Babi Bumbu Kecap Plus Anjing Goreng

Furiyani Nur Amalia 21 Maret 2012

 

Babi itu kan lucu, Fur?? Anjing itu kan penurut?? Mereka kan hidup untuk dipelihara?? Kenapa tega sekali sih mereka membunuh hewan peliharaan mereka?? Sayang sekali kan?”

Anggi meracau saat meneleponku, di tengah maraknya menu utama pesta di keluarganya yaitu babi bumbu kecap atau babi guling atau babi putar, dan mungkin anjing bakar atau anjing bumbu kecap juga. Saat itu saya hanya diam sebagai merespon, mendengarkan setiap racauan yang rutin kami lakukan untuk sekedar bercerita atau menyambung rindu. Bagi saya, sudah biasa masyarakat disini menyantap hidangan seperti itu, namun karena keluarga angkatku sangat menghargai dan menghormatiku, maka selama aku disini, jarang sekali mereka memotong babi atau memenggal anjing. Kalaulah ada tetangga yang memotong anjing atau babi sudah dipastikan saya tidak akan menyantapnya.

Namun hari ini beda, mama ara (sebutan untuk kakak perempuan dari ibu) akan merayakan ulang tahun cucunya, sekaligus ibadah syukur suaminya sembuh dari sakit, juga ibadah syukuran rumah yang sudah jadi maka beliau bilang akan ada pesta untuk menyambutnya. Walhasil, mulai kemarin ada banyak hewan peliharaan beliau yang dipotong. Babi besar miliknya, mickey (anjing peliharaan) dan beberarap anjing lain yang beliau beli, juga ayam peliharaannya yang tidak banyak. Awalnya saya bingung, haruskah sebesar ini pestanya? Lalu saya tersadarkan akan tradisi yang disebut pesta disini. Ya, pesta disini mungkin bisa diartikan sebagai ucapan syukur atas berkat yang mereka dapatkan dari Tuhan untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan sesamanya. Jadi, apa yang mereka punya baik itu kesehatan dan harta yang mereka dapatkan layak untuk dibagikan sebagai rasa pertanggungjawabannya kepada Tuhan.

Saya paham akan hal ini. Saya banyak bertanya kepada mama ara berapa orang yang akan diundang dan menu apa yang akan disajikan nanti. Seperti judul yang saya sajikan diatas, memang salah satunya adalah itu. Babi bumbu kecap dan anjing goreng. Pikiran saya kemudian terlintas pada percakapan saya dan Anggi beberapa waktu lalu. Ternyata apa yang dia rasakan juga terlintas di pikiran saya. Babi yang setiap pagi menjadi pemandangan saya bersama murid-murid ketika berangkat ke sekolah, juga anjing yang biasanya selalu mengikuti kemana mama ara pergi, tiba-tiba hilang begitu saja ketika pemiliknya memotongnya untuk dikonsumsi. Dan ketika saya menanyakan kepada mama ara,

“Apa tidak beli anjing atau babi yang lain saja? Kan sayang kalau mickey dan babinya harus dipotong?”

“Lo, anjing sama babi dipelilhara kan akhirnya juga untuk dimakan juga?? Sama juga dengan sapi dan kambing juga toh? ”

Kembali, rasanya hidup saya serasa makin bodoh ketika disodori pertanyaan macam begituan. Walaupun saya di rumah tidak punya sapi atau kambing, setiap kali keluargaku melakukan kurban saya tidak pernah menanyakan, apakah pemilik dari kambing atau sapi ini tidak sayang kalau hewan ternaknya di jual ke orang lain, hanya untuk disembelih sebagai hewan kurban sebagai bukti iman kepada Allah?

Saya dihadapkan pada kenyataan bahwasannya dalam membahas sesuatu yang beda esensinya, harusnya meminimalisasi pembahasan perbedaan agama, antara yang dianut dan yang dihadapi sekarang. Saya alhamdulilah islam dan hidup di lingkungan Kristen protestan. Tapi dengan begini saya banyak belajar tentang keislaman saya dan ke-kriste-an mereka.

