info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Racauan dari Rumah Saya, Indonesia!

Rahmat Andika 19 November 2010

Desa Pelita, 17 November 2010

Seperti yang sudah saya ceritakan di postingan sebelumnya, setahun kedepan ini saya akan tinggal dan mengajar di sebuah desa bernama Pelita yang terletak di kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Untuk mencapainya dari Jakarta, saya harus naik Pesawat selama 4,5 jam dari Soekarno-Hatta menuju Bandara Sultan Babullah, Ternate, lalu disambung 8 jam perjalanan laut dari Ternate ke Pelabuhan Babang di pulau Bacan menggunakan kapal umum. Setelah itu masih harus dilanjutkan perjalanan darat sekitar 30 menit menggunakan mobil ke Ibu kota kabupaten, Labuha. Perjalanan belum selesai. Dari Labuha, untuk mencapai Desa Pelita yang terletak di Pulau Mandioli Kecamatan Mandioli Utara, saya harus kembali menempuh perjalanan laut menggunakan longboat umum yang hanya ada hari senin dan kamis yang biasanya ditempuh dalam waktu 1,5 – 2 jam tergantung keadaan gelombang laut, barulah saya sampai di dermaga Desa Pelita. Pelita adalah sebuah Desa kecil di pesisir pulau Mandioli yang hanya bisa diakses melalui dermaganya saja. Tidak ada jalan darat yang menghubungkan Pelita dengan desa-desa lain di sekitarnya. Akses kemanapun dari Pelita harus menggunakan jalur laut. Sungguh unik dan baru bagi saya.

Mengingat Pelita akan jadi rumah saya yang baru, saya ingin menuliskan beberapa hal tentang pelita dan keluarga baru saya. Sebelum menulis tulisan ini, saya berusaha membuat poin-poin tentang apa saja yang ingin saya tuliskan. Tapi sepertinya terlalu banyak. Saya putuskan untuk mulai menulis saja. Kita lihat apa yang akan mengalir. Hehe J

Saya akan mulai dari keluarga baru saya, keluarga Bapak Rusdi Saleh. Saya tinggal di rumah Kepala sekolah SDN Ambatu Pelita –begitu nama sekolahnya- yang memiliki seorang isteri dan empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Anaknya yang paling besar tinggal dan kuliah di Ternate, yang kedua sedang menunggu test masuk Polisi Desember ini, Khairil namanya. Dia berusia 19 tahun, lebih tua sedikit dari adik saya. Yang ketiga, Haiba, masih sekolah SMP kelas 2 di Pelita dan yang paling kecil bernama Galang. Sejak hari pertama saya tinggal disini, Galang ini langsung nempel kemanapun saya pergi. Untuk anak berumur 3 tahun, Galang tergolong cerdas dan cepat belajar. Semua mainannya –tentunya mainan tradisional seperti sumpit bambu dan roda-roda- dia perbaiki sendiri. Sekali waktu saya perhatikan ayahnya sedang berusha memperbaiki sumpit bambunya yang macet. Setelah memperhatikan bagaimana teknik ayahnya memperbaiki, Galang langsung merebut sumpit yang belum selesai diperbaiki itu dan mulai memperbaikinya sendiri, sampai berhasil.

Keluarga ini hangat. Setiap malam kami makan bersama di ruang makan. Walaupun tanpa TV karena genset tidak cukup daya, makan malam kami selalu penuh dengan obrolan dan candaan khas orang Maluku. Ibu Rusdi, ibu angkat saya ini jago masak. Menu standar adalah ikan, karena memang inilah makanan orang pesisir. Tapi setiap hari selalu ikan yang berbeda dan dimasak dengan cara yang berbeda. Yang saya ingat dan paling unik adalah ikan di fufu, ini bahasa lokal untuk memanggang ikan. Di kota saya juga pernah makan ikan panggang, tapi siapa yang pernah setiap hari makan ikan segar yang baru dipancing hari itu juga?hehe. Makanan pokok disini ada empat macam, selain nasi, ada juga pisang rebus, singkong rebus atau biasa disebut orang sini kasbi, dan sagu. Saya sudah pernah mencoba makan ikan dengan semua makanan pokok tadi, semuanya enak kecuali sagu. Sebenarnya bukan rasanya yang tidak enak, tapi karena saya belum terbiasa jadinya kerongkongan saya selalu terasa kasar tiap kali habis makan sagu. Oh satu lagi, setiap waktu makan pasti tersedia sambal! Ini yang bikin saya sumringah dan selalu ingat sambal bikinan mama J.

