Surat dari ujung Republik, Desa Pelita (ditulis untuk rekan-rekan ITB)

Rahmat Andika 6 Juni 2011
Salam Ganesha, Ini adalah cerita saya dari Desa Pelita, tempat saya mengajar sekarang. Ingin membagi apa yang saya rasakan dan alami disini dengan harapan bisa bermanfaat untuk teman-teman. Pelita adalah nama sebuah desa di sebuah pulau kecil bernama Mandioli yang terletak di Propinsi Maluku Utara, Indonesia. Sejak Enam bulan yang lalu, saya tinggal di desa ini, mengajar sebagai guru kelas di satu-satunya SD yang terdapat di desa ini. Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar mengirimkan saya dan 50 orang teman saya yang lain ke desa-desa terpencil di Indonesia selama satu tahun. Berlawanan dengan namanya, desa pelita adalah satu dari banyak desa di kepulauan bacan, yang belum dialiri listrik PLN. Desa ini hanya “menyala” selama 5 jam pada malam hari berkat beberapa penduduk memiliki mesin diesel sebagai generator listrik. Desa yang dihuni kurang lebih 200 Kepala Keluarga dan terletak di pinggir laut ini, justru sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani Kopra, Pisang, dan hasil kebun lainnya. Satu-satunya akses keluar-masuk desa ini hanyalah lewat dermaga desa. Transportasi laut menggunakan perahu-perahu kecil atau longboat. Tidak ada akses darat. Sebagai Pengajar Muda, saya yang seorang Sarjana Teknik Lingkungan harus menjalankan keseharian sebagai guru di desa. Masa training Pengajar Muda selama tujuh minggu sebelum kami dikirimkan, berisi materi-materi tentang keguruan dan kepemimpinan. Pengajar Muda, kegiatan utamanya memang mengajar di SD, sesuai dengan salah satu misi Yayasan Indonesia Mengajar yaitu mengisi kekurangan guru di pelosok. Tapi keberadaan saya disini lebih dari seorang pengajar di SD. Saya sekarang adalah bagian dari masyarakat pelita yang hidup dengan keseharian sebagai orang desa. Dari sini, jujur saja, Indonesia di mata saya terlihat berbeda. Orang-orang disini tak begitu peduli dengan Gayus Tambunan, Royal Wedding, atau kasus Wikileaks. Mereka terlihat bahagia dengan apa yang mereka miliki. Walaupun tidak ada mall,cafe,atau tempat karaoke, mereka bahagia dengan keseharian berkebun dan memancing, makan bersama keluarga di jalan kecil di depan rumah saat bulan purnama, berenang di dermaga sambil melihat-lihat terumbu karang, atau sekedar mendayung perahu saat senja menikmati langit sore di atas laut. Tidak seperti di kota, disini waktu tidak berlari mengejar. Kadang saya berpikir, mereka beruntung. mereka tidak harus berkenalan dengan berbagai carut marut masalah bangsa dan terlibat di tengah-tengahnya untuk memilih hitam atau putih. Mereka seperti “terpisah”. Semua kebutuhan dasar orang Pelita tersedia disini. Untuk kebutuhan perut, kebun-kebun orang pelita sudah lebih dari cukup, ikan bahkan bisa ditombak disini karena lautnya jernih dan ikannya banyak. Kebutuhan pendidikan? Sudah ada sekolah disini. Itu –bagi mereka- cukup. keterpencilan sudah menjadi zona nyaman tersendiri buat orang-orang Pelita. Dilemanya muncul saat saya melihat dan berinteraksi dengan anak-anak desa yang bersemangat dan cerdas dengan segala kemampuan motoriknya yang luar biasa. Mereka memang bahagia, tapi kenapa mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan seperti yang -paling tidak- saya dapatkan dulu? Kenapa kesempatan untuk bisa belajar dan  berbuat