info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Katanya, kita hanya butuh teman bernama: Antusias!

Ratih Diasari 9 Januari 2012
Di Bogor, ada hal cukup penting yang harus saya lakukan. Saya putuskan kembali ke tempat tinggal. Saya putuskan untuk segera cuti mengajar. Namun waktu cepat berjalan. Menggenapkan semua hal yang terjadi, menjadi berbalik, segera cepat berputar.

Genap sudah dua minggu, masa liburan selesai. Bertepatan dengan masa cuti sehingga harus kembali ke daerah untuk mengajar. Hari ini adalah hari terakhir saya cuti. Kamis, tanggal 05 Januari 2012. Tepatnya pada pukul 22.00 WIB, saya baru sampai dari reuni kecil dengan teman-teman aktivis dahwah kampus, Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM di sebuah mall, daerah Bogor. Sebuah ajakan yang tak pernah direncanakan. Tujuh jam bertemu rasanya belum puas untuk saling berbagi, bersama merasakan. Pertemuan yang berakhir setingkat di atas rindu. Biasa teman saya menyebutnya begitu. Banyak harapan, banyak catatan dan banyak hikmah yang tersembunyi di balik singkatnya sebuah ‘kunjungan kerohanian’.

Sepulang dari pertemuan, bergegas untuk packing barang bawaan. Esok hari pada pukul 06.00 WIB sudah harus siap tinggalkan Jakarta, kembali menuju daerah penempatan. Maluku Tenggara Barat.

Tiga jam berlalu. Seakan tersamar seperti menghentikkan sebuah jari yang membisu. Terbangun pada pukul 02.00 WIB, saya harus segera bergegas meninggalkan Bogor menuju Bandara Soekarno-Hatta. Dini hari yang dingin. Mulai rasakan tubuh yang tak seimbang, terasa jauh mengawang. Ada selaput putih yang seakan menutupi retina mata kiri dan kanan. Ah, mungkin efek menangis sebelum tidur tadi malam. Sedih sekali, kawan. Meninggalkan banyak orang yang sudah lama tidak engkau temukan. Memaksa diri untuk siap memulai lagi sebuah ‘misi’ pemberangkatan.

Perjalanan dari Bogor-Jakarta dan Jakarta-Ambon yang begitu sepi. Tak banyak percakapan. Lawan bicara, rupanya sama sedihnya dengan keadaan saya. Atau sepertinya mereka lebih sedih lagi dari saya, entahlah. Dunia ini untungnya tak punya pengukur kesedihan. Kalaupun ada, mungkin akan menambah kegalauan hati diantara saya dan beberapa orang yang saya tinggalkan. Dalam perjalanan, saya berusaha menutup hati atas beberapa pertemuan lalu. Menutup kesedihan atas orang-orang yang saya temui di daerah tempat tinggal. Kembali menata hati. Kembali memulai mimpi. Yang saya ingat, saya hanya berusaha mengingat banyak hal untuk terus dievaluasi. Apa yang harus saya benahi, dan langkah konkret apa yang harus saya jalani. Sisa waktu lima bulan terlalu singkat untuk membangun sebuah pondasi, menanam bibit untuk membenahi pembelajaran kepada anak-anak di pelosok negeri.

Sayapun mulai memikirkan apa yang telah terjadi, apa yang dilakukan, dan apa solusi yang akan dilakoni. Terbersit sekilas, kabar anak-anak. Apa yang saat ini mereka lakukan, banyak belajar atau sibuk bermain. Lupa atau tidak dengan materi pembelajaran yang dulu pernah saya sampaikan. Bagaimana nanti dengan nasib kenaikan kelas. Memungkinkan atau tidak dengan kondisi nyata yang saat ini terjadi di lapangan. Akhlak mereka sungguh jempolan. Namun sayangnya bertolak belakang dengan nasib pembelajaran akademik yang nyata-nyata SK-KD-indikator harapkan.