Hari minggu kemarin kami sekeluarga naik ketingting –istilah untuk perahu kecil selebar setengah meter yang digerakkan dengan motor kecil- ke pulau Ambatu di seberang Pelita. Sedikit sejarah, pulau Ambatu ini adalah asal Desa Pelita sebelum 1978. Lalu karena penduduk Pelita semakin banyak dan pulau Ambatu yang hanya berukuran dua kali lapangan sepak bola itu sudah terlalu padat, maka mereka hijrah ke Pulau Mandioli, tempat Pelita sekarang berada. Hari itu kami berangkat dari Pelita jam 9 pagi. Satu perahu itu muat untuk Pak Rusdi, istrinya, adik Pak Rusdi, Haiba, Galang dan saya. Di perjalanan melewati selat kecil antara dua pulau itu, ketingting kami melewati serombongan penyu besar yang sedang mengambil udara ke permukaan, pemandangan yang belum ppernah saya saksikan langsung. Penyu-penyu besar itu seketika menenggelamkan dirinya begitu saya mencoba menggapai tempurung mereka dari atas ketingting. Perjalanan 15 menit itu terasa seru karena selain pemandangan, ke-seru-an lain berasal dari ketingting yang sepertinya agak overload sehingga hampir tenggelam.

Di Ambatu ternyata Pak Rusdi dan adiknya mengembangkan budi daya rumput laut. Begitu sampai mereka langsung menyelam di pantai di sepanjang rumput laut yang mereka budidayakan. Sementara itu, Ibu Rusdi menyiapkan beberapa lembar daun pisang sebagai alas makan pengganti taplak meja di pinggir pantai, ya, dia sudah menyiapkan makan siang untuk kami semua. Haiba dan Galang asik bermain air dan saya asik mengamati pulau kosong itu. Terlihat bukan hanya Pak rusdi yang memanfaatkan pulau itu di Pelita. Banyak warga Pelita yang sering kesana untuk berkebun, memanen kelapa,mengambil pasir,dsb. Setelah sekitar 2 jam Pak Rusdi dan adiknya bermain rumput laut, kami semua berkumpul untuk makan siang, seperti orang sedang piknik. Setelah makan siang, saya keatas kayu-kayu yang condong ke laut yang saya pikir adalah bekas dermaga di ambatu yang sudah tidak berfungsi. Dari atas kayu-kayu itu saya bisa melihat dengan jelas ke bawah air yang bening. Yang saya lihat seperti layaknya akuarium yang penuh dengan karang dan ikan hias. Laut di kelpulauan Halmahera selatan memang airnya jernih. Dari jauh hanya terlihat warna hijau atau biru. Sebelum kembali ke Pelita, adik pak rusdi iseng-iseng bacigi ikan dan mendapat 4 ekor ikan sako besar-besar. Rencana pulang pun mundur karena ibu langsung dengan cekatan mengolah ikan-ikan itu jadi ikan bakar yang enak dan menjadi menu makan siang kedua kami.

