info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Dari Ikut KKG Sampai Perp

Rangga Septiyadi 15 November 2010
Pagi hari Sabtu tanggal 13 November 2011, sekitar pukul sembilan pagi, saya diajak untuk turut serta dalam kegiatan rutin KKG gugus IV. KKG adalah kependekan dari Kelompok Kerja Guru, sebuah unit perkumpulan guru tempat guru saling sharing. Sharing cara belajar, materi ajar, penyampaian informasi dari pusat, sampai program pengembangan guru. Semuanya dilakukan di sini. KKG gugus IV ini terdiri dari tiga sekolah, SDN 35, SDN 55, dan SDN saya sendiri yaitu SDN 39. Berdasarkan pengamatan, jumlah yang hadir adalah sekitar 40 orang. Walau seharusnya, kata Bang Syamsir, yang hadir harusnya adalah 70-an orang. Agenda KKG hari itu adalah apa yang disebut di sini sebagai peer teaching. Aktivitasnya sendiri adalah yang kita, para Pengajar Muda, juga pernah melakukannya, yaitu micro teaching. Ada dua orang hari itu yang menjadi guru di peer teaching, Pak Mus Mulyadi (dari SDN 39) dan seorang lain dari sekolah lain. Selain guru dan kepala sekolah ketiga SD ini, yang juga hadir adalah Pak Pengawas Sekolah, ketua gugus Pak Amran (biasa dipanggil Pak Ucok, juga adalah kepala sekolah SDN 35), serta ketua KKG yaitu Pak Anwar (guru SDN 039). Setelah saya memperkenalkan diri di hadapan majelis guru gugus IV, pengawas sekolah menyampaikan sambutan. Dari sambutannya itu, saya diharapkan untuk juga bisa mengisi di sekolah lain serta diminta konsultansinya. Di sini saya agak bingung karena rasanya ekspektasi mereka tidak sesuai dengan misi kehadiran saya di sini yang dibawa oleh IM. Oleh karena itu sepertinya harus ada usaha reorientasi ekspektasi sesegera mungkin supaya mereka tidak kadung jauh memiliki ekspektasi yang salah. Selain dari pengawas di sini, saya juga menemukan ekspektasi yang kurang tepat dari orang lain di sini. Misalnya saja adalah ketika seorang perangkat sekolah menyampaikan harapannya kepada saya untuk menjadi jalur penghubung menyampaikan aspirasi sekolah dalam kebutuhannya akan ruang perpustakaan. Berkaitan dengan pengadaan perpustakaan ini, tentu kita perlu donatur yang bersedia memberikan dana. Saya agak ragu pemerintah kabupaten mau memberikan dana pendirian perpustakaan. Bukan apa-apa, alasannya sederhana saja, yakni bahwa anggaran tahunan sudah ditetapkan. Entah apakah bisa memasukkan satu mata anggaran lagi untuk membangun perpustakaan. Belum lagi jika harus memikirkan kecemburuan yang mungkin muncul di kalangan sekolah lain. Ini tentu semakin mempersulit memasukkan mata anggaran baru. Oleh karena itu, sepertinya memang harus mencari donatur. Maka, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab lebih dahulu sehingga donatur mau berkontribusi pada pendirian perpustakaan ini. Satu, apakah kebutuhan ini mendesak? Dua, apa dampaknya jika perpustakaan didirikan? Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, pertama perlu diulang sekali lagi bahwa di SD ini belum ada perpustakaan. Sementara kita meyakini bahwa perpustakaan adalah gudangnya ilmu dan buku adalah jendela dunia. Kedua, kondisi masyarakat di sekitar sekolah tentu harus menjadi perhatian kita. Kebanyakan masyarakat di desa ini, Desa Pematang Duku, bekerja sebagai buruh kebun karet. Ada juga yang memiliki kebun karet sendiri seperti di RW 06 dan RW 03. Tetapi letaknya jauh dari sekolah. Sementara yang dekat dengan sekolah kebanyakan adalah yang bekerja sebagai buruh kebun karet. Sebagian besar anak mudanya kini banyak yang ke Malaysia, juga menjadi buruh kebun karet. Tetapi penghasilan yang mungkin mereka dapat di Malaysia lebih banyak ketimbang yang ada di sini. Jauh lebih banyak. Paling tidak begitu gambaran dari ibu asuh saya di sini. Dari pengamatan saya, masyarakat di sini sepertinya juga merasa cukup dengan 2H, handphone dan Honda (di sini, motor disebut dengan Honda, apa pun merknya). Untuk memenuhi itu, mereka merasa cukup dengan memiliki keterampilan menoreh karet. Lebih bagus lagi jika bisa ke Malaysia. Itu akan mencukupi untuk memenuhi ekspektasi masa depan mereka. Wajar jika kebutuhan akan pendidikan yang lebih tinggi tidak terlalu besar. Bisa sekolah sampai tingkat SMP saja sudah cukup. Maksimal sampai SMA mungkin. Sekedar untuk membuat bisa baca sambil menunggu postur tubuh yang cukup untuk bisa keluar merantau dan memiliki kecakapan serta tenaga cukup untuk menoreh tanah. Meninggikan cita-cita mereka, mungkin itulah salah satu PR terbesarnya. Banyak saluran yang bisa digunakan untuk meninggikan cita-cita ini. Tapi yang pasti, hal itu harus dilakukan sejak dini. Sebelum mereka sempat berpikir untuk putus sekolah saja (maka di sini, saya semakin yakin pilihan Pak Anies untuk memasukkan para Pengajar Muda ini ke sekolah-sekolah dasar adalah pilihan yang tepat, karena kita harus memastikan anak-anak Indonesia mengenal cita-cita yang tinggi sebelum mereka ‘kalah’ dengan ‘desakan lingkungan’ dan akhirnya putus sekolah). Salah satu saluran untuk meninggikan cita-cita mereka adalah melalui buku. Dari bukulah mereka akan mengenal dunia, akan mengenal sekian banyak ragam pilihan cita-cita. Bahwa cita-cita, bahwa masa depan, bukan hanya menoreh getah karet saja. Tapi masih jauh lebih banyak dari itu, masih jauh lebih tinggi dari itu. Maka buku-bukulah yang perlu didekatkan dengan kehidupan anak-anak ini. Tidak hanya buku-buku yang mendukung proses belajar mereka, tetapi juga buku yang membuka cakrawala pengetahuan mereka. Buku-buku yang mengenalkan mereka dengan tokoh-tokoh dunia yang banyak berkontribusi kepada kehidupan manusia. Buku-buku yang mendekatkan mereka dengan alam yang mereka hidupi. Buku-buku yang meninggikan cita-cita mereka. Di sinilah kebutuhan akan perpustakaan menjadi besar. Harapan saya, perpustakaan yang didirikan bukan hanya menampung buku-buku, tetapi juga alat-alat peraga belajar. Sehingga, misalnya, ketika bicara bumi yang bulat, mereka bisa merasakannya melalui globe. Atau misalnya ketika mereka belajar mengenai tulang-tulang dalam tubuh manusia, mereka bisa melihatnya dengan lebih jelas. Saya berharap perpustakaan bisa menjadi laboratorium ilmu mini bagi bocah-bocah SD ini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua