Good Teacher, Bad Teacher

Oktavina Qurrota Ayun 19 Maret 2012

Semasa sekolah, saya pernah punya seorang guru yang pundungan*). Ketika ngambek, beliau akan mogok mengajar sampai kami sekelas meminta maaf, padahal kesalahan kami waktu itu kami anggap sangat sepele. Saking seringnya beliau ngambek, semakin hari kami semakin kehilangan esensi dari meminta maaf itu sendiri, sehingga ketika hal itu terjadi lagi, kami jadi acuh dan beranggapan, ‘Ah, sebentar juga baik lagi dia.’

Sekarang saya sedang berada di sisi lain jendela, melihat ke dalam.

Kalau dulu saya beranggapan bahwa guru yang pundungan adalah guru yang kurang baik, maka sampai sekarang saya belum menjadi guru yang baik. Setidaknya dalam mengajar kelas 4.  

Di SDN 019 Long Kali ini saya ditugaskan mengajar Matematika kelas 4, 5, 6 dan Bahasa Indonesia kelas 3. Berbeda dengan menjadi wali kelas, mengajar kelas-kelas yang berbeda berarti harus mencoba memahami fase-fase perkembangan yang berbeda pada anak-anak. Misalnya, anak-anak kelas 6 sudah cukup dewasa untuk memahami konsep peraturan dan sanksi, sehingga mereka tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengangkat tangan sebelum berbicara, atau tidak mengobrol ketika guru menerangkan. Sementara siswa kelas tiga jiwa bermainnya masih tinggi, sehingga saya harus memutar otak untuk mengajar dalam bentuk permainan-permainan yang menerangkan. Pemahaman terhadap psikologi perkembangan akan membantu seorang guru untuk menemukan pendekatan yang tepat dalam mengajar. Tetapi saya tidak menguasai psikologi perkembangan. Dan jujur saja, dalam menghadapi kelas 4 saya masih kewalahan.   

If every child is special, then my 4th grade students are super-hyper-extra special. Murid-murid kelas 4 masih sulit memahami konsep peraturan dan konsekuensi. Mereka juga cenderung tidak mendengarkan arahan guru. Omongan saya, juga guru-guru lainnya, cenderung lewat saja di telinga seperti angin sepoi-sepoi. Biar berkali-kali ditegaskan kembali peraturan-peraturan yang kami sepakati, tapi sesudah itu masih saja mereka melakukan kesalahan dan pelanggaran yang sama.  

Kelas 4 juga harus banyak dipupuk motivasi dan kepercayaan dirinya. Saya rasa kesalahan sistem pengajaran bertahun-tahun memiliki andil untuk hal ini. Mereka sangat, dan saya tekankan, sangat takut salah; sehingga arahan harus diberikan sejelas dan sedetail mungkin. Jika perlu harus dicontohkan setiap saat. Ketika saya beri kebebasan untuk menggambar atau  membuat poster ingatan, mereka mengalami kesulitan. Padahal sudah saya tekankan berulang kali, “Menggambar bebas, Nak, gambarlah apa saja. Hias postermu sebagus mungkin!” Tetap saja mereka bertanya dan bertanya, “Kayak mana itu, Bu?” Pun ketika menggambar mereka tidak bisa jika tidak diberi contoh terlebih dulu.  

Di kelas 4 pula saya sering merasa gagal menjadi guru. Suatu hari saya mengajarkan tentang Satuan Waktu. Sudah saya terangkan dengan cerita bahwa satu hari ada 24 jam, dan untuk menghitung jumlah jam dalam 2 hari didapat dengan mengalikan jumlah hari dengan jumlah jam dalam satu hari.   

“Jadi kalau 2 hari, 2 dikali 24 jam. Kalau tiga hari, 3 dikali 24 jam. Kalau empat hari?”   

Mereka diam mematung.  

“Empaaaaat dikali....?”  

“Oooh... Dua puluh empat jam, Bu!”  

“Kalau sepuluh hari gimana?”  

Diam lagi. Gubrak! Ujarku dalam hati.  

Yang membuat saya sangat prihatin, mereka selalu mengeluh dan mengeluh, “susah, Bu!” ketika saya beri soal. Padahal sudah dua puluh menit berlalu, dan saya lihat ia belum mencoba mengerjakan sama sekali. Sudah saya beri motivasi secara halus, “Ayo dong, kamu coba dulu. Mana bisa kalau belum mencoba? Jangan bilang susah dulu kalau belum mencoba,” berkali-kali dan berkali-kali. Tetapi terus saja mereka seperti itu. Mengeluh, mengeluh, dan mengeluh sebelum berusaha. Padahal di kelas-kelas lain, saya tidak mengalami kesulitan seperti yang saya alami di kelas 4. Siswa kelas 3 masih manut jika diingatkan, dan kelas 5 motivasi belajarnya tinggi dan ekstra-mencengangkan.  

Beberapa kali sudah saya bersikap tegas kepada mereka. Bahkan saya pernah meninggalkan kelas karena tidak mau mereka melihat saya menangis. Berkali-kali saya tegaskan kalau mereka harus belajar mendengarkan. Dengarkan arahan guru, dengarkan ketika guru menerangkan. Namun setelah dinasihati, tetap saja mereka melakukan kesalahan yang sama esok harinya. Jujur, kesabaran saya sudah habis. Saya pun menolak mengajar kelas 4 untuk sementara waktu. Kali ini, Ibu Vivin yang pundung.  

Namun, saya jadi teringat guru yang saya ceritakan tadi. Dulu betapa sepele saya melihat kesalahan kami sebagai murid, dan betapa pundungan¬-nya guru saya. Sekarang, dari sisi lain jendela saya melihat segalanya dari sudut pandang beliau. Bahwa sopan santun dan keteraturan itu perlu, dan betapa kesalnya jika murid-murid tak mau mendengar nasihat gurunya. Saya kena karma zaman sekolah, kalau kata teman-teman.  

Saya tahu, sebagai guru saya masih jauh dari sempurna. Meminjam istilah Pak Munif Chatib, saya belum menemukan kunci untuk membuka peti harta murid-murid kelas 4. Mungkin meninggalkan kelas bukanlah cara terbaik untuk menguraikan benang kusut yang terburai di depan saya ini. Tapi Pengajar Muda juga manusia. Saya, pada khususnya, yang masih harus belajar sabar. Sampai sekarang, saya masih memutar otak, bagaimana cara dan pendekatan terbaik dalam mengajar anak-anak ini.  

Kalau guru yang baik adalah guru yang sabar, maka saya masih perlu banyak belajar.  

***    

*)pundungan = mudah marah, ngambek (Bahasa Sunda)


Cerita Lainnya

Lihat Semua