Belum lagi produk pendidikan yang terlalu banyak untuk dikerjakan. Terbersit pikiran untuk mengusulkan agar segera dilakukan proses pemangkasan. Namun, harus mulai dari mana untuk melakukan sebuah penelitian.

Metode pembelajaran yang selama ini saya gunakan. Penanganan dan pengkondisian siswa dengan jumlah yang begitu banyak. Empat puluh tujuh anak harus dikelola dengan baik dan menyenangkan dalam satu kelas. Bagaimana mungkin hal ini harus dilakukan? Ditambah catatannya harus konsisten ketika dipraktekkan. Sebenarnya saya telah menyelesaikan masalah ini, yaitu dengan membaginya menjadi dua kelas, memisahkan anak-anak dengan kriteria bisa dan tidak bisa membaca. Namun solusi membaginya menjadi dua kelas, ternyata bukan menyelesaikan masalah melainkan memunculkan sebuah masalah baru, yaitu kesenjangan antar siswa dan peningkatan angka absen siswa yang melonjak tajam. Emm... Artinya saya butuh sebuah novum baru untuk menyelesaikan masalah ini.

Ada lagi urusan bagaimana bentuk pembelajaran membaca yang tepat. Rasanya saya belum menemukan sebuah metode yang tepat, selain sabar mengajarkan mereka bagaimana seharusnya cara mengeja. Satu per satu, dan harus dipastikan tutorial dengan orang dewasa. Pengalaman di daerah Jawa, memasangkan anak satu per satu dengan teman sejawat rasanya belum hasilkan sebuah solusi yang nyata. Karena bukan malah mengajarkan, anak-anak malah sibuk menyumpah kepada satu dengan lainnya,”Pambodo oce... dasar pambodo”---disertai dengan memukul kepala atau bagian tubuh lainnya. Dan hasilnya, malah saling berkelahi.

Atau masalah lain yaitu soal ujian sekolah. Saya baru belajar bahwa effort yang besar ternyata baru didapatkan jikalau soal ujian dibuat oleh sekolah. Berbeda sekali dengan effort yang dikeluarkan atas soal ujian yang dibuat bersama dalam naungan UPTD. Dana BOS memberikan alokasi dana bagi guru untuk membuat soal ujian. Termasuk biaya penyertaan lainnya, yaitu untuk membayar orang untuk mengetikkan soal, biaya print ke Kota, menggandakan dengan cara memfotocopy atau menggandakan secara manual dengan alat tindes dan tinta hitam (alat fotocopy zaman dulu, yang tidak saya ketahui apa namanya). Jikalau sekolah membuat sendiri, hal ini jauh begitu menyulitkan. Sekolah akan rugi besar, walau ada beberapa sekolah yang sudah memiliki guru yang pandai mengetik sehingga mengurangi sedikit beban sekolah. Saya kadang berpikir, mengapa pemerintah tidak memberikan mesin fotocopy satu per satu saja kepada sekolah, disertai menyiapkan kelengkapan sparepart/pelumasnya di Kota kalaupun dianggap perlu.

Bagi daerah tertinggal, nafsu sekolah untuk memiliki laptop dan printer, rasanya jauh dari sebuah kebutuhan. Butuh support SDM yang ahli, untuk sekedar memberikan pelatihan. Memiliki laptop dan printer setidaknya belum mengurangi angka pengeluaran fotocopy yang jauh lebih besar. Dalam setahun saja, sekolah melakukan 2x Ujian Sekolah, beberapa kali harus melakukan ulangan harian, fotocopy surat edaran, fotocopy berkas akreditasi yang yang besarannya jauh tebal-tebal, atau kebutuhan lainnya menyangkut acara PGRI, KKS, KKG, dan sebagainya. Haruskah semua difotocopy di Kota? Pergi naik kapal dausawk dan pulang berhari-hari karena sulitnya ases perjalanan yang ada. Menulisnya dengan menggunakan karbon sampai tangan terkulai lemas, juga bukan solusi kemajuan yang nyata. Persoalan lainnya menular pada mutu pendidikan yang ada. Hanya persoalan ‘menggadakan’, guru jadi malas memberikan ulangan dan portofolio kreatif lain kepada siswanya. Hanya persoalan ‘menggandakan’, program sister school tidak dapat dijalankan dengan lancar dan terencana. Kebutuhan sekolah menjalankan program sister school adalah adanya transfer rasa dan data. Persoalan mutu sekolah menjadi sama saja, karena tidak lancarnya transfer ilmu dari data yang ada.

