Apalah Artinya Seorang Pengajar Muda (#2)

Ratih Diasari 2 Desember 2011

Pengalaman Mengajar

 

Pada awalnya semua orang bangga dengan pilihannya, tapi akhirnya tak semua orang setia pada pilihannya. Saat ia sadar bahwa yang dipilihnya mungkin tidak sepenuhnya sama seperti apa yang diimpikan. Karena yang sulit dalam hidup ini, bukan memilih. Tapi bertahan pada pilihan. Sedikit waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan. Tapi untuk bertahan pada pilihan tersebut, bisa jadi harus menghabiskan sisa waktu usia yang dimiliki. Seperti itulah satu kata yang begitu mudah diucapkan tapi begitu sulit untuk diamalkan, yaitu “Istiqomah”.

 

Pada waktu ini, langit telah menampakan warna merah, kuning, orange dan kejinggaannya saat sore padam berganti malam. Pukul 19.00 WIT. Tiga jam sudah berlalu, saya masih duduk manis menemani anak-anak belajar di pelataran rumah Bure, salah satu siswa kelas III SD Inpres 2 Adaut. Sudah malam begini masih saja puluhan anak berdesakan, berhimpit sorong-sorongan, dan tertawa lepas tanda semangat mengerjakan enam soal perkalian yang saya berikan.

 

Dengan pena dan buku seadanya, mereka masih bersemangat mengkalkulasikan bilangan perkalian dengan konsep yang saya umpamakan seperti bakul dan gelondongan kayu bakar. Begitu pula dengan kondisi beberapa anak lainnya. Hanya ditemani dengan lampu neon pijar yang menyala pada jam enam, merekapun secara bergantian mengeja kata demi kata yang belum fasih bagaimana cara mengucapkannya. Saya memang tak sendiri, ada sekitar 18 pasang mata lagi yang terus memandangi saya kala memberikan les membaca bagi anak-anak ini.

 

Hari ini memang waktunya saya memberikan les tambahan bagi anak-anak ini. Senin-kamis sore untuk les tambahan, sedangkan jumat-minggu sore untuk mengajar mengaji. Terus berkeliling seperti itu. Menyambangi rumah mereka satu per satu, berharap orang tua bisa turut peduli atas kemampuan dan perkembangan anaknya kelak, suatu saat nanti. Saya mengajar kelas III sebanyak empat puluh tujuh orang siswa. Dari banyaknya siswa yang ada, ada sekitar tiga puluh orang anak yang belum lancar dalam membaca. Beberapa diantaranya tidak tahu bagaimana cara mengeja, sisanya tidak tahu bagaimana cara membaca huruf F, G, H, M, W, X dan Y. Tak usah heran, saya yakin semua kondisi daerah pedalaman sama. Tak lihai matematika, dan tak pandai dalam urusan membaca.

 

Ingat sekali di awal dulu, pertama kali membuat RPP dengan menurunkan SK-KD kelas III yang sudah paten pemberlakuannya. Realisasi pelaksanaan RPP saat mengajar di kelas, sungguh jauh mengagetkan. Tidak ada tiga perempat anak-anak bisa membaca. Tidak ada tiga perempatnya, bisa membilang bilangan tiga angka. Padahal waktu itu, kuajarkan bilangan tiga angka dengan indikator yang sangat sederhana. Outputnya hanya meminta mereka benar dalam membaca dan benar dalam menuliskannya. Tiga hari berjalan tetap dengan indikator yang serupa. Saya berikan pemanasan, namun tetap saja tak kunjung memberikan harapan yang nyata. Sudah diterangkan mulai dari penjabaran konsep, games sate angka, belajar mencari harta karun tetap saja hasilnya nihil semata. Hanya beberapa saja yang tampak sudah bisa mengikuti pola iramanya.

 

Menulis saja sulit apalagi membacanya. Saya ubah dengan pembelajaran visual, menjadi tugas rumah dengan copy-an gambar tiga angka yang dibagi dengan merata. Angka lima sebagai ratusan harus diberi warna merah, angka delapan sebagai puluhan harus diberi warna kuning dan angka enam sebagai satuan harus diberi warna hijau. Saya yakin perlahan semua pasti bisa, tinggal menunggu kapan waktu menuai itu tiba.

 

Ternyata kenyataannya tidak semudah yang saya kira. Hanya empat orang yang mengumpulkan tugas, yang lainnya tidak menunjukkan sebuah tanda-tanda. Kau tahu kenapa? Ternyata di pulau ini tidak dijual pensil warna ataupun spidol berwarna. Hanya ada pulpen berwarna hitam atau pensil yang berwarna abu-abu. Tak pernah saya sangka, tak ada pedagang yang mau menjual barang dagangan berupa pensil warna, baju seragam atau hanya sekedar sepatu olahraga. Alhasil, menyebrang ke Saumlaki dengan kapal dausawk, semua kebutuhan itupun baru dapat terpenuhi.