Berikutnya saya ingin cerita tentang penduduk Desa Pelita. Setiap saya jalan-jalan di desa, orang-orang selalu menyapa dengan “pak Guru!” atau “ingku!”, dengan logat maluku tentunya, yang membuat orang baru atau yang tidak terbiasa dengan logat ini akan merasa sedang dimarahi. Kalau istilah anak-anak di Bandung, “manggilnya super ga nyantai!”,haha. Tapi sebetulnya orang sini sangat ramah terhadap pendatang terlebih dengan profesi guru. Setiap ada kesempatan, orang-orang selalu ingin bertanya tentang apapun tentang saya. Orang Pelita senang ngobrol. Kebanyakan penduduk Pelita keturunan Ternate sehingga bahasa sehari-harinya ada dua : bahasa pasar yang masih ada kata-kata bahasa Indonesianya dan bahasa Ternate yang berbeda sepenuhnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa pasar sudah bisa saya pakai sedikit-sedikit dengan logat maluku karena cukup mudah dimengerti. Kata-kata yang huruf akhirnya ‘T’ tidak dibaca huruf akhirnya. Seperti: ka lau, ka dara, cepa dan saki. Yang artinya: ke laut, ke darat, cepat dan sakit. Lalu kata-kata yang berakhiran ‘N’ dibaca ujungnya dengan ‘NG’, seperti: makang ikang, hujang dan pulo Bacang. Yang artinya : makan ikan, hujan dan pulau Bacan. Seperti bahasa Batak, huruf ‘E’ pada sebagian besar kata juga dibaca sebagai ‘E’ keras. Karena saya memang senang belajar bahasa daerah, orang-orang bersemangat mengajari saya Bahasa ternate. By the end of this one year, i think i will be able to speak Ternates J.

Desa Pelita topografinya landai sehingga aliran air bersih dan drainase bisa dialirkan secara gravitasi. Dari dermaga hanya ada satu jalan utama lurus menuju darat sekitar 150 meter, lalu ada cabang-cabang ke kiri dan kanan dari jalan utama itu. Disanalah rumah-rumah penduduk dibangun sejak 1978. Satu-satunya sumber sinyal hanya di dermaga, itupun kalau beruntung. Saya harus ke ujung dermaga bebentuk huruf ‘T’ untuk menemukan sinyal handphone. Setiap malam sehabis makan malam saya harus ke dermaga untuk sekedar menerima akumulasi sms seharian dan email (ini dia yang saya bilang kalau beruntung: sinyal GPRS). Karena pusat komunikasi Halsel Elite Squad ada di Labuha yaitu Ayu, maka saya harus membuat SOP ini supaya saya tetap bisa dihubungi atau menghubungi watchtower. Awalnya saya pikir akan sedikit menyeramkan berdiri sendirian di ujung dermaga yang menghadap ke laut malam-malam di desa yang tidak berlistrik. Pun ada yang punya genset di desa, dermaga pelita tetap tanpa penerangan malam. Tapi ternyata dermaga Pelita malam hari punya daya tariknya sendiri. Karena berada di wilayah kepulauan ditambah letaknya yang di teluk, air laut malam di bawah dermaga pelita sangat tenang tanpa gelombang. Bahkan seperti air di danau. Tidak ada bunyi gemericik air sedikit pun, yang ada hanya bunyi ikan-ikan yang sesekali melompat ke permukaan. Ada perbedaan bulan di kota besar dengan bulan di desa pelosok seperti Pelita ini. di kota mungkin kita Cuma tau ada bulan purnama, setengah dan sabit. Tapi di desa seperti Pelita, cahaya bulan di malam hari sangat terasa. Bahkan katanya, jika purnama tiba orang-orang akan duduk-duduk di dermaga sambil memancing ikan karena ikan-ikan pun bisa terlihat di bawah air saat purnama. Tapi kalau bulan belum purnama seperti sekarang, yang ada di dermaga malam hari cuma saya, mencari sinyal. Remang-remang cahaya bulan cukup untuk menerangi dermaga. Tidak perlu bawa senter atau poci ke dermaga. Oh satu lagi, langit penuh bintang jadi langganan dermaga Pelita malam hari. Bedanya dengan di kota, langit tanpa polusi membuat kelap-kelip bintang makin jelas, tidak sekedar kriyep-kriyep. Ditambah lagi, air laut yang tanpa riak bahkan sampai bisa memantulkan cahaya bintang-bintang. Sama sekali ngga ada serem-seremnya nongkrong di dermaga Pelita malam hari. Yang ada malah betah, hehe.