Seketika saya letih untuk memikirkan hal-hal bersifat mikro. Dengan sendirinya pikiranpun bergegas segera melompat ke alam yang makro. Ini tentang dana BOS. Ini masalah evaluasi penerimaan dana BOS. Beberapa sekolah memasukkan nama fiktif ke dalam proposal permohonan dana BOS. Mengapa? Karena semakin banyak nama siswa maka alokasi anggaran dana BOS pun akan semakin banyak teralokasikan. Solusinya? Entahlah. Melihat nama-nama siswa dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 dari 127 sekolah, hanya di Maluku Tenggara Barat saja rasanya adalah bukan sebuah pekerjaan yang ringan. Lantas, apa yang seharusnya dilakukan oleh Dinas Pendidikan? Pikiran saya seketika berusaha keras untuk menemukan sebuah jawaban, namun buntu. Pending. Hal ini tak lain terbentur dengan ketidaksiapan pegawai Dinas dengan perlengkapan teknologi yang sudah maju. Dinas Pendidikan di daerah belum siap, sehingga lagi-lagi seakan negara selalu dikecewakan.

Atau masalah lain, yaitu soal sertifikasi. Kenyataannya di daerah timur, memang lebih banyak guru olahraga dan guru agama ketimbang guru mata pelajaran. Sertifikasi guru dilakukan guna meningkatkan pendapatan guru diimbangi dengan kewajiban guru yang harus menambah jam pelajaran kepada siswa di sekolah. Padahal yang terjadi di lapangan, menjadi pertanyaan besar bagaimana cara guru agama dan guru penjas menambah jam pelajaran. Karena yang dibutuhkan bukan pelajaran agama atau penjas yang lebih banyak melainkan pelajaran pokoklah---MTK, Bahasa Indonesia, IPA, IPS---yang dibutuhkan.

Tercatat pula dalam refleksi saya terjadi dikotomi antara guru tematik dengan guru kelas tinggi. Implikasnya bermacam-macam. Mengisi kelas kosong, guru kelas tinggi tidak dapat diharapkan begitupun dengan sebaliknya. Walau keduanya memiliki skill mengajar yang berbeda, bukankah setiap tahun ada rolling guru!? Mengapa dikotomi ini berlaku dan tidak diturunkan dalam sebuah kebijakan nyata. Sebuah kebijakan yang mengharuskan semua guru memiliki kompetensi dalam semua lini kelas yang ada.

Permasalahan kelulusan kelas, dari standar minimal, pembenaran jawaban atas soal UN sampai sogok untuk meluluskan siswa (atau bentuk dan pola yang lain). Dan semua itu benar memang terjadi di lapangan. Hal ini rasanya membuat masalah pendidikan terlalu banyak. Belum selesai semua masalah terjabarkan, sebuah getaran mengagetkan saya seakan menyuruh untuk segera menghentikan apa yang tadi sempat terpikirkan.

Keadaan cuaca yang gelap. Kabut yang bergumul, menjadi satu bersama awan. Mereka tiba-tiba menjadi abu-abu, dan kemudian seketika langsung berwarna hitam. Tak lagi terlihat rumah-rumah tergambar di atas udara. Tak lagi terlihat garis tegas memotong rindangnya pepohonan yang menunjukkan sebuah jalan. Semua kelabu. Sejenak terang, namun tak lama kemudian samar. Tak ada lagi sinar yang bertengger di luasnya langit-langit bernuansa ketimuran. Seakan pesawat hebat bertengkar. Melawan musuh awan dan hujan yang akan menghalau hendak menjatuhkan siapa yang lemah di telan zaman.