 

Ganti hari, ganti pelajaran. Hari lain saya ajarkan mereka pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Saya berikan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tentang Sumpah Pemuda. Saya mulai pembelajaran dengan menyanyikan lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” secara bersama. Tak saya sangka mereka jauh lebih kreatif dari saya yang sudah hapal lagu di luar kepala. Mereka mengubah kata “Merauke” menjadi “Angwarmas” yang merupakan pulau kecil, tak jauh di depan mata. Sungguh super, menakjubkan, luar biasa!

 

Lantas saya lanjutkan dengan membuat peta Indonesia yang meliuk indah, sebagai penggambaran yang ala kadarnya. Saya sampaikan hamparan pulaunya merupakan satu kesatuan dalam tanah air Indonesia. Mereka tercengang, mungkin takjub, mungkin tak mengerti apa maksud ibu guru menjelaskan semuanya. Namun tak lama tiba-tiba saya dengar lantunan mulut kecil mereka berbicara. Memberikan jawaban, mengeluarkan beberapa kata-kata. Sebagian dari mereka menyebutkan Pulau Angwarmas, Pulau Nuyanat, Pulau Wedas, Pulau Kora dan Pulau Adautubun. Tak lebih. Bukan Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, apalagi Papua. Sungguh ‘luas wawasan’ mereka, bisa menyebutkan pulau-pulau yang dekat berada di seberang sana. Tak lama sayapun jatuh pingsan tak mengira ada saja kejadian yang sungguh menginspirasi, cerdas, jauh di atas kalkulasi saya yang rata-rata.

 

Hidup itu keras, maka gebuklah! Sebuah ungkapan optimis yang selalu kusuka dari buku Ipung karya Prie JS. Namun dalam refleksi ini, tak selamanya ternyata hidup itu harus selalu digebuk! Hidup itu keras maka seharusnya hidup itu digarami, dibanting, diinjaki, dikuliti, dimasak, direbus, dididihkan, dipecahkan, diperas sampai keluar santan-santan kanilnya seperti membuat santan untuk kolak. Mendidik anak-anak seorang diri memang tak enak. Tapi, sendiri mengajarkan mereka untuk mengerti adalah jauh lebih lezat karena dapat membuat kita jauh lebih kuat. Tempaan hidup sebagai pengajar muda tak seberapa dibanding tempaan anak-anak yang sudah lama hidup di negara yang berdaulat. Mau sampai kapan menangisi malam yang tak kunjung pagi? Mau sampai kapan berteriak pada awan yang tak kunjung putih? Cahaya itu telah ada pada orang yang sabar menanti. Sabar menanti sebuah kepastian kapan anak-anak bisa membaca sendiri.

“Beranilah bermimpi, dan bangunlah untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Jika kesempatan menghampiri, itu baik. Namun jika tidak, ciptakan saja kesempatan itu.” (Denias: Senandung di Atas Awan)

 

Refleksi

 

Baru les tambahan seminggu saja, sudah ada tiga karung mangga, dan satu kantung garam yang memadati rumah me’tua di pelataran muka rumah. “Ibu guru ini baik sekali, mau mengajari Meki, jauh-jauh ke sini” seru Mamak Meki pada saya yang tak lama beranjak pergi meninggalkan rumah kediaman mereka. Entah mengapa setiap gelagat saya selalu diperhatikan oleh masyarakat desa. Mulai dari mengajak anak-anak studi banding ke Puskesmas dan Kantor Desa, mengikuti lomba 17-an yang waktu itu mengelilingi desa, menjenguk siswa setiap minggunya, dengan mengunjungi langsung rumah murid-murid yang tidak pernah masuk sekolah, mengajar mengaji yang dilakukan setiap hari di rumah Isna, memimpin senam pagi di muka halaman sekolah, atau sekedar menimba air di sumur bersama milik warga.

 

Padahal apalah artinya seorang pengajar muda. Datang tak lama dari Jakarta. Hanya berbekal pengalaman mengajar yang ala kadarnya. Hanya berniat belajar dari masyarakat hebat, yang sebenarnya tak jauh ada di depan mata. Hanya menyelesaikan sepersekian persen masalah pendidikan saja, yang ada di Indonesia. Hidup sebagaimana masyarakat hidup, membuat diri ini banyak belajar dari apa yang sebenarnya telah ada. Apalah artinya seorang pengajar muda. Apalah artinya keberadaan satu orang pemuda. Tanpa niat perubahan dalam diri pelaku pendidikan yang sebenarnya, maka lagi-lagi semua akan sia-sia tak berbekas ditelan masa.

 

 

Untuk guru-guruku yang sedang berulang tahun pada hari ini,

Sebenarnya kalian adalah sesuatu yang menuntun kami kejalan kupu-kupu.

Kalian sudah menjadi puisi abadi, yang tak mungkin kami temukan di dalam sebuah buku.

