info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Hari ini hari milikmu, juga esok masih terbentang..

Raisa Annisa 2 Desember 2011

 

Desa margo mulyo, kecamatan gunung terang, kabupaten tulang bawang barat, propinsi lampung.

Dan tempat ini, tidak asing bagi saya. Daerah yang menjadi jalur lintas sumatera, yang sering saya lalui ketika mudik lebaran beberapa tahun lalu. Saya mengamati sekolah-sekolah yang bangunannya masih jauh dari layak, dan kini saya menjadi bagian dari hal yang dulu bagi saya hanya sekelibat saya lalui di tiap tahunnya. Sampai saat ini, saya masih meraba, apakah ini nyata. Saya yang seorang diri di sebuah desa, yang ketika penduduknya mendengar kata “Jakarta” menganggap itu adalah dimensi lain dari dunia mereka.

Hari ini hari milikmu, juga esok masih terbentang..

Saya meyakini diri, ini adalah realita yang saya hadapi 1 tahun ke depan. Berkenalan dengan masyarakat transmigran. Mereka selalu bilang bahwa mereka orang lampung, tapi bahasa mereka asli jawa. Namun belum banyak dari mereka yang pernah menginjak tanah jawa. Disini tak ada pantai indah, bukit tinggi nan megah, yang ada lumpur dan tanah jeblok, serta bau karet dan deretan kebun sawit. Hidup yang bagi mereka setiap harinya seputaran margomulyo, atau unit. Bahkan kakak asuh sayapun belum pernah menginjak tanjung karang/bandar lampung.

Saya tinggal di rumah Bapak dan Ibu guru yang juga mengajar di SD Margo Mulyo 02, namanya Pak Herduto dan Ibu Sumarsih. Bapak dan Ibu merupakan guru perintis di SD tersebut. Pak Duto mengajar kelas 5. Bu Marsih mengajar kelas 3, kelas yang bersebelahan dengan kelas saya, yang hanya disekat anyaman rotan. Bapak dan Ibu punya dua anak, Mas Andri yang sudah menikah dengan Mbak Eka dan mempunyai bayi lucu bernama Inez, dan adiknya Kiki yang masih duduk di bangku kelas 1 Madrasah Tsanawiyah di dekat rumah.

Kehidupan saya disini memang berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya. Disini, jika ingin ke kamar mandi baik untuk mandi ataupun buang air, saya harus menimba. Sumurnya pun cukup dalam, 25 meter. Dengan badan yang kecil ini, saya cuma sanggup menimba 2-3 ember per sekali nimba, jadi harus saya cukupkan untuk segala keperluan. Di desa saya, hujan merupakan anugerah, namun juga dianggap musibah. Seperti sekarang ini, ketika hujan mulai turun. Warga senang, karena sumur mulai terisi, tapi disisi lain mereka gelisah. Jalan di desa kami rata-rata masih berupa tanah merah. Akses hampir praktis tertutup ketika hujan. 

Selain kondisi geografis, kehidupan transmigran memang hal yang baru bagi saya. Baru satu minggu saya sampai, sudah terasa kerasnya kehidupan disini. SD saya bahkan pernah dibakar, ditimpuki batu, dicongkel kunci pintunya, hingga kelasnya dipakai untuk minum-minum tuak dan berpesta para pemuda. Begitu mereka tidak anggap penting pendidikan, dan institusinya. 

Dibalik semua kondisi tersebut, Saya terus meyakini diri, untuk terus bersemangat disini. Sebagaimana semangat anak-anak berangkat ke sekolah, meskipun rumah mereka jauh. Meskipun mereka harus berangkat dari pukul 6 pagi. Ya, saya yakin hari ini milik kami, juga esok yang masih terbentang


Cerita Lainnya

Lihat Semua