Boy (Tidak Jadi) Berhenti Sekolah II
Andrio 1 Mei 2012“Dipukul saja Pak. Tidak sopan memang dengan gurunya itu,” ungkap seorang warga ketika melihat Boy melempar tas dan bajunya di hadapan saya, gurunya.
Sudah lebih dari sebulan Boy kembali bersekolah dengan seragam putih merahnya itu. Tidak ada hal yang berbeda darinya. Hari ini, 30 April 2012, Boy tidak datang kesekolah tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan me-rakang bersama bapaknya mencari kepiting, ungkap salah seorang temannya. Di desa ini, hal yang lumrah bagi seorang anak untuk tidak ikut KBM karena harus membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, minggu ini adalah minggu terakhir bagi Boy untuk mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Sepatutnya lah jika dia diberikan kelonggaran untuk belajar dengan penuh di minggu ini. Saya pun berencana untuk mendiskusikan hal ini dengan orang tuanya.
Pelajaran di kelas 6 dilanjutkan hingga jam pelajaran pertama usai. Tiba-tiba keramaian siswa meneriaki Boy beserta 3 orang temannya yang tidak sekolah. Sudah jelas mereka tidak sekolah, tapi bermain ke sekolah tanpa rasa bersalah. Saya keluar kelas dan memanggil Boy yang sedang bersiap untuk melarikan diri. Ketika Boy berada di hadapan saya, saya hanya diam dan meminta dia menemani saya untuk menemui orang tuanya. Terus terang saya kaget dengan “keberanian” yang dimiliki Boy hingga dia berani menantang gurunya seperti itu. Kekhawatiran saya, murid lainnya akan mencontoh tindakan kakak kelasnya.
Ketika sampai di rumahnya, terlihat tak ada seorang pun. Saya meminta Boy untuk mengecek apakah Bapaknya sudah berada di rumah. Dia berjalan dengan cepat dan menghantam pintu rumah hingga terbuka lebar. Bergegas dia mengambil baju dan tas sekolah. Kedua barang itu dilemparkan ke lantai tepat di kaki saya seraya bilang, “Bapak bawa lah semua barang itu. Ndak sekolah lagi saya Pak.” Boy pun meninggalkan saya bersama abangnya yang sudah berada tepat di belakang saya. Belum sempat saya bicara sepatah kata, abangnya langsung menumpahkan kekesalannya pada saya seraya berkata, “Kenapa Bapak marahi dia? Tadi dia membantu Bapak saya kerja me-rakang. Dan dia juga mau berhenti sekolah kok Pak. Cukuplah sampai kelas 6 SD. Ndak perlu dia tamat. Saya saja tidak tamat SD.”
“Saya tidak memarahi dia. Saya pun tidak keberatan jika dia harus membantu orang tua. Tapi bisa dilakukan sepulang sekolah kan? Kalau misalnya harus dilakukan di pagi hari, tak apa lah dia terlambat asalkan bisa masuk sekolah. Jangan sampai dia tidak tamat SD. Tersisa 1 minggu lagi sebelum Ujian Nasional. Saya meminta pengertiannya dan keluarga. Sayang jika ia juga tidak bisa menamatkan pendidikan dasarnya,” ungkap saya pada abangnya. Dan tak ada gunanya memang berdebat dengannya.
Boy sudah lari entah kemana. Tas yang ia lemparkan tadi saya titipkan di rumahnya. Saya kemudian beranjak ke rumah temannya yang lain. Namun, ia mengikuti saya dari belakang. Dan kembali, ia melemparkan tas merah putih itu di depan saya, teman-temannya dan warga desa. Tas itu pun ia tendang. Saya hanya mampu terdiam menahan amarah melihat tingkahnya. Saya pungut tas yang ia buang dan meletakkannya di rumah keluarga angkat dengan harapan ia akan kembali mengambil tas tersebut.
Sempat saya bercerita dengan teman-temannya dan warga sekitar yang ramai menyaksikan kejadian itu. “Dipukul saja Pak. Tidak sopan memang dengan gurunya itu,” ungkap seorang warga ketika melihat Boy melempar tas dan bajunya di hadapan saya. “Tidak lah Pak, Buk. Tak akan ada gunanya kalau saya pukul dia. Akan memantapkan hatinya untuk keluar dari sekolah, pasti itu. Saya yakin nantinya dia akan kembali ke sekolah. Mudah-mudahan saja. Dia anak baik kok,” jawab saya. Kemudian bersama murid-murid yang lain, saya menuju sekolah untuk melanjutkan kembali pelajaran yang sempat tertunda hingga pelajaran hari ini usai. Sekolah kosong, sunyi dan sepi. Waktu yang tepat bagi saya untuk merenungkan kejadian tadi siang.
Terdengar ketukan pintu dari luar dan seorang siswa berucap, “Assalamualaikum, Boy ingin bicara Pak, bolehkah?”
“Waalaikumsalam, iya boleh. Bapak masih di sekolah. Suruh dia masuk,” jawab saya.
Boy masuk ke ruang kelas, menundukkan kepala, tak berani menatap wajah saya. Mungkin dipikirnya saya akan memukulnya habis-habisan.
“Jadi Boy, kenapa datang ke sekolah? Tadi katanya sudah ndak mau sekolah. Pake lempar tas dan baju pula ke hadapan Bapak,” ungkap saya mengawali pembicaraan. “Saya masih mau sekolah Pak, saya minta maaf,” jawabnya.
“Boy, kamu tahu kenapa Bapak marah ketika ketika kamu tidak datang ke sekolah dan berbuat seperti tadi pagi? Karena Bapak dari lubuk hati paling dalam sangat sayang kamu, sedih ketika kamu salah dalam melangkah. Berusaha mengingatkan jika kamu salah bergaul. Jangan sampai masa depan kamu menjadi sia-sia ketika akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah. Tersisa satu minggu lagi Boy. Buktikan pada keluarga dan masyarakat, kalau kamu bukan anak nakal dan bisa menyelesaikan pendidikan di SD Labuang Kallo. Ingat Boy, apa yang kami para guru lakukan untuk kebaikan kamu, karena kami masih sayang sama kamu. Paham? Masih mau sekolah? Besok Bapak tunggu di sekolah. Buktikan kalau kamu memang tulus minta maaf dan ingin berubah,” ujar saya lugas.
Boy pun hanya mengangguk diam.
Selasa, 1 Mei 2012, adalah hari dimana saya mendapat giliran menjadi pembina upacara. Tak disangka, Boy datang ke sekolah dan mengajukan diri menjadi pembawa teks Pancasila untuk saya bacakan nantinya. Ketika gotong royong membersihkan kelas, Boy menjadi siswa yang sangat aktif dalam membantu teman-temannya. Pun ketika guru-gurunya bergotong royong mengecat ruang UKS sepulang sekolah, ia ikut membantu.
AHA momentyang mengesankan bagi saya pribadi adalah ketika kami berdiskusi tentang tipikal Pengajar Muda yang nantinya mereka harapkan akan menggantikan saya di Labuang Kallo. Setelah berdiskusi cukup lama, saya meminta tiap siswa menuliskannya di depan kelas. Dan Boy pun maju pertama kali ke depan kelas untuk menulis: Seperti Bapak Andrio, baik dan ceriah.
*Ternyata tak perlu harus marah dan kasar untuk mendidik anak yang katanya "luar biasa nakal". :) P
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda