Malam Jumat Seribu Bintang

Raisa Annisa 11 Agustus 2012

Malam jumat 9 Agustus 2012. Orang bilang malam jumat itu angker dan berbau klenik. Berbagai cerita yang memicu bulu kuduk merinding lainnya juga muncul di malam jumat. Tapi bagi saya, malam jumat ini lain sekali. Malam yang membuat hati saya begitu damai. Di tengah desa, di malam ke 21 ramadhan. Malam menenangkan ini diawali dengan undangan berbuka puasa bersama dari rekan-rekan KKN Unila yang selesai tugas esok hari. Sebenarnya yang punya hajat pak carik (Sek-Des) namun syukurlah karena mahasiswa KKN ini juga merasa senasib sepenanggungan dengan saya, jadilah saya diajak untuk menikmati makanan 4 sehat 5 sempurna yang jarang sekali saya konsumsi selama di desa.

Acara buka puasa begitu akrab, begitu menyenangkan. Mereka sudah seperti adik-adik kelas saya sendiri. Kebetulan di kampus dulu saya memang senang bermain dengan junior. Dan begitupula kehadiran mereka, membuat saya merasa kembali muda. Acara berlangsung hangat dan ditutup dengan sesi foto bersama. Saya harus siap “melepas” mereka.

Selesai buka bersama, saya bergegas menunaikan shalat isya dan tarawih di Langgar terdekat dari rumah. Setelah sampai di langgar dengan menggowes sepeda, anak-anak siap menyambut saya di depan Langgar. Berebut mencium tangan, memarkirkan sepeda, hingga membawakan tas peralatan sholat saya. Ah, pasti saya akan sangat merindukan kehangatan mereka. Kebetulan adzan isya sudah berkumandang. Saya bergegas menuju saf, dan saya kaget, ibu-ibu yang sudah datang terlebih dahulu, tetap mengosongkan tempat “ langganan” saya, saf pertama pojok kiri dekat tembok. Sungguh hal kecil yang membuat saya terenyuh. Saya tidak mau jadi orang yang gila hormat, saya terus menyuruh diri saya menunduk dan melatih terus skill bahasa jawa halus saya supaya saya bisa menghormati warga desa, khususnya ibu-ibu dan mbah-mbah. Tapi mungkin ini juga bentuk *let say* “rasa terimakasih” mereka yang tidak pernah diungkapkan secara langsung.

Sholat isya berjalan seperti biasa. Karena malam jumat, biasanya diantara jeda isya dan tarawih Pakde Parman (Imam Musholla) memimpin tahlil singkat mendoakan para leluhur. Tahlil ini yang biasa di lakukan di senin malam (lihat tulisan saya form over substance). Setelah mengirimkan al fatihah untuk para leluhur pak de parman memimpin doa. Seperti biasa, jamaah yang tidak mendengar begitu jelas hanya menjawab “aminn..aminn” dengan rima yang sudah dihapal dan begitu beraturan. Ditengah doa, saya mendengar suara pakde mengecil, seperti tercekat oleh sesuatu. Ternyata begitu khusyuknya, Pak de parman berdoa sambil menangis. Saya terenyuh, bulu kuduk langsung merinding. Persis yang saya alami 3 tahun lalu di masjidil harom, imam membaca surat dan berdoa hingga menangis. Jamaah juga larut dalam suasana. Tak pelak lagi, saya mendengar ibu-ibu dan mbah-mbah di saf depan sesenggukan menangis. Air mata juga tidak dapat saya tahan. Pakde Parman sukses berat menyentuh hati jamaahnya untuk mengingat Allah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Selesai doa, jamaah melanjutkan tarawih dan witir. Entah mengapa suasana begitu khidmat malam itu. Pakde sesekali menahan tangis ketika membaca surat alfatihah dan surat pendek. Makmum juga masih sesenggukan menahan tangis sisa berdoa tadi. Sholat ditutup dengan pembacaan doa sekali lagi. Meskipun saya tidak mengerti penuh makna doa, (karena dicampur dengan bahasa jawa halus), tapi ketulusan sang pendoa lah yang mampu menyentuh hati. Ibadah selesai dilanjutkan bersalam-salaman keliling diiringi tabuhan bedug dari anak-anak.

Malam semakin larut, saya membonceng nita pulang bersama ke arah rumah. Aldi dan Sigit yang tidak kebagian dibonceng tidak mau kalah. Mereka berlarian mengikuti sepeda saya. Sambil menggowes saya memandang tinggi ke arah langit, “Ayo coba lihat ke atas, banyak ya bintangnya”. Nita menjawab, “Iya bu, banyak dan bagus deh. Hari ini indaaaahhhhhh sekali.” Kamu benar Nita. Hari ini indah sekali ditutup dengan malam bertaburan bintang. Mungkin ini malam seribu bintang, mungkin juga tidak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua