Menumbuhkan Empati Sejak dini

Milastri Muzakkar 7 Mei 2012

Betul bahwa sedari kecil sebaiknya anak-anak diajarkan tentang hal-hal yang baik. Karena hal yang baik itu akan dijadikannya kebiasaan selanjutnya. Contoh sederhana adalah menumbuhkan rasa empati kepada orang yang sedang kesusahan.

Sudah empat hari ini salah satu siswa di kelas lima, namanya Dwi, tidak masuk sekolah. Baru kali ini ia tak sekolah lebih dari sehari. Dan tanpa ada kabar. Ketika saya tanya ke salah satu siswa yang kebetulan tetangganya, barulah ketahuan bahwa ia sakit. kabarnya, gejala tipes.

“Sudah ada yang jengguk Dwi belum ke rumahnya?,” tanyaku ke anak-anak di kelas.

Dengan santai, anak-anak serempak menjawab, “kate’ (artinya : tidak ada) bu...!,”

“Oh ya, sebelumnya, kalian biasa enggak menjenguk kalau ada teman yang sakit?,” tanyaku lagi.

Ndak bu...!,” jawab beberapa siswa kembali dengan sikap yang santai.

“Kok bisa?,” lanjutku bertanya. “Yah, dasar bae (artinya: yah..., begitulah, atau bisa juga diartikan: yah..., pengen aja) bu...!,” jawab seorang siswa.

Yang membuat miris adalah ketika seorang siswa sambil tertawa menjawab,” yah...ndak biasa bu. Memang kami dari kelas satu ndak pernah jenguk teman yang sakit bu,” katanya.

Mendengar akumulasi dari kalimat-kalimat di atas, saya memandangi anak-anak dengan pandangan yang seolah kosong. Jauh di dalam hatiku ingin tertawa karena sedikit lucu. Merasa aneh dan bingung dengan kata “tidak biasa sejak dulu”. Dan, puncaknya, merasa miris dengan keadaan, lingkungan, serta orang-orang yang membuat mereka bisa berkata dan bersikap seperti itu.

“Tapi menurut kalian, perlu enggak kita menjenguk teman yang sakit? Untuk apa?,” tanyaku lagi memancing respon anak-anak. “Perlu buuuu...!,” jawab anak-anak serempak.

“Coba misalnya, kalian sakit. Lalu teman-teman kalian datang menjenguk. Gimana perasaan kalian?,” tanyaku lagi.

“Pasti kalau dijengok (artinya: dijenguk) seneng bu ye...! Paca’ (artinya: bisa) cepat sembuh bu,” kata seorang siswa.

Selanjutnya, anak-anak melempar jawaban-jawaban lain secara bergantian. “Bisa beramal bu...,” “supaya senang bu,” “supaya kalau kita sakit, kita juga dijenguk teman bu...!

“Kalau begitu, gimana kalau pulang sekolah nanti kita menjenguk Dwi ke rumahnya?,” usulku ke anak-anak.

“K.O (artinya: oke) bu...!,” jawab anak-anak dengan semangat.

“Kalau kita ke sana, enaknya kita bawa sesuatu kan? Gimana kalau kita kumpul uang seikhlasnya untuk beli buah atau roti di kalangan-istilah untuk pasar setiap hari Rabu yang kebutulan lokasinya di depan sekolah- nanti?,” tanyaku lagi.

“Oke bu...!,” jawab anak-anak lagi.

Seorang siswa pun bergegas berkeliling mengumpulkan uang dari teman-temannya yang mau menyumbang. Sebanyak dua puluh tujuh ribu uang terkumpul.

Saat jam istirahat tiba, saya mengajak tiga orang siswa laki-laki untuk membeli buah-buahan dan roti di kalangan. Saya sengaja mengajak ketiga siswa tersebut karena bisa dibilang merekalah yang paling kurang peduli terhadap segala hal-hal yang berhubungan dengan sekolah. Saya ingin membuat mereka lebih peduli dengan cara sederhana. Cukup memilih buah-buahan apa yang akan dibeli.

Lonceng telah berbunyi tanda jam pulang tiba. Siswa kelas lima pun berkumpul di depan kelas. Tidak hanya kelas lima, beberapa siswa dari kelas lain juga tak mau ketinggalan.

Sebelum berangkat, ada satu hal lagi yang perlu dibereskan. Uang sewa “ketek”. Kebetulan rumah Dwi terletak agak jauh dari sekolah. Biasanya menggunakan “ketek” untuk sampai kesana. Setiap penumpang dikenai bayaran dua sampai tiga ribu rupiah.

Dengan antusias anak-anak kembali mengeluarkan lembar ribuan dari kantongnya masing-masing. “sokongan aja bu,” kata beberapa siswa.

Masih dengan seragam dan peralatan sekolah lainnya, kami menuju laut untuk mencari taxi-nama lain dari ketek yang biasa disewakan. Kami Tidak langsung dapat ketek. Kami harus menunggu dulu. Apalagi kami hanya akan menawar lima belas ribu pulang pergi dengan jumlah penumpang sekitar dua puluh orang. Kami tahu diri sedikitlah.

Akhirnya ada juga ketek yang mau ‘mengangkut’ kami. Rumah Dwi terletak di antara pabrik kayu. Ibu Dwi menyambut kami dengan ramah. Seperti biasa, anak-anak mulai beraksi dengan tingkahnya masing-masing. Ada yang langsung memanjat pohon jambu di depan rumah, ada pula yang langsung duduk di kursi yang hanya ada tiga berjejer di ruang tamu-sekaligus ruang televisi dan kamar.

Dari dapur keluarlah seorang perempuan muda membawa potongan semangka dan krupuk klempang. Tak perlu menunggu lima menit, semua makanan itu ludes oleh anak-anak dalam hitungan detik. Dwi dan ibunya hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak.

“Waduh, ini mau jenguk orang sakit atau mau makan ya?,” candaku setelah anak-anak berebut makanan.

“Maaf ya bu merepotkan,” lanjutku lagi sambil berbasa-basi. “Iya enggak apa-apa bu,” sahut ibu Dwi sambil tersenyum. “

Ditanya dong temannya sakit apa?,” seruku ke anak-anak.

Anak-anak malah tersenyum malu-malu mendengar seruanku. Yah, mungkin karena tidak biasa tadi.

Dwi terlihat sedikit kurus dibanding sebelumnya. Wajahnya terlihat pucat. Meski begitu, di wajah itu terlihat aura kebahagiaan melihat teman-temannya bercanda.

“Kalian seneng enggak jenguk Dwi?,” tanyaku ke anak-anak di atas ketek saat perjalanan pulang. “Seneng bu…! Jawab anak-anak serempak.

“Kasian Dwi ya bu, tambah kurus,” celetuk seorang siswa.

Begitulah salah satu cara saya mulai membangun empati dan rasa kekeluargaan anak-anak sejak dini. Hari ini terbukti bahwa, pada dasarnya, anak-anak bukan tidak punya rasa empati dan kekeluargaan itu. Tapi lingkungan yang tidak menawarkan mereka hal-hal seperti ini. Di sinilah peran pendidik menjadi penting.

Pengalaman hari ini tentu akan tersimpan rapih dalam memori mereka masing-masing. Mungkin tidak cukup sekali, intensitas pengalaman seperti ini dibutuhkan sampai terinternalisasi ke dalam dirinya masing-masing. Sehingga berkelanjutan bahkan menjadi kebiasaan sehari-hari.


Cerita Lainnya

Lihat Semua