Memberi Tak Harus Punya

Furiyani Nur Amalia 9 Januari 2012

Berapa pahala yang kamu dapat jika kamu memberi sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan? Apa yang membuat hatimu tergerak untuk memberikan dari sebagian yang kamu punya? Apa kamu masih bingung memberi sesuatu kepada orang yang kamu juga bingungkan siapa yang pantas diberi?

Simple, mau ngasih kok repot.

Pengalaman yang sama saya dapatkan ketika saya berada di tengah-tengah masyarakat pulau. Dengan mata pencaharian sebagai nelayan, sebagai petani kopra, pekebun, bisa dikira-kira sendiri berapa penghasilan yang mereka dapat? Tapi, kalau ingin memberi jangan tegur dan ingatkan mereka. Kenapa?

Selama 6 bulan penempatan saya 2 kali sakit sampai terpaksa tidak masuk sekolah, yang pertama karena flu parah dan satunya lagi sakit gigi karena gigi geraham saya tumbuh. Saya hanya tidak masuk satu hari. Karena dimaksimalkan satu hari itu untuk full istirahat. Satu lagi alasannya mengapa hanya satu hari, sebab tidak ingin membuat orang di rumah panik. Apalagi ibu dan bapak angkat saya. Lihat saya hanya makan sedikit saja, mereka bisa menyangka saya sakit, makanan yang tidak enak lah, dan segudang alasan lainnya. Mereka sudah seperti orang tua saya sendiri. Maka dari itu, cukup lah satu hari.

Namun, apa daya Allah punya kehendak lain. Pada saat saya sakit gigi dan ternyata juga flu, saya harus benar-benar istirahat lebih dari 2 hari. Badan lemas ditambah sering memaksakan hujan-hujan. Walhasil memang harus istrihat. Saat itulah banyak murid-murid yang mengkhawatirkan saya. Les sore yang tidak maksimal. Enciknya tidak bisa ikutan main lagi. Di kelas maupun perpus tidak ada yang membimbing mereka. Siang, sore banyak murid saya yang berkunjung, melihat saya istirahat (kata ibu angkat saya) lewat jendela. Bahkan banyak dari mereka yang membawakan saya mangga, memetikkan kelapa muda, membawakan ubi.

Sehingga ketika saya terbangun, ibu saya langsung bilang kalau tadi anak-anak hendak menjenguk saya. Rasa menyesal dan bersalah tiba-tiba muncul kenapa harus sakit seperti ini dan tidak mungkin pula saya memaksakan keadaan tubuh saya. Entah dari mana kabar ini terdengar, seakan seluruh pulau banyak yang tahu kalau saya sakit. Sebenarnya saya tidak mau di cap ‘sakit parah’ sampai banyak orang yang lewat depan rumah selalu bilang “kyapa dang Encik?” (bagaiamana Encik?).

Padahal saya kadang juga nongol di teras rumah untuk sekedar bersih-bersih. Sampai akhirnya, tiap hari ada yang berkunjung ke rumah. Kadang ada yang membawakan sayur, ada yang membawakan ubi, ada yang membawakan kayu bakar saja, atau membawa batok kelapa. Ada oma yang datang ke rumah, hanya memberikan pijat urut saja. Sebenarnya, kalau di pikir-pikir, apa hubungannya orang sakit kok yang dibawakan semacam barang-barang yang ada di dapur semua? Satu lagi kebiasaan yang saya amati dari masyarakat disini adalah rasa tenggang rasa dan tolong menolong yang tinggi. Misal saja, untuk membangun WC di sekolah, wali murid dan warga sekitar itu dengan tanggapnya mau menolong, ada yang menyiapkan makanan dari ikan hasil mengail, sayuran dan ada koki yang bersedia memasakkan. Semua dalam sekali komando saja. Dan setelahnya, mereka akan melakukan itu dengan penuh bercandaan. Dalam kerja bakti dan gotong royong apapun itu.

Lantas, saya dimana? Saya hanya bisa mengamati dan kadang saya masih tertegun, antara heran, takjub, salut dan malu. Kenapa kehidupan seperti ini sudah sangat jarang ditemukan di kota. Kadang tak banyak dari kita juga jika hendak melakukan sesuatu selalu berdasar pada uang (money oriented). Lalu, yang mendasari masyarakat di pulauku melakukan itu apa? Apa karena banyak dari mereka dalam kondisi yang serba apa adanya? Atau memang kebiasaan seperti itu adalah warisan nenek moyang mereka dulu?

Saya pernah tanya ke ibu angkat saya dan pada bunda sekolah PAUD tentang kebiasaan masyarakat disini. Simple sekali jawaban mereka. Mereka malah menjawab pertanyaan saya dengan jawaban.

“Bu, apa setiap kali ada orang sakit, orang-orang disini selalu datang dan kadang membawa apa saja yang mereka punya?”

“Lo, memang kalau mau datang menjenguk harus punya dulu? Kalau mau memberi masa tunggu punya dulu?”

Atau jawabannya begini

“Yah, encik kalau mau jenguk, membawa diri saja kadang bisa menyembuhkan”

Jujur, saya masih belum bisa menemukan jawaban, dalam keadaan yang terbatas dan apa adanya mereka bisa memberikan contoh baik yang saya sendiri lupa esensinya. Esensi dari memberi. Sepertinya masyarakat sekarang harus banyak belajar dari kehidupan masyarakat desa dan pulau. Bahkan mereka berprinsip, dengan hanya datang dan memberi senyum itu sudah memberi. Subhanallah :)

Memberi dan mengupayakan sesuatu dengan segala kelebihan yang kita punya itu baik. Namun, memberi dan menyupayakan seuatu dengan segala kekurangan yang kita punya itu amat dan teramat hebat bahkan paling hebat.

Semoga kita selalu menjadi hamba yang selalu memberi tanpa diingatkan dulu.

Salam, Beengdarat :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua