“Mata Ibu Ratih Sekali”
Ratih Diasari 21 Maret 2012Kata orang saya itu galak. Pernyataan ini sebenarnya benar. Tapi di sini (red: Maluku Tenggara Barat) sayangnya pernyataan itu salah. Alasannya tentu bukan karena saya menjadi orang baik. Tapi karena di sini ternyata masih ada orang yang lebih galak lagi. Bukan sedang mengajarkan majas perbandingan, melainkan ini soal informasi bahwa orang galak ternyata juga bisa lebih disayang. Kok bisa? Begini ceritanya.
Hari ini adalah hari pertama saya tiba di Adaut. Sekitar empat hari sebelum pembagian laporan pendidikan. Pertama kali saya pergi ke sekolah, seperti biasa anak-anak dengan senyum lebar dan teriakan yang keras selalu mengucapkan “Hei anak-anak.... Ibu Ratih datang. Ibu Ratih datang...ibu Ratih datang....”
Lalu diikuti dengan lari-lari kecil anak-anak yang menyambangi diri saya satu per satu. “Ibu...ibu....ibu...” diikuti baku pukul dan baku maki, karena mereka saling dorong untuk memegang tanganku. Awalnya saya juga heran, mengapa anak-anak ini begitu antusias. Bukankah saya galak? Kenapa ya mereka tetap ingin terus mendekati? Bukti bahwa saya galak bukankah sudah tersebar ke seantro jagad raya? (Lebay). Tapi anehnya anak-anak tetap suka. Mereka menerima saya apa adanya. Mereka terlalu jujur untuk mengatakannya. Mereka sungguh lugu. Mungkin sama dengan saya yang lugu. Bisa kau bayangkan, lugu bertemu lugu hasilnya jadi lucu. Halah.
Yang jelas pagi bertemu siang, siang bertemu sore, anehnya tidak ada yang berubah dari mereka. Mereka sangat senang berbagi cerita, berbagi emosi dan berbagi makanan pada saya walau saya galak. Dalam hati kadang saya suka bertanya-tanya, “kok aneh betul ini anak-anak walau dimarahi tetap saja seakan tidak berubah?” Mengapa mereka tidak kapok ya kalau saya sudah ceramahi dengan pernyataan dan pertanyaan yang selalu sama. Mulai dari ceramahi mengapa seng (red: tidak) mengerjakan PR? Mengapa seng bawa pensil? Mengapa seng tulis tugas? Mengapa jambak rambut pung teman? Mengapa seng pake sepatu? Mengapa seng sekolah kelemarin? Kenapa seng dengar kalau ibu sedang menjelaskan? Kenapa makan di kelas? Kenapa rambut seng dicukur-cukur? Kenapa kuku tangan seng dipotong? Pokoknya pertanyaan dan pernyataan dengan menggunakan “seng” rasanyasu habis dimuntahkan oleh mulutku ini setiap harinya. Hal ini diakui memang tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Mungkin saya juga takkan terima profesi sebagai seorang guru, jika syarat utama ternyata ‘harus mengucapkan hal yang sama, berulang kali dalam keadaan yang serupa’. Tapi teman, bukankah itu tanda cinta kita terhadap seorang anak, jika kita selalu mengulang-ulang hal yang sama? Menasehati agar hal buruk ditinggalkan dan hal baik dapat dilaksanakan? Ah, melankolis sekali pembahasan kali ini. Namun begitulah adanya. Ternyata anak-anak bisa mencintai saya--yang juga masuk kategori guru galak. Ungkapan ini booming dengan sapaan: “mata Ibu Ratih sekali”, dan kau tahu apa maksudnya?
“Mata Ibu Ratih sekali” itu adalah sebuah ungkapan yang sering digunakan anak-anak kalau ada yang coba selalu ingin dekat-dekat dengan saya. Aishhh... hal ini digunakan kapanpun dan dimanapun. Ungkapan ini mirip dengan ungkapan yang sering digunakan anak-anak saat mengucapkan mata mangga, mata uang, mata kusambi, mata jagong, dan mata-mata yang lain.
Misalnya saja mata mangga. Mata mangga digunakan untuk anak-anak yang suka sekali dengan mangga. Artinya, si anak akan berjuang sekuat tenaga hanya untuk mendapatkan sebuah mangga.
