info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Apalah Artinya Seorang Pengajar Muda (#1)

Ratih Diasari 2 Desember 2011

Awalnya, saya tidak pernah mengerti mengapa saya harus berada disini. Menekuni beberapa hal, yang tak pernah saya alami bahkan pikirkan di alam bawah sadar saya selama ini. Berkutat dengan perangkat pembelajaran seperti SK-KD (Standar Kompetensi-Kompetensi Dasar), pemetaan, jaringan tematik, silabus, ProSem (Program Semester), ProTa (Program Tahunan), RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), penilaian berkarakter, rasanya membuat hidup saya tiba-tiba pening sekali. Berbeda sekali dengan permainan saya sebelum ini, yang berkutat dengan berkas-berkas kontrak, Kitab Undang-Undang Hukum atau delik-delik pidana yang dulunya sempat empat tahun saya pelajari.

 

Lagi-lagi dulu, ternyata saya juga tidak pernah mengerti. Mengapa menjadi guru akan mendapat kebaikan banyak sekali. Hanya mendidik anak-anak untuk terus berlatih, mengajari mereka bagaimana menjadi anak yang berbakti, bisa menjadikan anak-anak untuk terus mengabdi, tapi satu sisi bisa menuai pahala yang mungkin takkan bisa dihitung sama sekali. Allah tinggikan derajatnya, seperti janji yang Ia ungkapkan dalam sebuah kitab suci. Rasanya dulu saya tidak pernah paham mengapa pendidikan itu penting sekali, dan mengapa menjadi guru ternyata merupakan karunia tersendiri.

 

Lagi-lagi, sepertinya saya tidak pernah mengerti begitu mendalami pekerjaan yang teramat mulia ini. Mengapa menjadi guru harus up to date dengan perkembangan terkini? Mengapa menjadi guru harus kreatif dengan banyaknya metode pembelajaran yang harus terus diperbaharui? Mengapa menjadi guru harus dapat menjaga diri? Mengapa menjadi guru harus memiliki akhlak yang baik? Tidak boleh membedakan siswa yang pintar dan sebaliknya. Tidak boleh berkata-kata kasar. Tidak boleh memukul dengan rotan. Tidak boleh meninggalkan kelas untuk sekedar nyafar. Tidak boleh minum-minuman yang haram. Menjadi guru adalah seperti menjadi da’i sejuta umat. Dekat dengan Tuhan, dan didoakan oleh para malaikat.

 

Sayangnya di sinilah saya baru menemukan sebuah pertanyaan lagi untuk menjawab semuanya: Mengapa tidak ada yang mau menjadi guru di sini? di daerah terpencil ini. Di daerah yang kaya ini. Di daerah yang sama isinya akan anak-anak yang ingin sekali bercita-cita tinggi. Bermimpi untuk memajukan daerahnya sendiri. Bermimpi untuk memajukan bangsanya sendiri.

 

----------------

Sebenarnya sama pula kebingungan saya kepada orang lain yang terus mempertanyakan, mengapa mereka bingung kepada saya yang mau mengikuti program Gerakan Indonesia Mengajar_“Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi”_

 

Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang masih merupakan masyarakat miskin menjadi sebuah catatan besar bagi diri ini untuk turut memperbaiki dan kembali meneruskan perjuangan para pahlawan bangsa. Fenomena masyarakat Indonesia yang begitu timpang, terpuruk karena ulah korupsi juga bukan suatu nikmat atas luasnya daerah yang telah kita rebut pada masa penjajahan dulu. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, letak geografisnya yang strategis, hamparan pulau dan pesisirnya yang begitu luas, potensi kandungan flora dan faunanya yang besar dan beragam di dunia, kekayaan bahan tambangnya yang begitu melimpah, seharusnya membuat negeri ini kaya, makmur, sejahtera, bermartabat dan berperadaban tinggi.

 

Namun apa yang terjadi pada negeri ini? Dengan memiliki keindahan alam, kesuburan dan kekayaan alam tetap saja negeri ini menyisakan keterbelakangan, ketimpangan, kemiskinan, dan keterpurukan. Nikmatnya kekayaan alam belum dapat kita rasakan seutuhnya. Hal ini bukan karena masyarakat Indonesia tidak mengetahui begitu luas dan kayanya persebaran sumber daya alam Indonesia, melainkan ini soal kebodohan yang menimpa anak bangsa. Masalah sosial ini bukan tanpa dasar pemberlakuannya, melainkan ada penyebabnya. Kesemuanya ini membentuk lingkaran setan mengkait bersama masalah-masalah hukum, politik dan ekonomi. Masalah sosial ini tentu hanya bisa diputus dengan pendidikan.

