Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 13)

Ratih Diasari 13 Maret 2012

Beberapa kali, aku memang bolak-balik dari desa ke kota untukmengajar. Mencoba  mengisi kekosongan guru agama islam di ibukota Kabupaten, Saumlaki. Bukan hanya kelas III dan kelas VI SD saja garapanku kali ini, melainkan sudah beranjak pada anak usia SMP dan SMA. Tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah, kawan. Tak mudah pula untuk mendapatkan sebuah hati yang lapang. Mengapa? Karena waktumu terbagi menjadi dua. Satu untuk memikirkan peningkatan anak-anakmu yang ada di desa dan di sisi yang lain kau harus memikirkan peningkatan anak-anak SMP dan SMA yang ada di kota. Dalam keadaan bersamaan kau dituntut untuk berlaku adil terhadap keduanya.

 

Awal menjalani hal ini, aku memang merasa gundahgulana. Jujur aku takut di cap sebagai orang yang senang berjalan-jalan meninggalkan tugas utama. Datang seminggu ke kota,lantas kembalilagike desa pada minggu berikutnya. Awalnya aku sudah sampaikan bahwa aku tak bisa. Tapi apa mau dikata. Hanya aku yang dapat mengisi kekosongan guru yang ada di kota. Masyarakat yang tak mengerti SK-KD tak mungkin dijadikan guru. Begitu juga dengan guru mata pelajaran. Ia tak mau jadi guru agama islam karena merasa tak menguasai materi pelajaran. Lantas aku? “Apakah mba Ratih mau menjadi guru pelajaran agama islam?”, tiba-tiba ucapan salah seorang pejabat Depag membangunkan lamunanku yang terus memikirkan mengapa tak ada satupun PNS guru agama islam yang mau menginjakkan kakinya ke sini. Dengan  sigap, aku tentu menjawab “insyaAllah ya pak”. Karena bagaimana mungkin aku tidak mau padahal hukum fardhu ain’ telah jelas-jelas turun padaku saat itu.

 

Alhasil, akupun sekarang resmi dipanggil "ustadzah" oleh anak-anak dan guru-guru di sekolah. Ya Allah.. Doa apa yang sebenarnya  membuat guru-guruku atau ustad-ustadzahku dulu mendoakanku kala masa sekolah dulu. Aku tahu dulu aku begitu bandel, atau kata orang Jawa lebih tepatnya dableg tapi mengapa hukum alamnya sekarang begitu kejam. Kata Abi, menjadi seorang guru/pengajar itu bebannya berat. Jika ilmu yang disampaikan melenceng dari syar'i maka kita akan menanggung dosa atau kesalahan yang kita ajarkan sampai keturunannya. Jadi, sebelum memulainya banyak-banyak cari referensi atau sumber untuk dijadikan pedoman mengajar. Aku pun terus beristigfar dan terus mengamini.

 

Sebagai orang hukum, seharusnya aku bisa memperjuangkan bahwasetiap anak harus mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agama mereka masing-masingseperti yang tertuang dalam Undang-undangSisdiknas. Siswa katolik harus mendapatkan pelajaran agama katolik. Siswa kristen harus mendapatkan pelajaran agama kristen. Begitu pula dengan siswa beragama islam. Sudah seharusnya siswa beragama islam mendapatkan pelajaran agama islam. Namun apa yang terjadi, kawan? Beberapa kali aku temui siswa islam mendapatkan pelajaran agama kristen atau katolik karena ketiadaan guru agama islam. Bahkan tak jarang nilai mereka lebih tinggi dari anak-anak yang beragama kristen maupun katolik. Ini tentu bukan kesalahan sekolah. Ini kesalahan kita orang-orang islamyang tak mau pergi kesini. Guru agama islam tidak ada di sini. 

 

Di sini, masyarakat islam memang tercatat sekitar 6-7 ribu penduduk. Mereka tersebar di tujuh pulau yang berbeda. Berdasarkan data Depag tahun 2012, mereka yang hidup di Ibukota Kabupaten, kisarannya sekitar 3 ribu penduduk. Sayangnya, meskipun banyak penduduk yang muslim. Tidak ada satupun sekolah islam yang dibangun di sini. Tidak ada pendidikan islam yang dapat membentuk akhlak pada anak-anak. Tidak ada satupun sekolah islam yang diinisiasi. Konsekuensinya, tidak ada pengajaran tentang sholat. Tidak ada pengajaran untuk tidak meratap saat ada orang yang meninggal. Tidak ada pengajaran bagaimana harus menutup aurat. Tidak ada pengajaran apa hukumnya jika orang islam makan babi, atau minum sopi sejenis tuak. Tidak ada pengajaran bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki itu berinteraksi. Tidak ada semua itu.

