras kayu. Seketika angga dan anak-anak yang belajar menghambur keluar. Dia lalu berteriak subkhiiiiii, agak terkejut dia melihatku. Aku masuk keruangan tamu yang agak luas didindingnya penuh dengan gambar alphabet, poster pahlawan, rumah adat, angka dan aneka satwa. Aku menduga inikah tempat yang disebut angga Rumah pintar Indonesia mengajar. lalu dia menggangguk senang. Pada awal program memang dia telah melontarkan akan membuat pusat belajar bagi masyarakat dan anak-anak akhirnya aku melihat sendiri hasil karya tamanku itu.

Dengan sabar angga memperkenalkanku dengan anak-anaknya yang tampak agak terusik dengan kehadiranku. Mereka sedang belajar Bahasa Indonesia salah satu anak menulis dibukunya berulang kata-kata “ aku cinta bahasa Indonesia”. Seketika anak-anak mulai menghangat denganku setelah berkenalan singkatku. Memang dengan tampilanku kali ini anak-anak tidak menduga aku juga pak guru sama seperti pak angga, Sepatu boot, sarung tangan, rider bag dan rompi tidak sempat aku lepaskan karena saking antusiasnya. Sebentar aku mengajarkan mereka bernyanyi dan belajar matematika dan matahari akhirnya tergelincir total. Angga kemudian memperkenalkanku dengan seluruh anggota keluarga yang dia tempati ada bapak tua ada nenekdan semuanya.

Jelang malam niat hati ingin langsung kembali ke bomberay tetapi pak titikweria menahanku. Su malam nginap saja, karena lelah tak tertahan aku mengiyakan tawaran itu. Kali ini memang perjalananku agak tak biasa karena aku langsung melakukan dua perjalan sekaligus. Ke teluk patipi kampung offie dan kampung pikpik. Aku rebahkan badanku di kalipan (tikar pandan) diatas papan rumah dapur. Lalu angga memanggil untuk makan, mengepul uap wangi seketika. Diatas baskom seng terserak talas terpotong besar, nasi, telur dan tagas-tagas. Langsung sang empu rumah pak tiktik weria menawariku makan dalam bahasa iha gunung “ orek noangge” katanya.

Makan usai namun cerita baru dimulai, aku belajar bahasa iha gunung. Bahasa asli di kampung ini tempat angga mengajar. Kra kerot, Kopi roangge itu yang masih tersisa dari ingatanku tentang bahasa iha gunung. Memang di fakfak ini didiami banyak suku dan punya bahasa yang berbeda pula. Orang Gunung dengan bahasa Iha gunung, orang teluk dengan bahasa Iha pesisir, orang kokas dengan bahasa iha kokas, orang baham di muara sungai baham dandara dengan bahasa baham. Orang arguni dengan bahasa arguni dan orang goras pun punya bahasa sendiri. tapi aku masih ingat kata masyarakat kampungku di bomberay, orang papua bahkan yang tinggal dipelosok belantara manapun disini mengerti bahasa indonesia. Lalu aku terbayang tulisan theresia sore tadi dan peristiwa 3 hari yang akan datang 28 oktober yaitu peringatan sumpah pemuda.

Asap mahe mulai mengepul memenuhi dapur kayu itu canda tawa terlontar sekenanya. Tak terasa lagi dingin puncak fakfak ini. angga bercerita sering disini dia dipanggil Siyangga yang berarti cendrawasih. Lalu kak helmi menambah nama lengkap angga disini “ Siyangga tarabisa Purunai” artinya apa tanyaku. Dia menjawab cendrawasih yang tidak bisa terbang. Tawa meledak seketika dan memenuhi udara.

Ufuk jingga terkibar tipis diujung gelap puncak berhutan lebat. Aku terbangun oleh rasa tanggung jawab anak-anakku disana di bomberay telah menanti cemas pak gurunya pulang. Kabut dan kegelapan masih menyelimuti jalan mendaki itu. Dan lambaian tangan angga melepasku pulang ke padang harapan Bomberay.

 

Kampung Pikpik

25 Oktober 2010

 

NB : thanks to kopi, mahe dan keramahan hangat orang-orang gunung


Cerita Lainnya

Lihat Semua