 

Saya memiliki harapan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Menjadi bagian dari solusi masalah bangsa saat ini, dan mengambil peran secara langsung dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketertarikan atas konsep pemerataan pendidikan dan penerjunan orang-orang yang berkualitas pada suatu daerah terpencil merupakan alasan bagi saya untuk bersemangat mengikuti program Gerakan Indonesia Mengajar ini. Program ini adalah upaya konkret untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya ingin menginspirasi anak pelosok untuk berani bercita-cita dan berani memperjuangkan cita-cita itu. Tanpa adanya cita-cita, mustahil ketimpangan daerah dapat sirna. Mustahil adanya perbaikan signifikan pada sebuah daerah.

 

Karantina

 

Tetap berjuang, belajar dan teruslah berkarya. Wejangan Prof. Nurhasan selaku Ketua Bagian Hukum Agraria-UGM, tak lama saya dengar maknanya begitu dalam. Segeralah kembali, dengan semangat melakukan perubahan bangsa yang lebih baik. Maju berjuang, tak pandang bulu membantu rakyat yang tertinggal di daerah pedalaman. Banyaklah belajar dari pengalaman. Banyaklah mengambil hikmah kehidupan yang disediakan oleh alam.

 

Tak terasa sudah lebih dari enam bulan, tepatnya tanggal 24 April 2011, kami yang 72 orang terpilihpun dikarantina. Surat cuti mulai dari Dekanat, Kepala Prodi Kenotariatan sampai dengan Direktur Akademik dan Administrasi telah saya berikan. Kini waktunya mengkonkretkan kalimat dalam alinea pembukaan UUD'45. Memperjuangkan nasib mereka untuk mendapatkan pendidikan yang seutuhnya. Mungkin saat ini, Allah menakdirkan agar saya menjadi seorang Pengajar Muda. Sebuah profesi untuk mendidik anak bangsa dari keterpurukan Indonesia. Maju terus, karena lagi-lagi perjuangan itu belum usai, bahkan akan segera dimulai! Ingat sekali kata-kata itu pernah saya ucapkan, kala mengawali keputusan besar dengan pertentangan orang-orang dekat yang kala itu seakan menjadi lawan.

 

Penolakan terbesar yang pertama dan utama, saat harus memilih untuk bergabung dengan gerakan ini adalah datang dari keluarga saya sendiri, yaitu Bapak.

 

Alasan beliau sebenarnya cukup sederhana. Ia hanya ingin anaknya mengambil pilihan yang mendasarkan pada ketentuan alam yang berlaku. Mengambil pilihan umum untuk bekerja atau belajar pada jurusan yang memang ‘sewajarnya’. Tidak dapat dipersalahkan, karena sebagian besar orang tua memang memproyeksikan anaknya seperti itu. Begitu juga dengan Bapak. Bapak adalah pribadi yang berjalan di areal kejelasan. Jelas karier, jelas pendapatan, dan jelas dapat hidup menyambung masa depan. Bapak menginginkan agar saya cepat lulus dan menjadi PNS di suatu departemen yang bergengsi. Standar, klasik yang penting bisa dijalani. Tentu tidak usah basa-basi, karena esok juga akan menjadi seorang istri. Ya, begitulah bapak.

 

Waktu itu, saya yakin gumamnya takkan lama bertahan, kalau tekad sudah bulat tertanam. Tinggal bagaimana kita mau membuktikan, sebuah keseriusan memilih jalan perjuangan. Sampai pada akhirnya, hari itu pun tiba. Hari penerjunan penempatan ke daerah Maluku Tenggara Barat, yang harus dicapai dengan beberapa jam waktu perjalanan. Sungguh tak tega sebenarnya melihat wajah sendu beliau yang seakan tegar mengantarkan saya ke Bandara. Hanya mengajar anak pedalaman saja, yang saya ikhtiarkan untuk dapat menjadi amal terbaik beliau kelak manuju surga. Bangganya saya memiliki bapak, terima kasih karena sudah mau berbeda. Membuat saya tegar bertahan, mempertanggungjawabkan pilihan ini kepada nusa dan bangsa.

