Jangan Remehkan Kekuatan Doa

Raisa Annisa 2 Januari 2012

 17 Desember 2011

Hari ini pembagian raport, pertanda akhir semester ganjil tahun ajaran 2011/2012. Saya terburu-buru bersiap ke sekolah. Tidak sabar bertemu para orang tua yang akan mengambil raport anak-anaknya. Dengan jalan yang seperti biasa licin, saya sudah antisipasi dengan menggulung celana melewati jalan licin dibonceng oleh Bapak. Sampai di sekolah saya cukup kaget karena sekolah sepi dengan para orang tua. Tidak ada kendaraan terparkir kecuali milik rekan-rekan guru. Tidak ada hiruk pikuk suara para orang tua. Tidak seperti pembagian raport pada umumnya. Saya bertanya pada anak-anak ternyata pada pembagian raport orang tua mereka tidak hadir. Ternyata pula ada sebagian orang tua yang datang ialah penerima program Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang akan menghadiri musyawarah bersama komite sekolah.

Rencana saya berbincang dengan para orang tua murid pun batal. Akhirnya saya beralih memilih bermain bersama anak-anak. Pada hari itu saya bawakan mereka catur dan tali skipping. Anak laki-laki bermain catur, yang perempuan bermain skipping. Pak kepala sekolah pun menghampiri saya memberitahu bahwa saya diberikan kesempatan mengenalkan diri kepada orangtua murid yang hadir dalam musyawarah. Sayapun antusias, karena akhirnya saya bisa sedikit menampakkan diri secara resmi.

Selagi menunggu bapak komite menyelesaikan rapat, saya pandangi wajah orang tua murid tersebut. Ada kepolosan di raut muka mereka. Ada harapan untuk anak-anaknya. Tak ada yang pernah tau akan jadi apa putra-putri mereka. Mungkin salah satu dari anak mereka akan ada yang jadi pemimpin besar, orang berpengaruh, pengusaha sukses, atau apalah. Tidak muluk, mereka tentu ingin putra-putrinya memiliki nasib lebih baik. Meskipun itu hanya ada dalam doa mereka, jangan sekalipun kita remehkan itu.

Setelah musyawarah soal BSM dengan menggunakan bahasa jawa, akhirnya saya memperkenalkan diri secara singkat. Alhamdulillah raut wajah para orang tua sangat hangat menyambut saya. Saya meminta izin kepada mereka, apabila anak-anak main ke sekolah di luar jam pelajaran itu berarti mereka sedang bermain bersama saya. Merekapun mengangguk tanda setuju. Rapatpun selesai, saya bersiap keluar ruangan.

Selagi saya bersiap, ada seorang wali murid menghampiri. Ia menyalami saya dan memperkenalkan diri. Ternyata beliau adalah Ibu Tarmin, istri dari Almarhum Pak Tarmin. Ayah dari Erik, salah seorang murid saya di kelas 4. (simak ceritanya di tulisan “The Troops: Kelas 4”). Beliau bercerita bahwa anaknya ada 3 di sekolah ini. Beliau bilang ia titip anak-anaknya supaya bisa terus bersekolah. Ibu Tarmin juga bercerita bahwa Suaminya meninggal dalam kecelakaan di desa kami. Kala itu Pak Tarmin sedang menjadi kuli dari truk yang membawa singkong. Naas, truk singkong itu terguling saat tanjakan terjal sehingga Pak Tarmin tertimpa dan tidak dapat ditolong. Saya tak bisa bayangkan betapa sedihnya Erik. Betapa kuatnya ia menjaga adik-adiknya. Adiknya Rini sering mendekatiku, meminjam pulas (pensil warna) saat pelajaran menggambar atau meminjam buku sepulang sekolah, untuk belajar di rumah katanya. Mereka yang setiap pagi berangkat dari jam 6 karena rumah yang begitu jauh dengan sekolah. Tapi lagi-lagi tekad Erik dan adik-adiknya tak pernah padam. Begitupun doa dari sang Ibu yang tak pernah putus. Itulah kekuatan yang selalu mengalir, dalam tiap langkah sang anak. Yang dengan polosnya mungkin tak pernah mereka sadari, namun selalu terpatri. Ibu Tamrin mungkin tak berdoa muluk, ia ingin anak-anaknya memiliki nasib lebih baik. Seperti kata Bang Iwan fals dalam petikan lagunya “Doa Kami di Nadimu” (galang ramboe anarki). Maka jangan pernah remehkan kekuatan sebuah doa, sekecil apapun itu.


Cerita Lainnya

Lihat Semua