 

Di daerah yang tak begitu jauhdari daerah kami, aku memang mengetahui isu agama merupakan isu yang sensitif untuk dibahas. Namun berbeda dengan keadaan di sini. Di Maluku Tenggara Barat, masyarakat begitu ramah. Masyarakat begitu terbuka. Masyarakat muslim dan kristen saling tolong-menolong. Mereka saling mencinta. Tidak ada yang mengganggu. Kami umat islam diberikan tempat untuk beribadah dengan aman dan nyaman walaupun kami adalah masyarakat yang minoritas. Begitu pula sebaliknya. Bahkan ketika aku ke Depag, Kepala Sekolah SMP dan SMA sampai memohon untuk didatangkan guru agama islam untuk menangani siswa-siswi mereka yang sudah begitu banyak. “Anak-anak ini berhak untuk mendapatkan asupan ukhrowi. Hubungan mereka dengan Tuhan harus baik. Kami tidak bisa memberikannya. Kami sungguh tak tega jika melihat anak-anak kami belajar agama, dan anak-anak islam hanya dapat menunggu di luar. Tak pernah ada guru agama islam yang mau kesini. Tak pernah ada guru agama islam yang mau menetap di sini.”

 

Pikiranku terus menerawang. Sepenting itukah aku harus kembali ke kota? Memikirkan seratus orang siswa SMP dan SMA yang sudah ingin beranjak pada Ujian Sekolah. Mendapati soal-soal mereka dikirimkan langsung dari Propinsi, dan membayangkan mereka tak bisa mengerjakan apa-apa karena tak pernah mendapatkan asupan pelajaran agama. Memang pilihan yang sulit bagiku saat itu. Intensitas yang padat, dengan pulang-balik naik kapal bukanlah sebuah keadaan yang ideal. Sayangnya tentu hal ini harus tetap dijalani.

 

Sampai pada suatu ketika aku berpikir mengapa kita tidak mendirikan sekolah islam saja di sini!? Jumlah siswa yang begitu banyak. Dukungan masyarakat yang begitu besar. Seharusnya menjadi kekuatan masyarakat muslim untuk membangun sebuah sekolah. Kitapun tak dapat terus menunggu kedatangan guru PNS yang tak jelas kapan datangnya dan kapan pulangnya.

 

Alhasil, setelah ide ini tercetus, kami pun mulai mengumpulkan data-data. Mendekati masyarakat yang bisa diajak kerjasama. Melakukan sharing atas isu yang benar-benar begitu menyiksa: mengambil solusi nyata, bagaimana kalau kita mendirikan sekolah islam untuk anak-anak muslim yang ada di Kota.

 

Tepat sasaran. Kami spontan mendapat dukungan dari masyarakat setempat. Dua orang pengajar muda dan masyarakat bersatu untuk mendirikan sekolah islam. Alhamdulillah setelah sounding dengan beberapa teman di Jogja, kamipun mendapat bantuan dasar untuk mulai mendirikan yayasan. Kami juga mendapat bantuan arsitek untuk merancang sekolah yang akan direalisasikan. Allah Yang Maha Kuasa membantu kami dengan begitu mudahnya. JanjiNya untuk merubah nasib suatu kaum jelas terpampang nyata karena kaumNya ada tekad untuk merubah dirinya.

 

Namun perjuangan kami tentu belum ada apa-apanya. Angka Rp. 784.600.000,- sebagai nominal yang dibutuhkan untuk membangun sekolah sesaat membuat kepala ku tiba-tiba menjadi pening sebelah. Biaya pembangunan mahal dikarenakan harga-harga barang di sini memang mahal. Darimana kami dapat uang sebanyak itu untuk membangun sekolah islam untuk tahap pertama. Ah kawan, bukankah Allah itu Maha Kaya!? Bukankah Allah itu Maha Pemurah!? Bukankah Allah itu Maha Pengabul Doa setiap hamba yang meminta!? Ocehan-ocehan hatiku tak ku kira juga menyebar ke dalam hati masyarakat dengan gelombang interval yang sama. Masyarakat yakin, mereka bisa. Lagi-lagi untungnya mereka masih yakin, bahwa ketetapan Allah akan berakhir baik suatu saat tepat pada waktunya.