 

Penempatan

 

Warna dasarnya jernih. Terlihat ada yang hitam, abu-abu, hijau, biru dan putih. Di dalamnya ada bintang laut yang besarannya tak pernah dijumpai. Ada rumput laut yang sedang menari berlenggok kanan dan kiri. Ada ikan yang tak sengaja dekat menghampiri. Ada pasir putih yang begitu indah untuk dinikmati. Ada siput yang mengumpat diantara rerumputan laut yang sebenarnya tak mati, dan ada air laut yang begitu asin sekali. Semua terlihat kontras bergradasi dan sayapun tak mampu berucap lagi.

 

"Asin".

 

"Asin". Saya ucap dua kali. Tak sengaja sambil meludahkan sisa airnya dengan muka yang ditekuk dan alis yang didekatkan tak sengaja mengkerut.

"Asin banget ". Gumam saya lagi diimbangi gerakan mulut yang langsung membuang air laut yang pada waktu itu coba saya cicipi penasaran apa rasanya. Untuk pertama kalinya dengan sengaja saya tergerak untuk mencoba air masin di pelabuhan. Sepanjang pengalaman, saya memang tahu bahwa air laut itu asin, tapi ini lebih asin lagi. Anak-anak yang melihatpun tertawa cekikikan melihat gelagat saya yang dipandang kurang kerjaan.

 

Retoris, sungguh retoris. Engkau akan jadi retoris di pulau ini. Ingat kata-kata saya ini. Banyak rasa, banyak warna, banyak fenomena, dan semua begitu berlebih. Sampai kita bisa mengeluarkan pertanyaan atau pernyataan yang sebenarnya itu pernah dirasakan, namun beberapa hal yang pernah dirasakan tadi ternyata bisa jauh lebih indah, jauh lebih nikmat, jauh lebih besar dibanding potret pengalaman sebelumnya.

 

Inilah gambaran saya terhadap wilayah terluar nusantara yang jarang terjamah oleh masyarakat Jawa-Jakarta. Tak menyangka sayapun sudah berdiri disini. Berdiri di pasir putih yang indah ini. Memang harus benar-benar niat jika ingin pergi mengunjungi saya disini. Untuk mencapai daerah saya, pertama harus mengarungi udara menuju Ambon selama 3,5 jam, kemudian mengarungi udara ke Saumlaki selama 2 jam, dan di akhiri dengan berlayar melewati Laut Arafuru menggunakan motorboat ke Pulau Selaru selama 2-3 jam. Ya, Laut Arafuru. Mau tidak mau, saya harus sering menyebrangi laut Arafuru. Kepulauan Selaru yang dikelilingi Laut Arafuru memaksa saya harus selalu siap dengan perlengkapan kedap air saat menyebrangi Laut Arafuru. Belum lagi buaian ombak yang tinggi kadang sudah cukup membuat saya berkonsentrasi pada perut yang menari, berlari, naik-turun, mual, dan rasakan kegetiran makanan yang selalu tertumpahkan dalam perjalanan keberangkatan. Tak pernah sadar sempat melewati pulau-pulau kecil, seperti Anggormase, Pulau Nuyanat, Pulau Batbual, Pulau Batkawat, dan Pulau Nustabung rasanya membuat diri ini ingin lagi, mengulang kembali, melihat pulau-pulau yang sempat terlewati. Tapi perasaan itu kemudian cepat hilang tak lagi ditemui, karena 200 meter dari pelabuhan sudah tampak rumahku di komplek guru yang ada di pojok sebelah kiri.

 

Inilah selayang pandang gambaran tempat tinggal saya yang baru. Tempat tinggal yang membawa saya bisa menikmati keindahan alam yang jauh lebih seru. Inilah Desa Adaut, Kecamatan Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Pulau terluar nusantara yang bisa dijajaki dengan motorboat ke Australia dalam waktu 2-3 jam, atau ke Timor-timur dalam waktu 1-2 jam. Begitu dekat. Begitu mudah. Walau tak pernah saya bayangkan apa yang terjadi jika tiba-tiba kapal kami karam di sana.

 

Desa Adaut, Kecamatan Selaru. Satu-satunya daerah penempatan Pengajar Muda di MTB yang bersinyal. Bisa bersinyal, tentu dengan modal membeli antena sinyal di toko cina dan tangan yang kuat untuk lama bertahan di antena sinyal. Tiga bar dengan tulisan ‘Edge’ saja, sudah cukup lumayan, apalagi ditambah dengan listrik yang menyala dari jam 18.00 ke jam 06.00 WIT tentu membuat saya cukup tenang dan nyaman berada disini.

