Boy (Tidak Jadi) Berhenti Sekolah I

Andrio 4 Maret 2012

Tak terdengar lagi gelak tawanya meramaikan kelas 6 yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Tak terlihat lagi badan tinggi dengan kulit agak gelap khas pesisir maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal Matematika dengan tekun. Tak ada lagi murid saya yang bernama Boy di kelas ini. Sudah lebih dari sebulan ia tidak menampakkan dirinya lagi di Desa Labuang Kallo.

Orang-orang bilang ia “mengunjungi” Ibunya yang berada di desa tetangga. Namun, kemudian terdengar kabar kalau ia sudah memantapkan hatinya untuk berhenti sekolah; mengikuti langkah saudara-saudaranya yang tidak menamatkan sekolah dasar. Pun ketika saya mengkonfirmasi hal tersebut pada bapaknya, beliau hanya mengiyakan rumor yang beredar tanpa terfikir untuk kemudian membujuk anaknya kembali ke desa guna menyelesaikan pendidikan dasarnya. Setelah berdiskusi cukup lama, beliau menyanggupi untuk membujuk dan menjemput Boy ke desa tetangga agar kembali ke desa untuk bersekolah.

Dua minggu sudah saya menunggu kabar tapi tak ada berita darinya. “Tidak mau sekolah lagi dia Pak. Banyak temannya disana. Mau nyambung sekolah disana saja dia katanya. Kasihan juga dia sama mamaknya (ibu),” ungkap Bapak Boy ketika kami bertatap muka setelah dua minggu lamanya tak bertemu. “Tapi siswa kelas 6 harus ujian di tempat dimana dia telah didaftarkan Pak. Dan Boy harus bersekolah disini sebelum akhirnya dia ke Air Mati (desa tetangga). Saya mohon pengertian dari Bapak,” respon saya. “Kalau dia tidak ujian disini, dia harus mengulang dari kelas 6 lagi tahun depan. Apakah Boy mau?” Bapak Boy kemudian terdiam dan berkata, “Ya sudah diberhentikan saja. Dia tidak mau lagi pulang ke Labuang Kallo.” (hening)

Keesokan harinya, saya melanjutkan kegiatan belajar mengajar seperti biasa tanpa kehadiran Boy di kelas 6. Sudah tidak terdengar lagi berita tentangnya selama lebih kurang 3 minggu hingga saya menemukan seorang siswa sedang berbicara dengan temannya di handphone. Sedang berbicara dengan Boy katanya. Ah, rindu juga ingin berbicara dengannya. Sekadar berbasa basi di awal dan akhirnya saya menyampaikan bahwa akan ada Pra Ujian Nasional di awal bulan Maret. Masih ada kesempatan baginya jika ingin kembali bersekolah dan menggapai cita-citanya menjadi seorang tentara. Namun Boy tidak memberikan tanggapan apa pun, hanya diam yang saya dapatkan.

Beberapa hari kemudian, terdengar suara derap langkah kaki berlari menuju rumah saya. Seorang siswa yang terengah-engah kemudian berkata, “Bolehkah Boy sekolah kembali Pak? Mau sekolah dia katanya.” Saya hanya menjawab sekenanya sambil menatap layar laptop, “Iya, Bapak perbolehkan selagi dia masih mau belajar. Tapi kan dia tidak ada disini. Siapa yang bilang dia mau sekolah lagi?” “Saya Pak,” ujarnya. Terdengar suara khas milik seorang anak yang sudah lama tidak datang ke sekolah, Boy. Saya pun tersenyum simpul sambil menahan haru. Puji syukur karena Engkau telah bukakan hatinya untuk kembali ke desa dan sekolah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua