Pilkada dan Perubahan

Rangga Septiyadi 1 Desember 2010
Saat sedang berbincang tentang kondisi masyarakat sekitar tempat saya tinggal, ibu asuh saya sempat mengatakan satu hal yang menurut saya penting untuk digarisbawahi, “halah siapa pun yang jadi kita tetap saja noreh ojol...” (siapa pun yang memenangi Pilkada atau Pilpres, tetap saja menjadi buruh getah karet) Untuk kita yang pernah tinggal di kota besar, tentu kita merasakan betul gegap gempitanya masa Pilkada atau masa Pilpres. Begitu juga yang saudara-saudara kita di desa rasakan. Mereka pun merasakan hal yang sama. Bahkan, mereka juga ‘kecipratan’ arus perputaran uang yang cepat pada masa pemilihan tersebut. Ada yang dapat Rp. 30.000, ada yang Rp. 20.000, plus kaos kampanye para calon. Saat dikumpulkan di pusat kota, mereka memaknainya sebagai masa untuk jalan-jalan. Beda sama sebagian besar kita yang justru benci model-model kampanye iring-iringan yang memacetkan lalu lintas. Ketika saya bertanya, kenapa mau saja menerima uang sekecil itu –bensin dua liter di sini sudah Rp. 12.000, belum makan dan minum-, jawabannya adalah seperti tadi itu, sekedar untuk jalan-jalan saja. Lagi pula, siapa pun yang terpilih, menurut ibu asuh saya, tak akan ada bedanya. Maka di sini, tidak ada korelasi antara proses Pilkada atau Pilpres dengan perbaikan kualitas hidup warganya. Dulu saya pernah mendengar seorang pengamat di televisi berkomentar tentang tingkat partisipasi Pemilu yang rendah di Amerika Serikat. Dia bilang, hal itu karena masyarakat di sana sudah mandiri secara ekonomi. Mereka tidak tergantung dengan kebijakan ekonomi pemerintahan yang memang liberal. Jadi agak mirip ya sama kondisi masyarakat di sekitar saya tinggal; sama-sama mandiri, tapi yang satu ekonominya elite, yang satu lagi elit (ekonomi sulit). Dalam kondisi elit yang seperti itu, rasanya negara menuntut terlalu besar; nasionalisme yang tinggi. Logis jika sebagian rakyat kita di perbatasan lebih suka ada di Malaysia ketimbang di negara sendiri. Logis jika masyarakat di pulau perbatasan biasa saja ketika pulau tersebut disengketakan. Maka PR terbesar semua pemimpin kita adalah memastikan bahwa setiap masa pemilihan pemimpin adalah masa datangnya harapan baru (new hope) untuk masyarakat. Sehingga pelantikan pemimpin baru adalah masa datangnya perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Di Bengkalis ini, sekian lama masa otonomi daerah sudah berjalan, tetap saja listrik dan jalan menjadi masalah yang harus dihadapi. Listrik yang terbatas hanya di beberapa daerah, sebagian sering mati, sebagian lagi pakai diesel –dengan harga solar rata-rata Rp. 6.000 per liter-, dan jalan yang banyak rusak terutama jalur lintas desa –kebetulan saya baru saja keliling pulau Bengkalis, hehe-. Intinya, harus ada perubahan yang signifikan ketika pemimpin baru itu lahir. Bisakah ini dijawab oleh para pemimpin di negara ini? Tak hanya tingkat kabupaten tapi juga tingkat negara? Semoga!

Cerita Lainnya

Lihat Semua