Jika malam tiba, awalnya saya pikir desa kan gelap gulita. Lampu neon yang menyala hanya mampu terangi ruang tamu di bagian dalamnya saja. Tapi yang saya pikir ternyata sungguh jauh berbeda, karena bintang bertaburan begitu banyak di ruang angkasa raya. Malam yang bertaburan bintang. Disinilah baru jelas saya dapat melihatnya. Baru saya pahami itulah sebenar-benar makna cintaNya. Baru saya pahami begitu adilnya Ia ciptakan kerlip nyalanya. Ditempat yang jauh tak pernah disangka sebelumnya. Ia begitu banyak, membuat geli, bergelayutan, berdekatan, bercahaya tak pandang suasana. Jika sedih ia hadir berkelip, jika senang ia asyik berkedip, jika marah ia terus saja tambah bercahaya. Andai saja banyak manusia yang mengerti akan titik kehadirannya. Mungkin akan banyak lagi manusia yang selalu bersyukur karena Allah adil berikan kerlip kebahagiaan pada setiap orang dimanapun mereka berada.

 

----------------

 

Sebenarnya ada tujuh orang pengajar muda yang diterjunkan di Maluku Tenggara Barat (MTB), dengan persebaran daerah yang saling berjauhan. Tidak ada sinyal di masing-masing daerah maupun alat penyambung komunikasi (red: nelayan) yang secara berkesinambungan dapat mengabarkan keadaan kami. Kami disebar di pulau-pulau kecil yang sama sekali dipisahkan oleh lautan. Tepatnya untuk mengunjungi daerah penempatan, kami harus menyebrangi Laut Arafuru menggunakan kapal ferry atau ketingting dengan bayang-bayang akan selamat atau mati karena ombak yang selalu berayun tinggi. Banyaknya lekuk pulau yang membentuk selat, kadang juga memperpanjang rute perjalanan kami, karena harus berputar untuk pergi ke pulau yang sekedar ada di belakang.

 

Gambaran geografis desa kami tentu sangat beragam. Disini kami tersebar ke dalam tujuh lokasi, dengan dua lokasi diantaranya tidak tercantum letak keberadaannya di peta Indonesia. Wajar saja, karena kepulauan Tanimbar merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas 85 buah pulau, dengan rincian 57 pulau telah dihuni dan 28 pulau lainnya belum dihuni. Dissa di Pulau Yamdena, Dedi dan Bagus di Pulau Molu, Matilda di Pulau Larat, Sandra di Wuar Labobar yang akhirnya dipindahtugaskan karena sakit ke Pulau Wunlah serta Saya dan Arum di Pulau Selaru, pulau terluar sekitar 150 Km yang langsung berbatasan dengan negara Australia.

 

Dengan luas wilayah sebesar 52.996 Km², kabupaten ini didominasi oleh lautan sebesar 42. 892,28 Km². Mau tidak mau, untuk kebutuhan kordinasi kami membaginya kedalam ‘Anak Arafuru Bawah’ (Saya, Arum dan Dissa) dan ‘Anak Arafuru Atas’ (Matilda, Sandra, Dedi dan Bagus). Beda dikeduanya adalah dalam penggunaan transportasi laut. Untuk sampai ke kota, anak arafuru bawah cukup dengan ketingting atau bus, dengan waktu yang kapanpun bisa kecuali hari Minggu. Berbeda dengan anak arafuru atas yang terpatri dengan jadwal kapal ferry jika ingin turun ke kota. Dua minggu sekali, dengan hari keberangkatan yang tidak pasti membuat anak arafuru atas berpikir dua kali untuk pergi satu bulan sekali untuk sekedar berkordinasi. Dengan keadaan ini, membuat kami tentu tidak bisa berkordinasi setiap satu bulan sekali. Jika rutin dilakukan setiap bulan, maka hitungan matematisnya mereka akan di kota selama dua minggu dan kembali lagi mengajar selama dua minggu. Rencana ini tentu tidak bisa kami wujudkan. Alhasil kami sepakat tidak setiap bulan kami bertemu, namun tergantung perayaan-perayaan besar saja, kami akan berkumpul di kota. Tapi kapan? Ini dia yang tidak pernah kami putuskan. Lagi-lagi terkendala karena jadwal perjalanan ke kota dengan ferry yang tidak pernah ada kejelasan.