Atau contoh lain adalah mata uang. Mata uang biasa dikomentari untuk anak-anak yang senangnya selalu minta uang atau money oriented. Bedanya dengan mata Ibu Ratih hanyalah dari segi intensitas penggunaannya saja. Mata Ibu Ratih sekarang sudah menempati posisi tertinggi. Mungkin sudah mirip best of the best dalam gunjingan anak-anak se-sekolah. Kalau dilombakan, mungkin sudah dapat award mengalahkan ‘Empat Mata’ dan ‘Mata Dewa’ dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini. Halah. Pembahasan apa ini...
Kesehariannya, biasa anak-anak menggunakannya begini. Misal ada anak kelas VI yang dekat-dekat saya. Tak lupa ia berusaha untuk membagi makanan jagung gorengnya pada saya. Tak berapa lama, pasti nanti ada saja yang bilang “mata ibu Ratih sekali, oce (red: kamu) ini”. Saya pun hanya bisa senyum-senyum sendiri kala ungkapan ini mencuat.
Atau ada lagi contoh yang lain. Saat anak-anak kelas III melakukan action research, biasanya ada saja anak-anak yang saling baku pukul dan baku maki hanya untuk memegang tangan dan ada di samping saya. Setelah baku pukul terjadi dan sudah kedapatan anak tersebut ada di samping saya, pasti saja secara refleks akan terdengar lontaran anak-anak, “Mata Ibu Ratih skaa (red: sekali) oce”. Lantas, diikuti dengan gerakan sambil mendorong atau sambil menjambak. Wuidihhh. Dalam hati saya hanya berbisik, “segitunya ini anak-anak.”
Beberapa kali saya pun menemui kejadian serupa saat belajar di dalam kelas. Pada waktu itu, anehnya anak kelas I dan anak kelas II suka sekali memperhatikan saya di muka pintu dengan memadati pintu masuk. Lantas tak lama, pasti ada saja dari beberapa anak kelas saya--yang cemburu gurunya diperhatikan--langsung mengusir mereka. Cara mengusir mereka tentu tetaplah sama dengan tema utama. Mereka tetap mengatakan, “oce ini, mata Ibu Ratih skaaa. Sana pigi (red: pergi)”, kemudian disusul suara sapu mengusir anak-anak yang lari kocar-kacir, “bak-buk-bak-buk....” Aishhh... Anak kelas I dan kelas II yang mendapatinya, hanya mampu menyumpah dengan lengkingan tinggi, “Kejam sekali e.”
Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Rasanya kondisi ini tetap tidak berubah. “Mata Ibu Ratih” yang saya sangka sebagai ungkapan musiman ternyata tidak terbukti. Sampai dengan hari ini anak-anak tetap mengungkapkan ungkapan yang sama: “Mata Ibu Ratih sekali oce” jika ada yang coba-coba mendekati.
Heran. Saya dibuatnya heran. Andaikan diperbolehkan membuat soal ujian seperti ini: “apakah yang membuat anak-anak begitu mencintai Ibu Ratih?” pasti anak-anak akan sangat sulit menjawabnya. Kesulitannya tentu bukan cara menjabarkannya. Tapi kesulitannya karena banyak anak-anak saya yang tidak bisa membaca. Hehe. Bercanda. Maksud saya bisa jadi anak-anak tidak mengetahui apa arti kata “cinta”. Yang mereka tahu, hanya sebuah kata sederhana yang selalu mereka ungkapkan “mata Ibu Ratih sekali”. Atau bahkan kesulitannya bisa pula seputar “mengapa kok orang galak bisa jadi disukai?”
Kau tahu, kawan? Menjadi orang galak itu terkadang memang banyak musuhnya. Tapi menjadi orang galak dengan banyak penggemar anak murid, sebenarnya itu bisa-bisa juga. Dilandasi dengan motif selalu perhatian, memiliki sifat keluguan yang sama, kedekatan yang lebih intens dibanding orang galak sesungguhnya, adalah hal berbeda yang membedakan saya dengan lainnya.
Sebenarnya bahkan guru galak juga bisa dicintai oleh semua penduduk sekolah. Asalkan ia punya lagi dua kunci utama. Kau tahu apa? Hal pertama adalah kunci tulus, dan kedua adalah kunci ikhlas. Dua kata ini dalam prakteknya janganlah sekali-kali dipisahkan. Saat di penempatan, saya merasakan kata tulus dan ikhlas adalah dua hal yang berbeda. Orang yang ikhlas itu sudah pasti tulus, namun belum tentu sebaliknya. Tidak semua orang tulus itu bisa ikhlas. Keikhlasan seseorang itu sangat bergantung kepada hatinya. Hatinya di hadapan Allah ta’alla. Dan yang tahu hanyalah engkau dan Yang Maha Pencipta.