Pelita memang desa yang Indah. Sedikitpun seperti tidak punya masalah, at least yang terlihat secara fisik selain masalah kekurangan guru. Atau mungkin masalah akses bagi orang-orang yang takut laut seperti ibu saya. Lautnya indah, hutanya kaya, orang-orangnya ramah, keberterimaan tinggi dan bangunan fisik sekolah sudah ada. Tapi seperti juga desa-desa lain di bagian timur Republik ini, pembagian waktu WIB, WITA, dan WIT bagi orang-orang disini bukan sekedar pembagian waktu, tapi juga pagar tak tampak yang membatasi cita-cita anak-anak desa Pelita. Benar apa yang pernah dibilang Pak Anies, bagi saya mungkin Desa Pelita hanyalah 5 jam perjalanan udara sampai Ternate, ditambah 8 jam perjalanan laut sampai Babang, setengah jam perjalanan darat sampai Labuha dan 1,5 jam perjalanan laut sampai Dermaga Pelita. Tapi bagi anak-anak di Desa ini, untuk ke Jakarta bukan hanya soal waktu, untuk ke Jakarta yang menggambarkan pusat kemajuan mereka harus memanjat atau mendobrak dinding-dinding pembatas tak nyata itu. Dan dinding-dinding itu ternyata cukup untuk membuat mereka merasa jauh dari kemajuan dan pasrah dengan keadaanya. Cukuplah, toh ikan untuk makan sehari-hari pun sudah akan lompat dengan sendirinya ke dermaga tanpa dipancing. Ditambah kualitas pendidikan di “timur” ini memang jelas jauh dari di Jawa. Bagaimana tidak, dari jumlah guru saja jelas kurang. Belum lagi pelatihan-pelatihan untuk guru yang tidak segencar di Jawa. Lengkaplah sudah.

Tantangan besar saya disini adalah meyakinkan mereka kalau dinding itu tidak ada. Saya mau tidak mau harus bisa menjadi contoh seorang manusia maju yang bisa diterima di pelosok Republik seperti Pelita ini. Karena dengan begitu saya bisa lebih mudah meyakinkan anak-anak untuk bisa menggantungkan cita-cita mereka setinggi mungkin. Yang saya rasakan sekarang adalah ekspektasi yang sangat tinggi dari lingkungan. Baik dari semua orang yang mengetahui keberadaan saya disini sampai orang-orang Pelita yang menyangka saya bisa melakukan semua hal. Secara teknis, itu adalah tekanan bagi semua Pengajar Muda. Tapi saya –dan saya harap semua PM-, memilih menjadikan ini tantangan yang harus kami selesaikan. Saya memilih melihat ekspektasi-ekspektasi itu sebagai ekspektasi Ibu Pertiwi. Ekpektasi akan optimisme Republik ini di masa depan. Jadi jika kemarin kalimat yang saya gunakan saat berpisah dengan teman-teman PM adalah “we will survive”, kalimat itu saya tarik karena yang lebih tepat adalah,”we will win this war!” InsyaAllah.

Cukuplah racauan saya. Banyak yang ingin saya tumpahkan sebenarnya ketika saya sampai disini dan melihat langsung keadaan disini. InsyaAllah saya akan menulis seminggu sekali untuk menceritakan perkembangan di Pelita. Tapi saya tidak bisa menjanjikan posting seminggu sekali mengingat Pelita belum jadi desa Internet. Jadi saya harus menunggu trip ke Labuha baru bisa posting.

Okelah guys, sekian dulu. Stay away from drugs dan patuhi nasihat orang tua.

Salam hangat dari salah satu ujung Republik, warga DesaPelita, Timur Indonesia.

mari benar-benar hidup


Cerita Lainnya

Lihat Semua