 

Sampai suatu waktu pada awal bulan Oktober lalu, baru kedua kalinya akhirnya kami dapat bertemu. Itupun anak arafuru bawah harus langsung menyambangi anak arafuru atas dengan menggunakan kapal ferry. Hanya berbekal SD Kristen Wunlah, SD Kristen Adodomolo, dan SD Kristen Wadankou, kami nekat melakukan perjalanan dengan semangat optimis esok akan dipertemukan dengan cara yang telah diatur olehNya. Tidak ada makanan yang disediakan oleh kapal selama perjalanan. Tidak juga ada pelabuhan untuk sekedar berhenti, menambah makanan untuk perbekalan. Tiga hari tiga malam, dengan perjalanan yang harus terus disambung dengan menggunakan sampan. Sebuah perjalanan ruhani yang tidak semua orang bisa merasakan.

 

Memang kadang begitulah kehidupan. Kerasnya hidup seakan seperti batu karang. Sulit terlubangi, tapi mungkin untuk terlubangi jika terus diberi tetesan air dalam jangka waktu yang lama. Cobaan dalam hidup memang sangatlah berat, akan tetapi yakinlah kita pasti dapat melewatinya dengan kerja keras, ketekunan, semangat pantang menyerah, keyakinan serta didukung dengan doa.

 

Kita boleh saja tidak memiliki kompas ataupun peta dalam mengarungi luasnya lautan. Akan tetapi, kita harus yakin. Kita semua diberi anugerah oleh Sang Pencipta sebuah hati yang dapat digunakan untuk menentukan mana kira-kira arah yang tepat dan pantas untuk kita tuju. Oleh karena itu, jangan pernah takut bermimpi, karena hal tersebut tidak akan pernah membuat kita tersesat.

 

----------------

Hari ini lonceng gereja sudah berdentang dua kali dalam sehari. Lonceng pertama terdengar tepat jam delapan pagi, dilanjutkan lonceng kedua yang bersahutan tepat satu jam tadi. Biasa jika terdengar bersahutan di pagi-pagi. Pagi yang langka, pagi yang sunyi, karena hanya didapatkan setelah melewati waktu kerja yang padat selama enam hari. Di hari ini semua kegiatan pelesir dihentikan. Tidak ada lagi kapal dausawk ke Saumlaki. Tidak enak juga hilir mudik di depan gereja, kesana-kemari. Tepat pukul sembilan nanti, semua orang sudah harus duduk tenang untuk sembahyang. Mengagungkan nama Tuhannya, melantunkan lagu pujian.

 

Inilah keluarga dan lingkungan baru saya, di Desa Adaut, Kepulauan Selaru, Maluku Tenggara Barat. Ada 1.118 KK yang beragama kristen, dan sisanya hanya 2 KK yang minoritas Islam. Disini tepatnya saya tinggal bersama dengan keluarga kepala sekolah yang beragama nasrani. Namun tentu hal tersebut tidak terlalu menjadi kendala yang berarti. Dengan latar belakang keluarga ini yang sudah 19 tahun hidup di Banda bersama dengan penduduk mayoritas muslim, membuat keluarga ini menjadi jauh lebih mengerti.

 

Tak pernah sedikitpun keluarga ini membiarkan saya lemas kelaparan. Tak pernah sedikitpun me’tua meninggalkan saya mati kesepian. Ada saja cerita yang beliau berikan, sehingga membuat saya seakan kaya akan pengalaman. Memberikan tempat ternyaman untuk saya tidur, menjaga makan-minum saya dari segala yang haram, membuatkan gentong wudhu agar saya dapat bersuci dengan air yang selau suci, menyiapkan makan sahur maupun berbuka tanpa pernah banyak mengeluh. Semua mereka lakukan dengan tulus, ikhlas, dengan motif kebaikan yang selalu begitu.

 

Akhlaknya baik. Akhlaknya bersih. Keluarga ini adalah tempat saya berkeluh kesah, setelah doa dan pengharapan yang biasa saya sampaikan pada Allah semata. Belajar dari keluarga ini membuat saya selalu merasakan hikmah, bahwa sebenarnya Allah masih membimbing saya untuk mendekatkan diri ini senantiasa padaNya.

 

Artikel terkait: Apalah Artinya Seorang Pengajar Muda (#2)


Cerita Lainnya

Lihat Semua