A Great 1st Week

Rahmat Andika 4 Desember 2010
Desa Pelita, Minggu, 28 Nov 2010 Sudah seminggu penuh saya mengajar di SDN Ambatu Pelita. Di SDN tanpa nomor karena memang cuma satu-satunya di Pelita. Saya ingin share pengalaman seminggu kemarin. Ini termasuk minggu yang penting menurut saya karena merupakan minggu yang menentukan kesan pertama saya bagi murid-murid Pelita. Secara umum minggu ini berjalan sangat baik. Ditutup dengan jalan-jalan bersama anak-anak kelas 6 ke Pulau Ambatu di seberang desa kami, Pelita. Minggu ini diawali dengan upacara bendera di halaman sekolah. Untuk pertama kalinya saya bertemu dengan murid-murid secara formal di sekolah. Sebelumnya kami sudah sering bertemu di dermaga tempat mereka bermain atau di jalan-jalan desa. Upacara berjalan khidmat, tapi yang cukup menarik adalah lagu Indonesia Raya disini dinyanyikan dengan nada agak aneh di beberapa bagian lagu yang belakangan saya tebak mungkin karena mereka sering menyanyikan lagu-lagu band melayu masa kini yang banyak cengkok-nya. Hari Senin, saya yang direncanakan akan sit in di semua kelas secara bergantian akhirnya hanya masuk di kelas 6. Ternyata guru kelas 6 tidak masuk dan memang sering seperti itu. Saya masuk di kelas 6 memperkenalkan diri dan mengajarkan lagu-lagu anak-anak yang saya dapat selama trainingcamp Pengajar Muda, lagu “jempol” dan lagu “Red and White”. Anak-anak kelas 6 sangat antusias bernyanyi, mungkin karena sebelumnya tidak pernah ada pelajaran bernyanyi. Hari senin saya lalui tanpa lesson plan. Semua mengalir saja, hanya berkenalan dan bernyanyi. Tapi lalu saya mulai mencoba sedikit mengajarkan sesuatu, matematika, sekaligus saya pikir bisa saya jadikan alat observasi kemampuan anak-anak. Saya mulai dengan perkalian sederhana. Perkalian puluhan yang mengharuskan anak-anak mencakar di buku mereka masing-masing. Sebagian besar mampu menyelesaikannya dengan benar walaupun dengan waktu cukup lama, berbeda dengan anak kelas 6 di kota besar yang rata-rata pasti sudah fasih kali-kalian. Sepertinya mereka jarang berlatih sehingga masih belum terlalu lancar melakukan operasi hitung itu. Lalu saya beralih ke operasi hitung ratusan. Mungkin karena tidak terbiasa, mereka menyerah dan tidak ada satupun yang mampu menyelesaikan soal yang saya berikan. Saya lalu mencontohkan di depan cara menyelesaikannya. Saya minta mereka membantu saya dari kursi masing-masing. Agak malu-malu mereka membantu saya yang sedang memberi contoh di depan. Somehow saya menangkap perasaan takut mereka terhadap matematika, entah apa sebabnya. Hari Senin itu saya tutup dengan memimpin apel pulang. Di SDN Ambatu Peliita ada kebiasaan apel pagi dan sebelum pulang yang saya pikir adalah suatu kebiasaan yang baik. Apel yang biasanya Cuma berbaris dan pengumuman, saya tambahkan dengan bernyanyi bersama lagu “jempol” yang sudah saya ajarkan. They love singing! Selasa, 23 November, saya datang ke sekolah dengan lesson plan. Anak kelas 6 belajar IPA tentang penghantar panas. Saya ajak mereka ke dermaga. Awalnya mereka bingung karena diajak keluar sekolah saat jam pelajaran, tapi setelah saya jelaskan ini bagian dari pelajaran IPA mereka langsung girang karena mereka pikir bisa sambil main ke dermaga. Mereka saya arahkan untuk berbaris sepanjang perjalanan, bernyanyi, dan izin jika ada yang harus meninggalkan barisan. Saya ambil alat-alat peraga sederhana berupa air panas, gelas dan beberapa alat lain untuk percobaan IPA. Pelajaran IPA hari itu menyenangkan. Anak-anak antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di bawah pohon besar di dekat dermaga. Suasana hari kedua sudah mulai cair sehingga anak-anak semakin tidak kaku dan menunjukkan sifat aslinya, hehe. Lalu kami semua kembali ke sekolah dan melanjutkan pelajaran di kelas. Lalu disini saya memukan hal yang menarik. Di kelas saya ajak anak-anak me-review kegiatan mereka di luar tadi. Lalu saya terjemahkan di papan tulis menjadi beberapa hal yang saya pikir perlu mereka catat karena mereka tidak punya buku paket sehingga bagi mereka sepertinya urgensi mencatat menjadi lebih tinggi. Sambil mereka mencatat, saya memperhatikan mereka satu per satu. Secara umum tidak jauh berbeda dari anak SD di kota, mereka semua memakai seragam Putih Merah. Tapi beberapa ada yang memakai sendal jepit, beberapa bahkan tak beralas kaki. Ternyata itu lebih kepada kebiasaan mereka yang memang lebih suka telanjang kaki. Anak pantai. Lalu saya mulai berjalan keliling kelas. Sampai di barisan belakang ada dua anak yang terlihat malu jika tulisannya saya lihat. Mereka langsung menutup bukunya saat saya mendekat. Setelah