 

Membangun sekolah memang bukan perkara yang mudah. Namun, kami sudah terlanjur bertekad, berikhtiar bersama untuk dapat merealisasikannya. Kami meyakini jika ada sekolah islam di sini, kita akan menyelesaikan masalah simultan yaitu ketiadaan guru agama islam.

 

Lama aku berkutat bagaimana membentuk sebuah yayasan. Lama kami berkutat bagaimana seharusnya membentuk sebuah sekolah. Bekerja dan berpikir terus bersama-sama, tak kurasa memunculkan kedekatan yang nyata antara aku dan masyarakat yang ada di kota. Selama tahap pendekatan dengan masyarakat, anehnya aku merasa ada hal yang baru. Ada hal yang menguat. Aku merasa telah punya keluarga baru di sini. Keluarga baru yang selalu siap menerima diriku. Keluarga baru yang mulai menjadi tanggungan hidupku.

 

Tak terasa waktuku di kota, pagi-sore mengajar dan membangun konsep sekolah islam bersama, membuat kami menjadi lekat. Kedekatan yang lekat antara aku, anak-anak, dan masyarakat. Seakan kami tak ingin berpisah. Sedihnya sudah terasa sekarang, walau kami pengajar muda belum sampai pada proses penarikan.

 

Masyarakat khawatir dengan kepergian kami, semangat itu akan hilang. Semangat itu belum tentu ada lagi. Padahal, pandangan mereka salah sekali. Akulah yang jauh kehilangan mereka. Mereka membuatku lebih bernyawa. Mereka membuatku lebih dekat kepada Allah Ta'alla. Semangat mereka adalah semangat orang-orang desa yang tidak biasa. Mereka melampaui semangat orang kota dalam ghiroh semangat saat bekerja.

 

Bagaimana tidak? Kau tahu. Hampir sebagian besar masyarakat muslim di sini berdagang.  Mereka berdagang apa saja. Mereka berdagang semua dagangan yang halal. Mulai jualan emas, gorengan, air, HP, pakaian, komputer, nasi rames, pisang cokelat, jam dinding, bunga, dan semua kebutuhan yang mendasar. Subhanallah, mereka benar-benar mengaplikasikan sunnah Rosululloh. Bahwa sesungguhnya rezeki yang paling baik didapat adalah rezeki yang dikais dengan menggunakan tangan sendiri. Kebanyakan dari mereka hidup di sini sebagai pendatang. Mereka berdagang dengan menerapkan prinsip-prinsip islam jauh lebih matang. Aku cemburu kepada mereka. Mereka selalu berpikir sederhana. Mereka pun lugu saat berinteraksi antar sesama.

 

Sampai pada suatu ketika, aku mulai kembali berpikir tentang diriku sendiri. Aku tentu bertekad akan kembali. Membantu masyarakat mendirikan sekolah islam dengan harapan lusa kan hasilkan pemuda-pemudi yang jauh lebih baik dari keadaanku saat ini. Tapi bagaimana caranya? Selesai masastudi Megister ku di UGM, bukankah aku masih pengangguran tak punya kerja? Hemm.. Mungkin aku lupa dengan bait pertama yang sempat aku alunkan tadi.

 

Bukankah Allah Maha Kaya!? Bukankah Allah itu Maha Pemurah!? Bukankah Allah itu Maha Pengabul Doa setiap hamba yang meminta!? Alunan rintik hujan terus mengalir deras, sederas doaku saat ini. Seharusnya aku tak perlu khawatir, karena bukankah Allah juga mengatakan bahwa Ia akan membantu hambaNya yang membantu agama Allah, kelak di dunia dan di akhirat!? Bukankah begitu, kawan. Dan bukankah memang akan begitu, ya Rabb.

 

*Adaut, 10 Maret 2012. Ditemaniderasnya alunan hujan, aku berdoa kepadaMu ya Rabb semoga Engkau kuatkan kamimembangun sekolah islam di sini. Semoga Engkau mudahkan kami. Semoga Engkau Kuatkan kami ya Rabb.


Cerita Lainnya

Lihat Semua