Apakah Nabi Muhammad dulu juga tidak pernah bersilaturahmi kepada kaum kafir? Apakah beliau tidak santun kepada mereka? Apakah nabi Muhammad dulu juga tidak pernah bersedekah kepada yang non-Islam? Kalian yang islam sudah tentu tahu bagaimana menjawabnya. Namun bagaimana agama yang lain meghargai dan menghormati agama kita dengan caranya? Pernahkah kalian menanyakannya? Atau pernahkah kalian merasakannya?

Tidak mudah menjelaskan alasan dan bagaimana cara kita makan atau berpakaian misalnya kepada kaum yang berbeda agama dengan kita. Namun, tidak ada yang tidak mungkin. Saya dulu menjelaskan kepada ibu angkat, bahwasannya tempat memasak atau piring dan sendok makan pun harus dibedakan mana yang dipakai untuk memasak babi dan yang bukan. Mereka menerima dan senang mendengarnya. Sampai suatu hari bapak angkat saya mendapat tangkapan hiu dan kemudian saya menjelaskan kepada ibu saya, bahwa di agama saya hewan yang giginya bertaring itu dilarang, dan hiu salah satuya. Padahal waktu itu masakannya begitu menggoda liur saya.  Berbagai macam sanggahan dan pertanyaan kadang terlontar, ada tetangga saya juga yang bertanya,

“Loh, kan Encik tidak tahu hiu makannya apa? Kan makan ikan juga? Encik kan tidak tinggal di dalam laut?” atau seperti ini

“Encik tau, makanan ayam disini sama dengan makanan yang diberikan ke babi”

Bagaimana saya bisa menjawab menurut kalian? Apakah kalian tiba-tiba harus hadir seperti ustad atau ustadzah yang ada di televisi untuk menerangkan hal itu kepada orang yang berbeda keyakinan dengan kalian? Kadang saya ingin mengundang ustad atau pemuka agama lain untuk mau berbagi cerita tentang keberagaman agama di Indonesia ini. Hahaha, saya rasa tidak ada yang mau mungkin. Ya, dari inilah saya belajar, mungkin bukan ustad atau pemuka agama lain yang memberikan pengetahuan dan pengertian semacam ini. Ya,  kita lah yang harusnya mau memberikan pengertian bahwa keberagaman itu ada karena kita saling menghargai. Tentunya dengan cara yang arif dan sebijaksana mungkin.

Lantas, bagaimana saya memandang babi bumbu kecap dan anjing goreng tadi? Baiklah menurutmu, namun baiklah menurutku. Saya tetap meyakini keyakinan saya dan semoga santapan yang mereka makan menjadi berkah menjadi mereka. Saya hampir bisa dikatakan selalu ikut dalam ibadah yang mereka adakan di rumah-rumah penduduk yang tersebar di seluruh kampung di pulauku. Tujuannya adalah saya ingin lebih dekat dengan orang-orang disana, bagaimana saya tetap bisa menjaga interaksi dengan wali murid saya, dan juga bagaimana saya tahu adat istiadat di tempat saya. Dan yang paling penting adalah menjaga rasa saling memiliki antar orang di masyarakat sana. Selama saya disini, mereka selalu mengundang saya dalam berbagai pesta. Namun, beruntungnya saya sampai sekarang dengan pengertiannya mereka menyediakan meja khusus. Meja khusus adalah meja yang di peruntukkan untuk orang yang khusus, hehehe, alias yang tidak makan seperti babi dan anjing, dan sepengetahuan saya selama ini, yang memasak adalah warga islam dan yang dimintakan bantuan untuk mau menjadi koki meja khusus itu. Alhamdulilah bagi saya.

Menjadi pengajar muda di tempatkan di daerah yang semuanya berbeda dengan keadaan saya dulu membuat saya belajar banyak bagaimana kita harus menempatkan diri di tengah perbedaan budaya, karakteristik dan keadaan yang ada. Courage is not doing what is right, but doing what is right even in the presence of fear.

Jadi  kawan, berbeda tak membuat kita bercerai kan?

_with luv_ Furi_Beengdarat


Cerita Lainnya

Lihat Semua