Ada sebuah hadist riwayat Muslim yang pernah saya baca. Dikatakan bahwa Abu Hurairah r.a. berkata, “saya mendengar Rasululloh SAW bersabda, “Pertama: di hari kiamat seorang yang mati syahid diadili, maka dihadapkan dan ditanya beberapa nikmat Tuhan yang diakuinya, lalu ditanya, “Apakah perbuatanmu terhadap nikmat itu?” Jawabnya, “saya telah berjuang untukmu sehingga mati syahid.” Jawab Tuhan, “Dusta engkau, karena maksud engkau berjuang supaya dikenal sebagai pahlawan karena keberanianmu. Dan kau sudah mendapatkannya.” Kemudian diperintahkan agar ia dicampakkan ke neraka.
Kedua:seorang pelajar yang telah pandai membaca dan mengajar Al-Qur’an, ketika pelajar itu dihadapkan kepada Pengadilan Allah Ta’alla dan ditanya tentang nikmat-nikmat karunia Allah yang telah diakuinya lalu ditanya, “Apakah perbuatanmu terhadap itu semua?” Jawabnya, “saya telah mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Itu semua saya lakukan sebagai pengabdianku terhadap-Mu.” Tuhan menjawab, “Engkau berdusta, karena engkau mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an bukan untuk memperoleh ridha-Ku, tetapi agar engkau menjadi seorang Qari yang terkenal.” Kemudian pelajar itu diperintahkan Allah Ta’alla untuk ditempatkan di neraka.
Ketiga:seorang hartawan yang memiliki harta benda yang banyak, dan ini telah diakuinya. Ia ditanya, “Apakah yang engkau perbuat dengan harta bendamu yang banyak itu?” Jawabnya, “Harta benda yang saya miliki itu saya belanjakan sesuai dengan kehendak-Mu.” Jawab Tuhan, “Engkau berdusta, karena engkau membelanjakan hartamu itu bukan untuk memperoleh ridha-Ku, tetapi agar engkau menjadi orang terkenal kedermawanannya.” Lalu, orang ini diperintahkan Allah untuk dilemparkan ke dalam api neraka.
Kau tahu artinya? Sungguh menjadi orang galak itu tak gampang. Orang galak juga manusia. Selain punya kewajiban untuk mengubah sifat galaknya, ia pun harus memunculkan rasa tulus ikhlas dalam waktu yang sama.
Kadang saya bertanya dalam lubuk hati terdalam, “ya Allah akankah apa yang saya lakukan akan diridhoi olehMu? Setidaknya akankah yang saya lakukan ini dapat diterima oleh Mu?” Dengan intensitas menulis yang sering serta amalan yang diinformasikan kepada pembaca agar dapat menginspirasi, kadang cukup memberikan keresahan dari dalam diri. Kewajiban seorang Pengajar Muda untuk menginspirasi dengan amalan ikhlas tanpa mengharap balasan duniawi adalah dua hal yang beda-beda tipis. Hampir tak ada beda diantara keduanya. Terbersit sedikit saja melenceng dari niat asli, akan menyebabkan amalan tidak diterima oleh Ilahi Rabbi.
Tak terasa tiga bulan lagi masa penarikan itu kan tiba. Bisa kau bayangkan seumur hidupmu tidak akan ada lagi yang bilang “mata Ibu Ratih” di setiap jejak halaman sekolah. Tidak akan ada lagi yang memberikan kelarat (red: srikaya), nangka (red: sirsak), jagong, donat, roti, lele (red: singkong parut yang direbus) setiap kali istirahat tiba. Tidak akan ada lagi surat-surat cinta yang berterbangan dari jendela kaca dengan tulisan: “Obe love Ibu Ratih” atau “Vene sayang Ibu Ratih” atau “Ibu, kalau ke Jawa jangan lupakan Aya ya”. Tidak akan ada lagi yang menggelendotimu kemanapun kamu berada. Intinya tidak akan ada lagi penggemar setia nan jenaka yang selalu bisa mengungkapkan rasa cinta dengan berbagai versi dan mimik muka. Hanya bekas kenangan yang nantinya akan menempel pada lembar-lembar perjalanan seorang anak bangsa. Tak lebih tak kurang waktu itu kan tiba dengan segera.
* Adaut, 15 Maret 2012. Don’t be sad, nak. InsyaAllah Ibu Ratih datang lagi kesini. InsyaAllah ya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda