Haruskah Ujian Mengorbankan Siswa Lain?

Milastri Muzakkar 4 Mei 2012

Hari ini, Kamis, 27 April, adalah hari pertama kelas enam ujian sekolah (US).  Ujian ini akan berlangsung selama enam hari ke depan. Untuk alasan ketenangan dari gangguan, seluruh siswa dari kelas satu hingga kelas lima diliburkan. Bisa dibayangkan selama enam hari siswa yang diliburkan akan mengalami kerugian berat. Jika dalam sehari ada tiga pelajaran, dikali enam hari, berarti  sebanyak delapan belas pelajaran.  Sementara tak lama lagi kelas satu sampai lima juga akan ujian semester akhir.

Selama ini, umumnya jika kelas enam mau ujian, kelas lain biasanya tidak efektif belajar,  atau sedikit terlantar, dan, paling jauhnya, adalah diliburkan. Alasannya biasanya ada dua. Pertama karena dikhawatirkan kelas lain menggangu konsentrasi kelas enam. Kedua, karena kelas lain dipakai sebagai lokasi ujian.

Jika dilihat dari kedua pertimbangan di atas, secara parsial bisa diterima. Tapi tidak bagi saya jika kita berfikir secara holistik. Pertama, tampaknya kita perlu meredefinisi esensi ujian. Ujian biasanya diidentikkan dengan suasana yang sepi, tidak boleh ada yang berisik. Tempat duduk antara siswa yang satu dengan lainnya tidak boleh berdekatan. Pertimbangannya, supaya tidak saling menyontek.

Bagi saya, masa ujian itu biasa saja. Hampir sama dengan proses belajar-mengajar pada umumnya. Hanya saja, karena pemerintah menetapkan ujian sebagai penanda kenaikan atau kelulusan sekolah. Sehingga  kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua siswa melihat ujian sebagai sesuatu yang sakral. Bahkan cenderung “menyeramkan” karena mereka terbayangi oleh konsekuensi tidak lulus atau tinggal kelas. Lihat saja wajah siswa saat ujian, umumnya tampak  ketakutan, sangat tegang, dengan keringat bercucuran di pelipis pipinya. Demikian juga dengan pengawas yang cenderung memperlihatkan-bahkan membangun suasana-wajah tegang.

Ujian dianggap sebagai penanda kepintaran bahkan keberhasilan seseorang. Jika bisa menjawab soal saat ujian, maka besar kemungkinan orang tersebut akan mendapatkan predikat pintar. Sementara yang jawaban ujiannya seadanya, atau tidak betul, akan diberi predikat bodoh. Tanpa peduli, misalnya, saat ujian, ada siswa yang sedang sakit atau terganggu dalam hal apapun. Tanpa mempertimbangkan bagaimana proses siwa belajar sehari-hari.

Kalau persoalan ditakutkan menyontek, duduk sendiri atau berdua sama saja. Jika siswa punya kesadaran yang tinggi tentu tidak ada yang menyontek. Katakanlah, kebiasaan siswa di satu SD suka menyontek, maka yang perlu diperketat adalah pengawasannya. Pengawas ujian harus lebih teliti dan tegas. Dan, yang paling penting adalah jauh sebelumnya-dalam proses belajar-mengajar sehari-hari-ditanamkan nilai-nilai kejujuran.

Menurut saya, justru suasana santai dan menyenangkan sangat dibutuhkan saat mengerjakan sesuatu, termasuk menjawab soal-soal ujian. Suasana ini akan membantu anak-anak berfikir lebih dalam, teliti, dan fokus. Memang tak dipungkiri bahwa suasana yang sangat riuh dapat menganggu konsentrasi seseorang-itu pun tergantung orangnya, karena ada orang yang tetap bisa berfikir baik dalam keadaan ribut. Tapi untuk mengimbangi suasana yang menyeramkan dari ‘momok’ ujian, dibutuhkan juga suasana riang, yang mungkin sesekali terdengar dari luar kelas.

Di atas memang pandangan subjektif saya. Tapi ternyata pernyataan itu dibetulkan juga oleh beberapa siswa kelas enam yang saya ajak diskusi setelah mereka keluar dari ruang ujian.  Mereka mendatangi saya yang berdiri di pojok kelas.

“Gimana ujiannya? Enggak ada yang susah kan soalnya?,” tanyaku menyambut mereka.

“Susah bu..., banyak bahasa Arabnya (kebetulan saat itu jam pelajaran Agama Islam). Enggak tahu artinya,” jawab beberapa siswa.

“Eh, sekarang kan kelas satu sampai lima diliburkan karena takutnya mengganggu kalian ujian. Kalian terganggu enggak sih kalau ada kelas kelas lain?,” tanyaku seperti penyelidik.

Enggak bu, yang penting enggak lihat mereka. Ditutup aja kelasnya,” jawab seorang siswa.

“Maksudnya, enggak apa-apa kalian dengan suaranya yang penting enggak lihat orangnya?,” tanyaku memperjelas.

“Iya bu, kalau lihat biasanya saya terganggu. Tapi kalau enggak ada mereka sepi juga ya bu sekolah ini,” jawab siswa lainnya.

“Kalian kan ujian selama enam hari. Menurut kalian, rugi enggak kelas lain kalau diliburkan?,” tanyaku lagi.

“Iya bu..., rugi. Ketinggalan pelajaran nanti. Suruh sekolah aja bu!,” jawab siswa lainnya.

Begitulah tanggapan anak-anak kelas enam mengenai diliburkannya kelas lain karena ujian. Mereka sebagai pelaku ujian pun tak merasa perlu “menghilangkan” kelas lain untuk kepentingan ujian mereka. Semua masih bisa dijalani seperti hari-hari lainnya.  Ujian itu tidak mesti identik dengan keadaan sepi.

 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua