Are You Stronger than A Fifth Grader??

Raisa Annisa 16 Februari 2012

Lemah, tidak berdaya, malas bergerak, dan membuang banyak waktu. Rasanya ingin sekali saya leyeh-leyeh lebih lama. Ketika semua tugas sebagai pengajar muda tiba-tiba menjadi begitu menumpuk. Tugas di sekolah, beban di masyarakat dan sederet “tuntutan” lain yang lari-lari di pikiran. Saya sebagai manusia biasa, tentu butuh jeda. Namun itu semua bukan sebuah excuse, toh memang komitmen saya bahwa setahun ini bukanlah kenyamanan yang saya cari.

Saya kini sudah mulai merasakan sakitnya terbenturnya realita. Kini romantisme tentang hidup jauh dari kota pun rasanya sudah seperti petunjuk di bungkus obat yang tak lagi dibaca karena kau sudah hapal penggunaannya. Dan ditengah underpressure condition cuma satu yang saya tekankan, saya tidak boleh menyalahkan orang lain dan keadaan. Itu saja, cukup.  Dan akhirnya sampai di sebuah ketika..

Suatu siang  yang tampak biasa. Saya kumpul bersama tetangga. Ratna dan Nita murid ngaji di langgar. Kami asyik menikmati rambutan yang mulai memasuki musim berbuahnya di pekarangan. Sambil makan, tentu kami berbincang santai. Siang itu ada Mbak Deni, (orang tua Ratna) yang  baru saja pulang dari Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja disana. Ada juga Mbak Tuti (ibu tiri Nita) juga dengan pengalaman yang sama. Mereka dengan lancar menceritakan kisahnya disana. Bagaimana mereka berjuang dari awal, ke Jakarta yang begitu jauh lanjut ke Arab Saudi dengan segala risiko besarnya. Sementara mereka meninggalkan sanak keluarganya di desa ini. Merekalah risk taker yang nyata.

Ratna, (kelas 2), ia belum lancar membaca. Namun ia cepat menghapal. Ia anak tunggal yang ditinggal Mbak Deni bekerja selama hampir 5 tahun. Praktis ia kekurangan sosok Ibu. Ayahnya sibuk juga mencari uang menghidupi keluarga kecilnya itu. Sering saya dengar ia menangis karena dimarahi.

Nita (kelas 3), anak yang ceria. Nita termasuk anak yang cukup mengamalkan “pelajaran” dari sinetron-sinetron yang ada di TV. Lagaknya kalo melenggok seakan ingin sekali saya juluki “miss hebring” apalagi kalau sudah tertawa. Belakangan saya baru tahu, ternyata Mbak Tuti adalah ibu tirinya. Memang bukan tipikal Ibu Tiri yang jahat seperti di TV, tapi Nita akhirnya lebih banyak diurus oleh Mbahnya. Ibu Kandung  Nita pergi sejak ia kecil. Sewaktu pergi, Ibunya hanya bilang merantau mencari kerja. Sejak itu, hingga 7 tahun kemudian tak kembali. Ayah Nita akhirnya menikah lagi. Nita kini menjadi anak Mbah dan seperti tak punya sosok Ibu.

Setelah mengengar kisahnya dan setelah hari itu saya sadar, mengapa kedua anak ini begitu manja. Pura-pura tidak bisa kalau mengaji. Pura-pura tidak mengerti kalau membaca buku. Berulang-ulang minta dijelaskan setelah saya ajarkan. Susah sekali untuk tidak menggandeng, minta dipeluk, dan berbagai tingkah manja lainnya. Simply because they just need a real mother and friend

Saya lalu teringat, pada umur seperti mereka, mungkin kita masih mendapat banyak kasih sayang. Ketika pulang sekolah ada yang menanyakan “tadi belajar apa? Ayo jangan lupa kerjakan PRnya”. Sesederhana itu, namun tak mereka dapatkan. Karena bahkan sosok fisiknya saja tak ada. Atau jikapun ada, seperti tak ada. Mungkin selama kita hidup, kita sudah sering melewati banyak hal sulit. Jauh-jauh keluar dari zona nyaman. Merasa sombong dan seperti bilang “I’m strong enough”.

Dan begitu melihat hal kecil yang benar-benar luput ini, pantaskah kita masih mengatakan itu? Benarkah kita benar-benar kuat? Benarkah kita lebih kuat dari anak-anak yang bahkan belum sampai menjadi fifth grader itu.. Tanpa teori motivasi, tanpa seminar-seminar bersalam super, mereka kuat ditempa alam. Mereka kuat menghadapi keadaan karena sudah terlalu lelah untuk hanya menyalahkan.

Semoga saja, kita bisa belajar dari kekuatan mereka.

RT@lydiapurba: Kita menghadapi apa yang ada di depan mata kita, simpel karena kita tidak tahu jalan selain menghadapinya, dengan harapan-harapan yang masih ada.


Cerita Lainnya

Lihat Semua