Karena Bahasa Juga Soal Rasa

Rangga Septiyadi 23 September 2011
Gue, Kamu, Saya, Elo, Anda, Kula, Awak, Dikau, Kowe, Dalem, Antum Beberapa kata memiliki makna yang kurang lebih sama. 'Saya ', 'aku ', dan ' gue' adalah salah satu contohnya. Tapi, seperti judul di atas, bahasa juga memiliki rasa. Maka, bukan hal yang dianggap sopan ketika kita menggunakan ' gue' ke guru kita, juga bukan hal yang nyaman di telinga saat kita menggunakan ' saya' saat ngobrol di warkop dengan kawan akrab kita. Ada di komunitas yang menggunakan bahasa Jawa tentu hal baru untuk saya, yang lahir dan besar di Jakarta. Awal datang ke sini, saya tidak terlalu paham apa itu 'reti ', 'kuwi ', atau sekedar apa beda 'madang ' dengan 'mangan ' . Ketidakpahaman itu tentu mendatangkan keterkejutan tertentu. Apa lagi saat merasa dibicarakan oleh para folks ini dengan 'de - e' (dia) . Tapi, ternyata keterkejutan itu juga dialami oleh beberapa teman yang berasal dari Jogja atau daerah sekitarnya. Apa pasal? Sederhana, 'rasa' dalam penggunaan bahasa Jawa di sini seperti agak hilang. Tak ada pilihan kata yang berbeda, antara berbicara dengan teman dan berbicara dengan orangtua. Tidak ada 'tilam ' atau 'tiyang '. Tidak ada ' kula' atau 'dalem' , hanya ada 'aku ' atau 'inyong' . Maka rasa menjadi lebih hambar dalam berbahasa. Di Amerika atau di Eropa, tidak ada sapaan 'mas' atau 'abang' . Panggilan terhadap orang yang lebih tua langsung menyebut nama. Suasana egaliter lah yang muncul dalam interaksi. Lalu, apakah absennya pilihan kata yang beda (halus -biasa-kasar ) di masyarakat Jawa Rupat ini bisa diartikan bahwa prinsip egaliter dipegang teguh oleh mereka? Jawaban saya setelah beberapa bulan di sini jelas; tidak. Rangga Septyadi

Cerita Lainnya

Lihat Semua