Ketikan ini seakan mendayu, mengawang di atas udara, yang sayapun tak tahu ada pada ketinggian berapa. Sudah terhitung dua kali pramugari mengingatkan kami--penumpang pesawat, untuk menggunakan sabuk pengaman karena cuaca yang tidak baik saat penerbangan. Dilanjutkan penjelasan dari co. Pilot bahwa “saat ini kita sebenarnya telah berada di atas bandar udara Hasanudin, Makasar. Namun, karena cuaca kurang baik maka sedari tadi kita sudah berputar-putar sekitar 10-20 sprin di angkasa menunggu cuaca membaik baru bisa mendarat”.

Menegangkan.

Pikiran sayapun mengawang-ngawang, takut-takut tak selamat sebelum melanjutkan sebuah evaluasi apa yang tadi sempat terpikirkan. Berputar-putar, memikirkan hal-hal yang sungguh tak masuk akal. Memikirkan hal yang jauh berbeda, 180 derajat dari pikiran awal tentang nasib dunia pendidikan. Saya malah mulai melantunkan, “Apa yang akan saya bawa saat tenggelam? Laptop? Dompet? Kaki katak/peralatan snorkeling (karena saya membawanya). Atau apa yang akan saya bawa ketika saya masuk ke dalam air?” Pikiran aneh, tapi entahlah. Sempat bertanya dalam hati, apakah banyak orang berpikir pula, untuk membawa sebuah peralatan ketika akan melakukan proses pendaratan darurat!?

Diam dan kembali tenang. Pesawat berusaha memulihkan lambung-lambungnya dan kembali berjalan lantang.

Pen-diiiii-diiiii-kan.

Nafas yang kembali bernada panjang. Menghembuskan kantung udara yang seakan dalam. Membuat sebuah tanda tanya besar. Jangan-jangan memang benar. Saat ini, saya sedang melakukan pendaratan darurat? Tercebur dalam kisaran arus dunia pendidikan. Kalaupun benar, apa sebaiknya yang lebih dulu harus saya lakukan?

Jika Dahlan Iskan bisa melontarkan sebuah motto: Kerja! Kerja! Kerja! Sayapun tak mau kalah menyuarakan sebuah motto: Pikir! Pikir! Pikir!

Saya tetap optimis, bahwa dari pendaratan darurat seharusnya saya juga bisa berpikir jernih tentang masalah pendidikan secara mikro dan makro. Bukankah Dahlan Iskanpun bisa memangkas proses birokrasi yang berbelit walau ia adalah orang media. Pikirannya selalu out of the box. Ia bukanlah orang pintarnya perusahaan listrik negara. Gumamnya, ia hanya orang bodoh dari sekian banyak orang pintar lulusan terbaik bangsa. Ia mengatakan bahwa bukankah kita hanya butuh teman baru bernama: Antusias! Benar, kita hanya butuh teman baru bernama, antusias. Sebuah teman baru atas terbukanya beberapa pengetahuan akan masalah pendidikan. Seperti filosofi dalam dunia industri bahwa “Kapasitas produksi maksimum suatu industri pada dasarnya ditentukan oleh kapasitas mesin yang paling kecil”. Saat ini ditemukan banyak kabar tentang rendahnya kualitas pendidikan di Maluku Tenggara Barat dengan sekelumit permasalahan pendidikan yang terjadi. Atas hal demikian, saya menjadi semakin bersemangat bahwa sebentar lagi akan ada sebuah kabar gembira tentang cerahnya nasib pendidikan di bumi pertiwi. Dan berbanggalah Maluku Tenggara Barat. Peluang ini merupakan sebuah penghormatan bangsa, yang tidak sembarangan diberikan untuk memotivasi segenap penduduk negeri.

* Terbang di udara, 06 Januari 2012. Semakin suka dengan Dahlan Iskan. Semakin menyelami bahwa permasalahan pendidikan memang tanggungjawab orang-orang terdidik. BUKAN hanya tanggungjawab Pemerintah!


Cerita Lainnya

Lihat Semua