banyak hal seolah-olah jauh dari anak-anak ini? Mungkin orang-orang di Pelita memang hidup dalam zona nyamannya, tapi jangan-jangan itu terjadi terus menerus karena mereka tidak begitu tahu ada “zona” lain apa diluar sana. They seem have no reason to get out from their comfort zone. Sudah 6 bulan saya jadi orang Pelita. Yang saya coba selalu lakukan baik didalam ataupun diluar kelas adalah mendekatkan kesempatan pada anak-anak untuk bercita-cita lebih tinggi melalui cerita-cerita saya pada mereka. Rasanya, sulit saya mebayangkan akan kehabisan energi untuk berusaha mendekatkan kesempatan itu. Karena, tiap kali anak-anak penasaran terhadap sesuatu yang saya ceritakan tentang apapun, tiap kali mata mereka berbinar dan mereka bertanya “Jakarta itu seperti apa pa guru?”, “kalau torang mau ke Amerika itu naik apa pak guru? bisa naik ketinting ka tarada?” atau celetukan-celetukan mereka yang bilang jika mereka besar nanti mereka ingin kuliah di Bandung seperti pak guru, itu adalah sumber energi. Anak-anak yang polos dengan bakat-bakat luar biasa yang sebenarnya ingin diberitahu banyak hal, tapi sayangnya belum terpenuhi karena keterpencilannya. Berada di Pelita membuat saya belajar banyak hal baru. Kesederhanaan kehidupan Pelita mengajarkan sesuatu yang di kota mungkin sulit kita dapatkan. Bahkan anak-anak desa punya banyak hal yang bisa saya pelajari. Manjadi seorang Pengajar Muda memberikan saya kesempatan untuk Belajar tentang ke-Indonesia-an dari sisi yang unik, dari ujung republik. Dulu, saya pikir saya kenal Indonesia. Tapi dari ujung sini, ternyata masih banyak yang perlu dikenali dari Indonesia kita ini. ** Saya pikir, bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar untuk menjadi pengajar muda di daerah terpencil selama satu tahun adalah salah satu jalan untuk mendapatkan nilai tambah ke-Indonesia-an. Nilai tambah yang sepertinya sulit ditemukan akhir-akhir ini. Keinsyafan bahwa keilmuan yang kita miliki haruslah berguna untuk mengangkat bangsa ini, tinggi. Supaya nantinya dimanapun kita berada, kita akan berkarya dengan wawasan ke-Indonesia-an yang lebih luas. Bayangakan jika Indonesia akan punya lebih banyak peneliti, teknoprenuer, seniman, pebisnis, yang “kenal” dengan Indonesianya dan akan selalu berkarya untuk membuat Indonesia lebih baik. Optimisme adalah pondasi gerakan ini. Optimisme perubahan. Keyakinan bahwa harus ada orang-orang yang mulai menyalakan lilin ditengah kegelapan yang sedang melanda dan suara nyaring saling menyalahkan. Dan seperti virus, optimisme ini menular. Sampai tiba saatnya semua orang akan sibuk menyalakan lilinnya ditengah kegelapan. Saya percaya. Seperti yang Pak Anis Baswedan tulis dulu, para ibu di republik ini tidak pernah berhenti melahirkan anak-anak luar biasa. Disini saya lihat anak-anak luar biasa itu terjauhkan dari kesempatan karena  keterpencilannya. Karena ternyata Republik ini belum mampu membayar janji merdekanya 65 tahun yang silam. Masalah negara kita memang banyak, banyak sekali. Jadi marilah mulai menyalakan lilin untuk menerangi hati yang gelap, menenangkan jiwa yang kalut, dan membunuh pasrah yang tumbuh. Sampai nanti, Indonesia merdeka. Demi Tuhan, Untuk Bangsa dan Almamater.. Salam Hangat, Rahmat Danu Andika Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar (ngkong) Teknik Lingkungan ITB 2004

Cerita Lainnya

Lihat Semua