saya bujuk, akhirnya mereka memperlihatkan bukunya yang kosong, hanya ada beberapa gambar tangan. Saat saya tanya kenapa mereka tidak mencatat, mereka hanya senyum-senyum malu dan teman-temanya bilang :”tara tau baca tulis dong pak guru!”, artinya kurang lebih dua anak kelas 6 ini belum bisa baca tulis. Awalnya saya pikir mereka bercanda. Saya pikir dua anak ini tipe anak-anak yang memang tidak hobi mencatat seperti saya waktu SD dulu. Ternyata setelah saya perhatikan dan saya tes, mereka memang belum bisa membaca dan menulis. Ya, mereka sudah kelas 6 SD dan belum bisa membaca dan menulis. Entah karena saya guru baru di Pelita atau anak-anak ini memang sebetulnya anak-anak penuh semangat. Saya pulang hari kedua itu dengan perasaan tertantang. Tidak alasan sebetulnya bagi anak dimanapun dia berada untuk tidak terfasilitasi supaya berprestasi. Anak-anak kelas 6 ini harus bisa lulus UN dengan kemampuan mereka sendiri. Dua anak yang belum bisa baca tulis tadi pun demikian, mereka harus sudah bisa membaca sebelum sampai waktunya UN. Hari Rabu dan selanjutnya sampai Sabtu barulah saya berpindah-pindah kelas. Saya menggantikan dua orang guru kelas 5 dan kelas 3 yang sedang ke Labuha untuk tes CPNS. Materi ajar yang saya berikan saya pilih dari KTSP dan buku-buku Sekolah Elektronik. Suatu kali di kelas 5 saya mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia tentang unsur cerita. Di akhir pelajaran saya berencana memberikan PR sebagai bahan latihan anak-anak di rumah atas apa yang saya ajarkan di kelas. Rencananya saya ingin menyuruh mereka mencari cerita tertulis dimanapun dan mengidentifikasi unsur-unsur ceritanya. “tong tara pe buku Pak Guru!”, ah saya lupa, mereke tidak punya buku paket. Jika di kota, mungkin saya akan langsung mencari mesin photocopy lalu memperbanyak cerita yang ada di buku saya. Tapi di Pelita tidak ada printer, apalagi mesin photocopy. Keterbatasan listrik membuat alat-alat seperti itu tidak masuk sampai sini. Akhirnya PR itu batal. Lain waktu saya harus merencanakan lebih matang PR untuk mereka. Di setiap kelas saya selalu menyisipkan pelajaran bernyanyi dan Bahasa Inggris yang tidak pernah ada sebelumnya. Secara umum minggu ini menyenangkan dan penuh dengan hal-hal menarik tentang SDN Ambatu Pelita. Penutupan minggu pertama saya boleh dibilang yang paling seru. Saya mengajak anak-anak kelas 6 karya wisata –begitu namanya biasa disebut di kota- ke Pulau Ambatu, pulau kecil yang pernah saya ceritakan tempat nenek moyang Pelita pernah hidup. 24 anak yang didalamnya ada beberapa anak kelas 5 dan seorang anak SMP yang membantu saya mengemudikan ketinting agak besar untuk menyebrang ke Ambatu. Kali ini kami merapat di sisi belakang Ambatu, sisi yang tidak ada budi daya rumput lautnya. Pantainya agak panjang setinggi dada. Dibawahnya terumbu karang warna warni karena belum tercemar. Begitu sampai, saya dan anak-anak membuat beberapa peraturan yang harus kami jalankan bersama selama di Ambatu, peraturan yang bisa menjaga acara jalan-jalan ini tetap menyenangkan. Kami berenang di pantai, bermain perahu kecil tak bertuan yang ada disana, makan siang di pinggir pantai dan ngobrol santai sehabis makan di pantai. Kebetulan saya bawa gogle yang belum lama saya beli di Labuha dan takjub sama karang-karangnya. Di sela-sela karang itu banyak ikan-ikan kecil seperti yang ada di Film “Finding Nemo” bersembunyi sekeluarga. Pemandangan yang biasanya Cuma  bisa saya lihat di TV dulu. Sebelum pulang ke Pelita, dari obrolan santai habis makan saya kembali menemukan fakta-fakta menarik tentang SDN Ambatu Pelita. Fakta-fakta menarik dan menantang. Anak-anak sepertinya sudah bisa bercerita lepas pada saya di akhir minggu pertama ini, sebuah progres yang bagus saya pikir. Lalu kami berangkat dari Ambatu sekitar pukul Tiga sore. Sepanjang jalan anak-anak bernyanyi, riang, dan basah. Mereka sudah lancar menyanyikan “red and white”. Ah, momen itu sedikit emosional buat saya. Anak-anak ini, mereka tidak pernah meminta kepada Tuhan terlahir sebagai orang pelosok. Begitupula saya dan semua “anak kota” lain, tidak pernah meminta hal serupa. Mereka tidak berbeda dalam hal kecerdasan. Mereka tidak berbeda dalam hal semangat. Mereka juga anak Indonesia. Mereka itu terbedakan oleh kita, oleh Negara. Terbedakan sebagai konsekwensi “kepelosokan” mereka. Harus ada yang mendekatkan mereka kepada kesamaan hak mereka sebagai warga Negara. Kalau tidak, sampai kapanpun Pancasila kita itu hanya akan jadi pajangan dinding penghias kelas yang gagah, namun berdebu, dan tanpa arti. Desa Pelita, Indonesia.

Cerita Lainnya

Lihat Semua