Mungkin matahari mengundangmu, tapi bintang lebih memerlukanmu.

Ingatlah satu hal bahwa hidup bukanlah seonggok kertas lusuh dengan bacaan nyata “Ayo Terus Mengeluh”, Tapi ia adalah deretan angka yang harus dikejar sampai dengan angka sepuluh.

 

Tentang Penulis

 

Dulu saya adalah seorang Ketua Teater ketika duduk di bangku SMA (SMA 1 Bogor). Keahlian saya membaca puisi, berdrama, memainkan alat musik membuat saya menjadi berprestasi dibidang-bidang yang menggunakan kemampuan otak kiri. Banyak perlombaan yang saya menangkan. Diantaranya adalah Juara 1 Poetry Reading Contest LIA se-Bogor dan terus menjadi pemenang sampai tingkat Jawa dan Madura, Juara Harapan II Teater SMK 3, Juara 1 membaca puisi “say no to drugs” se-Bogor, dan mengadakan pelatihan teater bersama Teater Mandiri Pimpinan Putu Wijaya.

 

Berjalan di bangku kuliah, diperkenalkan dengan lingkungan yang sholeh, diperkenalkan dengan kondisi Indonesia yang carut-marut, diperkenalkan dengan lingkungan yang menuntut agar diri ini terus menjadi lebih baik, ternyata membuat saya berpikir dua kali tentang apa yang harus saya lakukan untuk dunia dan akhirat. Pada masa ini, saya mulai diperkenalkan olehNya bahwa pencapaian dunia bukanlah ujung kesuksesan sesungguhnya. Tindakan konkret yang bermanfaat bagi orang lainlah yang merupakan kunci seseorang dapat sukses, hidup bahagia.

 

Pada titik ini, capaian-capaian hidup saya berubah bukan hanya tertuju pada diri sendiri maupun komunitas, melainkan sudah menapak pada tataran perubahan bangsa Indonesia yang lebih baik. Salah satu capaian itu terwujud ketika saya mendapatkan dana grant pada bulan Desember-Januari 2009, sebagai Pemenang Beasiswa Penelitian Sayembara Karya Tulis Nasional BPN RI. Semua berawal dari ketertarikan saya terhadap konflik pertanahan di Papua dan berakhir dengan pengakuan skripsi saya dibidang Hukum Agraria. Hasil skripsi saya bermanfaat bukan saja untuk para pihak yang terlibat konflik hak ulayat di Papua, melainkan juga diterbitkan pada jurnal BPN se-nusantara. Dalam bidang akademik lainnya, saya juga lulus kuliah dengan predikat cumlaude, sempat menjadi Asisten Peneliti dalam Penelitian “Pengelolaan Hutan Wonosadi, Gunung Kidul” pada Januari-April 2010 dan sempat menjadi Kordinator Sekolah Anti Korupsi SMP-SMA Teminabuan dalam KKN Tematik Sorong Selatan pada tahun 2009. Dalam bidang kemahasiswaan, pada tahun 2008-2009, sayapun pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa, atau disingkat PEM FH UGM. Dan secara bersamaan sempat menjabat sebagai Kepala Departemen Pembinaan dan Pelayanan Umat, Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM, dan Kepala Departemen Syiar Pesantren Mahasiswi Darush Shalihat, PMi-Darush Shalihat.

Sebelum mengambil keputusan untuk bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), saya pernah bekerja sebagai Corporate Secretary jo. Legal Officer di Lembaga Pendidikan dan Inovasi GCMednovation (Generasi Cerdas Mandiri Education and Inovation), sekaligus menjadi Manager Operasional Distributor MQ Jernih Jogja Utara pada Juli 2009-Januari 2011. Namun tentu semuanya terhenti. Tawaran seorang teman mengajak saya untuk bergabung dengan GIM, membuat saya berpikir kembali untuk menentukan pilihan diantara dua keadaan ini. Tetap meneruskan kuliah S2 jurusan Kenotariatan UGM yang dibiayai oleh Kantor atau mengambil cuti, melepaskan beasiswa dan mencoba ikut seleksi untuk bergabung dalam GIM? Dua keputusan ini sungguh menyulitkan pada waktu itu. Sampai suatu waktu saya berpikir, apalagi yang saya cari di dunia ini ketimbang mempersiapkan amal terbaik untuk akhirat nanti. Pilihan itupun bergulir sendiri dan akhirnya mengantarkan saya sampai bisa berdiri disini.

 

Ratih Diasari dapat dihubungi melalui email ratih_diasari@yahoo.com atau FB: Ratih Diasari

 

Tulisan dipersembahkan untuk guru-guru se-Indonesia dalam rangka memperingati hari Guru yang jatuh pada tanggal 25 November 2011 nanti.

 

Artikel Terkait: Apalah Artinya Seorang Pengajar Muda (#1)


Cerita Lainnya

Lihat Semua