Melukis (di pelajaran) sejarah
Raisa Annisa 3 Mei 2012Hari itu giliran kelas 5 saya ajarkan IPS. Pembahasan di kelas 5 berfokus pada sejarah. Kebetulan hari itu yang dibahas mengenai peran tokoh nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan indonesia. Saya ingat sekali dulu ketika SD, sebagai siswa saya hapal wajah Ibu Kartini, Pak Soekarno, Bung Hatta, dan para pahlawan lainnya. Gambar para pahlawan pun mudah terekam diingatan karena saya bisa mendapatkan gambarnya dimana-mana. Saya bisa menemukan di buku (yang waktu itu wajib beli), di bagian sisi-sisi kelas dan buku tambahan lain. Hal itu terjadi sekitar tahun 2000 di jakarta. Namun, pada tahun 2012 di lampung, kota yang katanya hanya 25 menit ditempuh dengan jalan udara dari Ibukota, yang orang bilang kami (pengajar muda) tidak punya tantangan apa-apa karena daerahnya sudah maju, tak ditemukan satupun gambar pahlawan di sekolah tempat saya mengajar.
Untunglah di buku paket (penerbit tertentu,yang wajib dibeli sekolah atas perintah pengawas) terdapat beberapa foto pahlawan. Saya memulai materi hari itu dengan memberikan instruksi pada siswa untuk mencari nama-nama yang saya sebutkan dan menyebutkan apa peranan tokoh tersebut. “Coba cari yang mana yang merupakan gambar Ir. Soekarno?”... “Ini buk..”, sambil anak-anak menunjuk gambar “Siapa itu Pak Soekarno” “Ketua PPKI, dan Presiden pertama Indonesia bu”, jawab anak-anak serempak sambil membaca tulisan yang ada di buku.
Begitu seterusnya saya menyebutkan beberapa tokoh nasional, juga para pahlawan yang berjuang di medan peperangan. Tanya jawab di akhiri dengan saya memberikan tugas kepada mereka untuk menggambarkan para pahlawan dengan tangan mereka sendiri. Saya katakan, “Bila di sekolah lain mereka hanya membeli foto pahlawan, di sekolah ini kita lukis sendiri.”, kata saya bersemangat. Anak-anak pun tidak mau kalah. Mereka langsung mencari tokoh pahlawan yang mereka ingin lukis. Meskipun tetap ada suara-suara sumbang seperti “angel loh buk-buk, ora iso loh buk buk”. Saya tetap bersikeras memberikan tugas tersebut. Lagipula jam pelajaran masih panjang. Alat mewarnai sudah saya siapkan. Akhirnya suara-suara sumbang itupun menyerah, dan hari itu anak kelas 5 (yang berjumlah 10 orang) tiba-tiba berubah menjadi pelukis profesional.
10 menit sebelum pelajaran berakhir saya meminta para siswa mengumpulkan karya mereka. Dan sesuai teori “multiple intelligence”, saya tidak berharap semua siswa bisa menggambar wajah para pahlawan sesuai dengan aslinya. Tidak semua siswa berpotensi pada seni, dan saya tidak mau memaksakan itu. Namun, apapun hasilnya, semua karya tetap dipajang. Inilah kali pertama, kelas 5 punya karya yang dipajang di kelas. Mereka tidak berhenti memandangnya hingga bel pulang berbunyi.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda